Bercakap dengan Tuhan

Sudah hampir sebulan tulisanku tidak lolos di media. Kadang terasa capek juga menunggu. Tapi kurasa semua itu memang harus kulalui. Bukankah dulu aku berasal dari tiada? Mengapa sedih kalau sekarang ‘sementara’ tak ada?

Jadi ingat dengan definisi zuhud yang kutulis 5 tahun lalu di cermin rumah :

  1. Tidak senang saat mendapat dunia
  2. Tidak sedih saat ditinggalkan dunia.
  3. Tidak sibuk oleh dunia hingga lupa.

Rasanya sudah jauh sekali aku dari rasa zuhud itu. Terlalu disibukkan dengan segala ‘esemelekete’ dan ributnya jagad pewayangan ragawi.

Ah, kurasa sudah saatnya aku kembali pada gua hiraku. Semoga saat keluar bisa berbisik, “Nak, Bapak sudah bisa lagi mendengar suara dan bercakap dengan Tuhan. Kamu sekarang pingin apa Nak? Bahagia?”

Lowongan CPNS, Membunuh atau Menghidupi Impian?

Abdul Kalam, mantan presiden India selalu mengatakan, “Bermimpilah, karena mimpi akan menuntun kepada pikiran dan pikiran menuntun pada tindakan.” (Kompas 21/11/07)

Tapi kenyataannya bukan itu yang terjadi. “Mengapa hati manusia tidak menyuruh mereka untuk terus mengejar impian-impian mereka?” Pertanyaan Paulo Coelho dalam novel legendaris The Alchemist itu mencuat di tengah bertebarannya informasi tentang lowongan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di internet.

Ah, siapa yang tak ingin memiliki pekerjaan, berpenghasilan tetap serta memiliki status di masyarakat seperti mereka? Sebagian besar dari kita  sepertinya akan menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan itu.

Hal ini dibuktikan oleh membludaknya peminat tes penerimaan calon Pegawai negeri sipil(CPNS) yang dilakukan oleh berbagai departemen. Contohnya adalah tes CPNS Departemen Kehutanan beberapa minggu yang lalu. Terdapat 42.000 pelamar se-Indonesia hanya untuk memperebutkan 550 kursi.

Apa sebenarnya apa yang mendasari sebagian dari kita berbondong-bondong mengikuti tes yang sangat kompetitif seperti itu? Mengapa kita cenderung memilih berlindung di zona nyaman sebagai PNS dan bukannya membuka peluang tanpa harus menghamba pada orang lain, termasuk pada Pemerintah? Baca lebih lanjut

Because a blessing can not be saved..

The master says: “Make use of every blessing that God gave you today. A blessing can not be saved.
There is no bank where we can deposit blessings received, to use them when we see fit. If you do not use them, they will be irretrievably lost. God knows that we are creative artists when it comes to our lives. On one day, he gives us clay for sculpting, on another, brushes and canvas, or a pen. But we can never use clay on our canvas, nor pens in sculpture. Each day has its own miracle. Accept the blessings, work, and create your minor works of art today. Tomorrow you will receive others.”
(Paulo Coelho, The Maktub)

Hari ini seorang lelaki setengah baya datang menemuiku dengan membawa selembar kertas. “Dokter, saya mau mendaftarkan istri saya untuk pemeriksaan ekhokardiografi. Istri saya mau dilakukan kemoterapi.” Saya menghela napas panjang.

Teman yang duduk di meja pendaftaran membuka daftar antrian, mencoba mencarikan waktu. “Paling cepat tiga hari lagi Pak. Itupun sudah disisipkan. Maaf.”

Saya menatap seorang Ibu dengan benjolan besar di matanya. Aku tak bisa berkata banyak. Hidup kadang memang tak adil, kataku dalam hati.
“Bapak dari mana?” Entah kenapa pula kutanyakan itu.
“Dari Madiun Dok. Saya di Surabaya kost.”
“Sudah berapa hari?”
“Sebelas hari.”
“Sehari berapa?” Ah, kenapa aku terlalu ingin tahu.
“Dua puluh ribu.”
“Bapak kerja apa?” Pertanyaan terakhir, kataku pada mulutku.
“Tukang becak.”
Mendengar jawaban itu mataku terasa basah. Ah, hidup memang tidak adil.
“Baik Pak, saya akan memeriksa Ibu hari ini. Silakan tunggu di luar ya.”

Mungkin, inilah pahat yang diberikan oleh Tuhan padaku hari ini. Aku akan menggunakannya.

Nous allons visiter Paris….

kursus-perancis5.jpgkursus-perancis3.jpg

kursus-perancis4.jpg

Kursus Perancis. Sungguh satu perjuangan yang cukup berat.

Mungkin karena selama ini aku belum pernah merasa sebodoh ini.

Belum pernah merasa menjadi yang ‘tertua’ tapi yang ‘terbelakang’. – emang biasanya di depan mas? 🙂

Tapi toh akhirnya aku bisa menyelesaikan langkah kecilku ini. Setelah sempat beberapa kali terpikir untuk menyerah. 😦

Terima kasih pada madame Ami yang telah sabar membimbing muridnya yang
agak malas dan telmi ini. Juga pada teman-temanku seperjuangan  : nisa, prahesa, felix, ully, ginza, patricia, ifa, linda, hafidz, ravi… Satu hari kita reuni di Paris ya.. Tepat di halaman Le Musée du Louvre…

Ke Paris2

paris_musee_louvre_08.jpg

Rakyat Sehat Negara Kuat, Sebuah Mantra?

dr M. Yusuf Suseno

Tulisan ini bukan semata untuk menjawab tulisan Sdr Maria Endang Pergiwati yang berjudul Hak Warga Negara Atas Pelayanan Medis(Surya 9/11), yang merupakan tanggapan atas tulisan saya sebelumnya, Penyebab Askeskin Tak Sakti(Surya 5/11).

Karena sungguh saya sepakat dengan substansi yang disampaikan. Semua warga negara berhak menerima pelayanan medis paripurna. Tak peduli ia menggunakan gakin ataupun tidak. Apalagi saat Pemerintah tengah memperingati Hari Kesehatan Nasional ke-43 tanggal 12 November dengan tema besarnya, Rakyat Sehat Negara Kuat.

Kemarin saya baru saja beranjak pulang dari rumah sakit saat tiba-tiba langkah dan mata saya terhenti. Seorang perempuan 50-an tahun terduduk di tangga depan ruang rawat inap. Tangannya menggenggam gelisah beberapa lembar resep, dan kadang ditekankannya kertas-kertas itu ke kepalanya. Lantas didekatkannya mata pada lembaran tulisan itu. Tulisan di atas dua lembar resep Askeskin, selain selembar resep umum yang berukuran lebih kecil tapi juga berisi beberapa jenis obat.

Bajunya yang berwarna kusam makin lusuh karena ujungnya berkali-kali terpakai untuk mengusap sudut matanya yang gelap gelisah. Cemas karena tahu, seseorang yang dicintainya tengah menunggunya. Menunggu obat penting berharga mahal yang tak lagi ditanggung Askeskin. Baca lebih lanjut

Hujan yang Sebentar

oleh Puthut EA (Kompas, 16 Februari 2003), dapat diakses di Kompas

AKU masih berbicara tentang ingatan, juga hujan yang hanya sebentar dan kenapa ia kekal dalam ingatan. Aku rasa karena ada keping peristiwa yang menyertainya, yang mungkin layak tercatat dalam ingatan. Atau mungkin sebaliknya, hujanlah yang menyertai peristiwa. Mungkin semua berjalan seperti catatan orang akan sejarah. Tidak semua peristiwa tercatat dalam lembarannya. Ada sesuatu yang tidak sekadar peristiwa di dalam sejarah, juga dalam hal ingatan. Tidak semua gugur daun, nyanyian, matahari yang tenggelam, khotbah, desir angin, percakapan. Dan ini tentang hujan yang sebentar, yang kekal dalam ingatan.

Senja dan hujan yang sebentar. Seperti percakapan-percakapan yang terusir, lalu mencari tempat berdiamnya sendiri, mungkin meratap diam-diam. Dan di pojok entah mana, aku dan kamu, dibuntal oleh hujan yang sebentar, di senja hari. Baca lebih lanjut

Paris, Musim Dingin 2006

Meski ajang pembantaian bagi para pembangkang itu sudah berlangsung hampir dua tahun yang lalu, bayang-bayang peristiwa itu masih sering menyergap, menghisap sebagian hidupnya sampai habis. Pagi itu, dini hari setahun lalu yang lelaki itu ingat benar dinginnya, suara dering telpon terus tak henti-henti. Tangannya gagap meraih.

“Halo.” Suara di lawan bicaranya hampir tak terdengar, cuma ada desau angin dan deras hujan. Cuaca begitu buruk, gumamnya gelisah.
“Halo.”
“Halo Dok. Ini dari UGD rumah sakit. Ada banyak korban gawat darurat datang. Sebagian besar dengan luka tembak. Dokter jaga mengharap bantuan Dokter.”
“Ok. Segera ke sana.”

Saat menutup telpon dan menatap sosok wajah di cermin, dilihatnya wajah yang letih dan berkabut. Tapi entah mengapa kantuk tiba-tiba menguap dari kamar. Diliriknya jam dinding, tepat pukul 3 pagi. Lelaki itu teringat pada ancaman kelompok pembangkang untuk melakukan aksi besar ke kota memprotes hasil referendum yang mereka nilai dimanipulasi Pemerintah Pusat. Tapi itu besok. Bukan malam ini. Mungkinkah militer sudah bergerak?

Lelaki itu harus menguatkan diri saat melihat begitu banyak pasien berdarah di UGD. Dua puluh korban luka-luka, separuhnya luka tembak di organ vital. Hampir semua dengan syok akibat perdarahan. Berliter-liter darah mengalir, dan kata seorang kawan, jalur bantuan Palang Merah Internasional ditutup.

Pasien pertamanya adalah seorang pedagang pakaian di pasar kota berusia tiga puluh dua tahun, luka tembak di dada. Paru-paru kanannya mengempis. Pneumothorax. Seorang perawat berbisik,”Bagaimana Dok?” Ia menggeleng. Pasien itu datang dengan paru-paru kiri tak tersisa karena TBC. Baca lebih lanjut

Mimpi Rakyat Sehat Negara Kuat(Jawa Pos 6/11/07)

oleh M. Yusuf Suseno

Takjub rasanya melihat beratus orang melakukan jalan sehat bersama, Minggu (4/11), memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-43 di Surabaya. Latar belakangnya adalah spanduk bertuliskan tema HKN kali ini, Rakyat Sehat Negara Kuat yang terpampang megah. Ritual tiap tahun yang tampak indah.

Sayang, spanduk itu tak berarti apa-apa bagi sebagian besar warga Surabaya. Selain sekadar pemberitahuan kalau hari-hari ini dunia kesehatan Indonesia tengah memperingati sesuatu. Entah apa.

Apalagi bagi seorang lelaki berusia 50 tahun yang ketika itu menemui saya karena mengalami serangan jantung. Sang istri bertanya, “Dok, kami orang miskin, tapi syarat Askeskin Bapak lengkap. Apa Bapak bisa tertolong?”

Saya mengangguk. “Kita akan berusaha semaksimal mungkin Bu,” jawab saya semantap mungkin. Tapi dalam hati saya tahu bahwa memakai fasilitas Askeskin pada hari-hari ini berarti bersedia mendapat obat-obat sangat mendasar. Termasuk untuk serangan jantung, penyebab kematian nomor satu di Indonesia.

Desa Siaga

Ingatan akan kejadian itu terasa pilu di tengah hiruk pikuk peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-43 ini. Membuat segala basa-basi itu terasa hambar. Mungkin karena saya juga masih ingat dengan tema HKN ke-42 tahun lalu, yakni Melalui Desa Siaga, Rakyat Sehat. Kalau memang tema Rakyat Sehat, Negara Kuat tahun ini adalah kelanjutan tema HKN tahun kemarin, maka yakinkah pemerintah kalau desa siaga itu sungguh sudah terwujud? Baca lebih lanjut

Penyebab Askeskin Tak Sakti (Surya, 5 Nov 07)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Seorang pembaca Surya mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit Pemerintah di Surabaya. Surat pembaca itu diberi judul, ‘Sengsaranya Berobat Pakai Kartu Gakin’(Surya, 30 Oktober 2007). Di tengah carut marut dana klaim Askeskin yang tak kunjung turun, ini adalah pernyataan sungguh membuat gundah. Benarkah berobat dengan kartu gakin/Askeskin membawa kesengsaraan?

Kenyataannya adalah, berobat dengan Askeskin pada hari-hari ini memang tak senikmat dulu lagi. Sebagian pemeriksaan, obat-obatan dan biaya operasi yang dulu ditanggung oleh Pemerintah saat ini terpaksa harus dibiayai sendiri oleh pasien. Mengapa? Karena Askeskin saat ini adalah sumber badai besar masalah keuangan rumah sakit Pemerintah di seluruh Indonesia.

RS Dr Soetomo Surabaya sebagai rumah sakit terbesar di Jawa Timur bahkan menanggung hutang dari pelayanan Askeskin hingga 51 milyar(suarasurabaya.net). Ini jelas bukan jumlah yang sedikit. Siapa yang harus membayarnya? Pemerintah pusat sebagai sumber dana utama program ini belum bergeming. Sedang Pemerintah daerah yang ‘katanya’ siap membantu ternyata tak kunjung mengucurkan dana. Hal ini menyebabkan rumah sakit Pemerintah terpaksa memakai model minimalis untuk mencegah makin besarnya hutang yang luar biasa ini.

Tapi sebenarnya, apa yang menyebabkan hutang tersebut bisa membengkak dan menumpuk sedemikian rupa? Jawabannya tak jelas. Semua orang menunjuk hidung orang lain. Pihak rumah sakit yang tertimbun hutang dan PT Askes menyalahkan Pemerintah Pusat yang tak kunjung menurunkan dana. Sedang Menkes menuding oknum pelayanan dan penyelenggara sistem asuransi, serta oknum pengguna Askeskin yang mengaku ‘miskin’.

Dari semua oknum yang disinyalir oleh Menkes, maka oknum yang terakhir inilah yang sangat aneh. Biasanya manusia senang mengaku dirinya kaya, tetapi sejak adanya Askeskin banyak sekali orang Indonesia yang lebih senang disebut miskin.

Padahal menjadi miskin itu sungguh tak enak. Baca lebih lanjut

the butterfly effect and my life without me

habis nonton the butterfly effect di transtv.
film fiksi yang bagus. tentang seseorang yang bisa menggunakan ingatannya buat kembali ke masa lalu, dan mengubah masa kini.
di tengah2 nonton film itu aku juga teringat film yang pernah diputar di metrotv.
judulnya : my life without me.
tentang seorang perempuan muda yang terkena kanker, dan ia menggunakan sisa waktunya untuk melakukan apa yang ia inginkan sebelum mati.
pun juga menyiapkan segala sesuatu untuk kehidupan orang2 terdekatnya sebelum ia mati.

ingatan akan my life without me memaksaku berpikir : apa yang sebenarnya kuinginkan dalam hidup?
dan anggap saja aku akan mati dalam hari-hari ini, sungguhkah aku telah melakukan hal-hal yang sungguh bermakna, sungguh2 kuinginkan dalam hidup?

the butterfly effect juga membuatku sungguh2 sadar, bahwa segala sesuatu memiliki konsekuensi yang sering kita sesali.
sayangnya kita tak memiliki kemampuan untuk mengubahnya seperti evan, tokoh utama film itu.
mungkin karena sebenarnya kita tak sungguh2 sadar saat memilihnya.

ah, sungguh kita ini pejalan tidur, kata seorang teman.
jarang sekali bangun dan hidup untuk detik ini. saat ini.
padahal seharusnya tidak.

tidak ada yang kebetulan dalam hidup. dan aku yakin film ini adalah pelajaran dari Allah untukku.