Ke Bontang lagi…

Akhirnya aku ke Bontang lagi. Februari ini saja. Tentang cerita dari sini, tunggu dulu ya…

🙂

Selamat Jalan Dokter Pejuang !

lihat, bu, aku tak menangis

sebab aku bisa terbang sendiri dengan sayap ke langit

(Subagio Sastrowardojo)

Senja itu pastilah mendung, basah, dan hitam. Senja ketika dr Wendy, dr Hendy dan dr Boyke berakhir ditelan ombak. Senja saat cita-cita harus selesai. Berhenti diterjang maut. Malam berikutnya, dr Pranawa SpPD, ketua IDI Jatim menelepon saya dan bertanya, apakah kita, dokter dan rakyat Indonesia, sungguh-sungguh kehilangan mereka?

Ketiga dokter pejuang itu memang menjadi korban KM Risma Jaya yang tenggelam di Muara Kali Aswet, Kabupaten Asmat, Papua Barat 13 Januari lalu. Dr Wendyansah Sitompul, PNS lulusan FK UI adalah dokter ahli kandungan satu-satunya di Kabupaten Asmat. Juga dua rekan dokter umum, dr Hendy Prakoso dari FK Unair dan dr Boyke Mowoka dari FK Universitas Sam Ratulangi, yang tengah menjalani masa bakti sebagai dokter pegawai tidak tetap(PTT) di Kabupaten Asmat.

Jelas ada hal-hal yang tak bisa tergantikan. Bahkan dengan penghargaan Ksatria Bakti Husada Arutala dari Menkes dr. Fadillah Supari sekalipun. Rasa kehilangan bukan hanya milik keluarga dan pasien-pasien mereka di Asmat, tapi merambah hingga Jakarta, Surabaya, seluruh Indonesia.

Tentu. Dalam tataran jasad, kita sungguh kehilangan mereka. Namun seperti juga jasad dr Hendy yang sempat ditemukan dan dikubur oleh penduduk sekitar kejadian, kita juga bisa menggali kembali. Menemukan kembali. Mengembalikan pada yang berhak.

Bukan. Bukan sekadar jasad yang akan lapuk ditelan waktu. Tapi menggali semangat. Menemukan kembali jiwa suci pengabdian dan pengorbanan. Lantas mengembalikannya pada yang berhak. Rakyat Indonesia.

Jadi, jawabnya adalah tidak. Kita tak sungguh-sungguh kehilangan mereka. Mereka ada di dalam hati, menyemangati nurani.

Hati siapa, nurani siapa? Siapa pula yang masih memilikinya dan percaya? Benarkah dokter di Indonesia masih memiliki hati dan nurani? Nyatanya pemberitaan tentang kematian mereka di media toh tak sebesar berita tuduhan malpraktek pada dokter, kupas tuntas kasus hukum pada dokter yang melakukan aborsi, maupun kritik pada layanan lamban rumah sakit Pemerintah. Jawa Pos bahkan hanya mencantumkan kalimat Menkes pada kolom kutipan. “Mereka adalah aset bangsa yang sangat luar biasa. Mereka tulus mengabdikan diri pada masyarakat Asmat yang sangat jauh.”(Jawa Pos 19/1/09)

Benar, sangat jauh. Begitu jauh hingga senja luka yang berombak itu menyeret jasad mereka, mengisi paru-paru dengan air, membalikkan masa depan. Mungkin di saat yang sama sebagian besar kita tengah duduk menonton televisi, asyik melihat kontes idola cilik, tersenyum bersama artis sinetron, atau penat dihinggapi berita korupsi.

Doa-doa mereka bertiga tak terdengar oleh kita. Tak terbayang bahkan. Sungguhkah di zaman hedonis seperti ini masih ada dokter yang bertaruh nyawa, untuk masyarakat yang tak mereka kenal sama sekali sebelumnya?

Untunglah mereka ada. Banyak. Ribuan. Hanya saja tak bersuara. Tak pernah masuk dalam berita. Hingga kini, dokter adalah satu-satunya sarjana plus yang siap kirim, siap bekerja ke daerah terpencil Indonesia.

Mereka, para dokter PTT itu bertebaran di daerah terpencil. Meninggalkan sanak keluarga. Bekerja keras menolong sesama yang sakit. Tanpa pamrih. Gaji yang tersendat. Perhatian Pemerintah yang kurang. Tak ada jaminan keselamatan. Tak ada pelampung. Tak ada alat telekomunikasi. Sendiri.

Senja kemarin pastilah mendung, basah dan hitam. Dan di senja itu mereka sungguh sendiri. Berhadap-hadap dengan maut. Namun, mereka tak sungguh-sungguh pergi. Hingga kini mereka masih tetap menebar semangat. Menghidupi nurani. Terbang menembus langit hati.

Selamat jalan Dokter Pejuang!