Seorang Perempuan dengan Kanker Payudara

Pagi ini aku berangkat seperti biasa. Seakan hari akan berakhir rutin di sore hari. Tapi ternyata tidak. Pasien kelima kami hari ini, seorang perempuan masuk ke dalam ruang pemeriksaan ekhokardiografi. Kulihat wajahnya, masih muda. Lebih muda dariku. Di status terbaca, 29 tahun. Diagnosa : Infiltrating Ductus Carcinoma Mammae dengan Metastase  ke Paru dan KGB(kelenjar getah bening). Ini adalah stadium akhir kanker payudara, dimana sudah terjadi penyebaran ke organ lain, yakni paru-paru dan kelenjar getah bening.

Aku tercenung. Sekali lagi, hidup tak adil, kataku dalam hati.

Bagaimana mungkin seorang perempuan muda 29 tahun yang tengah menyusui bayi berusia 3 bulan harus menjalani kemoterapi? Aku menatap matanya, lantas berpikir tentang kenyataan hidup yang pahit.

Melihat diriku sendiri dan merasa malu.

Betapa tidak bersyukurnya aku.

Betapa mudahnya merasa sedih, bahkan kadang putus asa hanya karena hal2 kecil…

Tapi setelah membaca posting guruku ini, aku jadi agak lega. Mungkin hidup sebenarnya tak seburuk itu. Tuhan tak sekejam itu. Sesungguhnya, kita memang tak punya apa2. Semua milik Allah semata..

terima kasih gunung..

telaga warna

hari minggu pagi pulang kampung sekalian pergi ke telaga warna di dieng, wonosobo, jawa tengah.
termasuk menyambangi kembali gua semar, tempat Pak Harto pernah bersemadi. eh ternyata siangnya ia meninggal.

hmm, jadi ingat lembaran kelopak mawar yang tersebar di depan pintu gua. sekaligus bau wangi kemenyan menusuk hidung..

sesaat disana aku cuma ingin berhenti sejenak. diam. meniru gunung.

terima kasih gunung…

Pursuit of Happiness

jaden_smith16.jpg

Dari film itu ada satu kalimat yang sangat kuingat. Kalimat yang diucapkan Gardner pada Christopher saat mereka usai bermain basket. Satu hari aku ingin mengatakannya pada anakku.

“Hey… Don’t ever let somebody tell you that you can’t do something. Not even me. You got a dream, you’ve got to protect it. People can’t do something themselves, they wanna tell you that you can’t do it. You want something, go get it. Period…”

Making mistakes is just part of life.

Everything tells me that I am about to make a wrong decisions, but making mistakes is just part of life. What does the world want of me? Does it want me to take no risks, to go back where I came from because I didn’t have the courage to say “yes” to life?[Paulo Coelho]

Kalimat yang kuambil dari seorang kawan sekaligus guru terasa memerihkan hati. Mengapa?  Karena ternyata aku kadang masih memilih untuk berkata tidak pada kehidupan.

Memilih untuk berlindung dibalik di balik tembok zona nyamanku.

Babel, Sendiri.

babel1

Malam ini aku menonton Babel.

Sebenarnya sudah lama kepingin, tapi belum sempat. Memang ada Brad Pitt di sana, tapi bukan itu yang terpenting.
Kurasa Babel sangat menyentuh. Ada kesepian di sana. Ketulusan dan kasih sayang. Terasa jauh, tapi mengada.
Juga hati rapuh. Luka mengerati jiwa manusia.
Mengarat. Menggerak-gerakkan daun kering di musim kemarau.
Perlahan. Jatuh. Tersapu angin.
Sendiri.

kematian begitu akrab..

Seorang laki-laki, belum 30 tahun. Berbaring di bed rumah sakit. Napasnya cepat.
-hidup tak adil- kataku dalam hati.
Ia menderita kelainan jantung katup. Sebagian katup atau pintu penghubung ruang jantungnya bocor. Ada empat pintu dalam jantung, dan semuanya bocor. Mereka tak bisa menutup rapat. Dan yang gawat, kini ia mengalami infeksi, terjadi pertumbuhan bakteri di sekitar katup, dunia medis menyebutnya vegetasi.

Kami bertemu saat aku melakukan pemeriksaan echocardiography, matanya sayu, badannya demam.
“Saya periksa ya Mas.” Ia mengangguk.
Kondisi jantungnya memang berat. Hatiku terasa pilu. Hidup tak adil. Ia masih begitu muda.
“Mas, Mas harus dzikir terus ya…” Ia mengangguk.
“Mas, Mas harus terus berdoa, percaya kalau Allah akan memberi kesembuhan. Jangan sekali-kali ragu. Yakinlah kalau Allah pasti memberi sembuh.” Ia kembali mengangguk. Aku tertegun, berharap kata-kataku benar. Tapi inilah yang kubaca dari berbagai buku. Kekuatan keyakinan. Kekuatan pikiran. Kekuatan iman.

Beberapa hari ia masih bertahan. Kondisinya memang tak membaik. Tapi setidaknya ia masih bisa tersenyum. Tiap kali lewat aku selalu menyempatkan diri untuk menghampiri dan menyapa. Terakhir bertemu aku kembali berkata, “Mas berdoa terus ya. Mas harus yakin sembuh..”
Ia tersenyum. Aku tahu ia senang ada seorang dokter yang berhenti menyapanya. Memberi semangat.
Mungkin, itulah salah satu obat yang sebenarnya ia butuhkan.

Tapi beberapa hari yang lalu tempat tidurnya kosong. Aku tak bertanya ia ada dimana. Aku tahu dimana ia kini berada.
Seorang teman mengirim sms, itu adalah qodhar dari Allah. Hak prerogratifNya. Mungkin ia benar. Mungkin sekali ia benar…

seperti sepotong sajak, kematian memang begitu akrab..

kadang terlalu akrab…

Saatnya Mengampuni Soeharto?

Hari-hari itu adalah hari yang penuh gempita. Semangat turun ke jalan. Berteriak. Melawan. Hiruk pikuk yang makin mengeras pasca penembakan Semanggi tahun 1998.

Sebagian besar mahasiswa ikut larut dalam arus. Saya sebagai komponen kecil, ikut menyebarkan pamflet, dan seperti yang lain, rapat, berbaris dan berteriak. Larut dalam kemerdekaan yang entah kenapa, seakan baru saja turun dari langit.

Sudah hampir 10 tahun kini. Soeharto, seseorang yang saat itu dicerca, tak pernah selesai diproses secara hukum. Begitu banyak hal yang menghambat. Termasuk masalah kesehatan. Beberapa teman sejawat dokter senior di Jakarta, meyakini bahwa Soeharto mengalami sakit permanen. Ia tak layak menjalani kasus pidananya lebih lanjut.

Kini sakitnya makin parah. Gagal organ multiple. Jantung, ginjal, paru-paru, semua kelelahan mengikuti irama hidup. Sudah sunnatullah sebenarnya. Mereka capek. Ingin berhenti. Pertanyaan yang ramai di berbagai surat kabar, inikah saatnya mengampuni Soeharto? Baca lebih lanjut