Covid-19 dan Kebahagiaan

Apapun yang kita dapat dalam hidup, itu pasti lebih baik dari kematian yang bisa saja kita alami. Kesadaran itu saja seharusnya sudah jadi sumber kebahagiaan.

Tapi mengapa kita tak bahagia2 juga? Atau kalau toh bahagia, kenapa tak bahagia sepenuhnya??

Ngendikanipun Gus Baha, kunci bahagia itu gampang. “Jadikanlah yang sedikit sebagai sumber senangmu.” Artinya, kita nggak usah punya standar tinggi pada apapun di dunia ini selama itu untuk diri kita sendiri.

Seperti saat ini. Saat melihat gadis kecilku shalat dhuha.
Kalau saya mau sadar, sebenarnya momen ini jauh lebih berharga dari hadiah apapun. Apa artinya punya dunia dan seisinya jika anak kita tidak mengenal TuhanNya? Jadi, ketika Allah menakdirkan anak kita mau sujud, itu sebenarnya adalah satu hal yang sangat keren. Dan mestinya peristiwa ini saya syukuri.

Masalahnya adalah kita terlanjur merasa bahagia kalau A kalau B atau kalau C. Atau bahagia kalau A dan B.
Sedangkan A, B, atau C ini kadang syaratnya tinggi, dan sering tidak tercapai karena dunia ini memang tidak bisa kita kontrol.

Memangnya kita bisa mengontrol hujan yang membatalkan acara piknik? Memangnya bisa kita mengontrol wabah Covid-19 yang membuat kita nggak bisa tarawih di masjid? Wabah yang memaksa kita di rumah, wabah yang membuat tabungan menyusut, wabah yang membuat kita batal mudik, wabah yang …. dan …. dan ….
NGGAK BISA.

Lagi pula, sebagai seorang muslim katanya nikmat paling besar, nikmat level tertinggi itu iman dan islam..
Tapi kenapa kok saya masih sering nggerundel dan mecucu? Termasuk gara-gara Covid dan segala embel2nya?

Wis. Mulai sekarang saya putuskan untuk bahagia. Dan siapapun tidak berhak mengganggu keputusan itu. Termasuk urusan Covid.

Alhamdulillah.. ☺️😛🤪🥰😍😁
Itu saja.

Satu Tanggapan

  1. Selalu adem membaca tulisan dr.Yusuf.Sebelumnya, maturnuwun karena dokter salah satu yang merawat bapak saya di purwokerto dan sampai sekarang masih rutin kontrol. Banyak hal dalam hidup adalah pilihan, kita bisa memilih mau A atau B dulu tapi saya sepakat bahwa kematian bukan pilihan. Dia adalah takdir yang pasti akan datang, entah kapan, siap tidak siap pasti akan datang. Sebenarnya dokter dikasih “penglihatan” lebih terhadap kematian. Kita melihat dan berkutat dengan urusan itu, dan kematian tidak kenal umur. Bayi baru lahir bisa mati, anak yang masih menggemaskan pun bisa mati, istri atau suami yang baru menikah pun bisa, dan terkadang kisah di baliknya tetap membuat sedih. Semoga keberkahan dan kesehatan tercurah untuk dokter. Salam sehat dok, salam tuk putri manisnya, saya berharap suatu hari nanti pun bisa melihat putri saya tumbuh besar jika masih diberi nikmat usia. Amiiin

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: