Rock and Roll Never Dies..

Malam ini, alih-alih membaca buku, visite pasien di RS, tidur atau menulis, saya memilih menonton konser sebuah band musik Rock berjudul : KOTAK. Tentu saja kegiatan ini tak disengaja, insidentil, intuitif.  Band ini memang tengah naik daun, bahkan terpilih sebagai Grup Rock Terbaik dan Album Rock Terbaik AMI 2009. Selain itu mereka juga diganjar sebagai Most Favourite Breakhtrought Artist 2009 dari MTV Indonesia Awards. Namun dalam mindset saya, KOTAK belum cukup dewasa bagi orang yang seangkatan dengan Fadly “Padi” seperti saya.

So, alasan utama mengapa saya menonton konser ini adalah karena saat ini saya masih ‘sorangan wae’  di Purwokerto. Anak istri tercinta masih di Surabaya. Tapi karena kata teman tak ada yang kebetulan dalam hidup, maka acara ini pastilah mengandung  makna tertentu.

Dan ternyata ia benar. Gusti Allah menaruhku di GOR Satria Purwokerto karena Ia ingin membuka mataku. Setidaknya untuk berkaca bahwa di dunia ini ada orang-orang yang bisa membius ratusan manusia, membuat mereka trance selama hampir sejam, dan sedih bukan kepalang saat pertunjukan berakhir.

Dulu, saat saya masih sedikit lebih muda 🙂 , saya pernah menonton beberapa band papan atas Indonesia. Tapi rasa-rasanya kok tak sesyahdu dan segarang ini. Contoh hawa syahdu menjalar saat Tantri sang vokalis berbisik”Tik tik tik, waktu berdetik, tak mungkin bisa kuhentikan..”(Masih Cinta). Namun berubah garang saat lagu2 keras diteriakkannya dengan suara serak melengking. Ia didampingi Chua, sang bassist yang malam tadi mengaku-aku jomblo. Sedang Cella dan Posan, meski tampil prima, tampak lebih low profile dibanding kedua rekan gadisnya.

Paduan dua dara manis itu memaksa penonton yang sebagian besar laki-laki muda bersorak, meloncat, diam dan teriak tiap kali sang vokalis menyuruh. Saya yang merasa agak “senior” jadi agak tersingkir ke pinggir. Pingin juga sih meloncat-loncat seperti para yunior itu, tapi takut nanti harus minum NSAID agar hilang pegal-pegalnya. Lagipula sempat ada rasa malu. Bagaimana nanti kalau ada anak-anak koass Unsoed atau UPN yang menonton konser? Apa pendapat mereka tentang spesialis jantung yang ikut  meloncat-loncat di depan panggung?

Tapi sekali lagi, karena tak ada yang kebetulan dalam hidup, sedikit keterpinggiran saya di konser itu ternyata membuat saya berjarak dengan massa. Hingga sempatlah saya mengamati psikologi hingar bingar ini. Psikologi massa.

Laksana pemimpin tarekat, Lagu-lagu KOTAK membawa para penonton dalam doa bersama yang kompak dan tertib. Dzikir akbar yang khusyuk. Setiap kata diamini. Setiap teriakan disambut. Setiap lompatan berbalas.

Lagu2 berjudul Selalu Cinta, Kosoeng Tujuh, Pelan-pelan Saja, Masih Saja, dan beberapa lagu lain yang tak saya hafal meledakkan ruang terbuka dalam GOR Satria Purwokerto. Ritual ini mencapai puncaknya saat pagar lapis polisi jebol oleh penonton tak berkarcis, dan KOTAK tengah menyanyikan lagu penutup : “Beraksi”.

Tantri, sang dewi pujaan pemimpin umat Kerabat Kotak itu bernyanyi penuh energi. “Hei! Yang ada di sana, semua bernyaryi.. Hei! Yang ada di sini, semua hepi.. Beraksi..” Dan pengikutnya dengan taklid dan patuh teriak dalam bahasa yang sama.

Rock n Roll never dies. I’m sure about that!

 

Berpulang pada Nurani Kasus Prita (Suara Merdeka 16/10/2010)

oleh M. Yusuf Suseno

Kasus hukum perdata Prita telah diputuskan. Di mata hukum pertikaiannya dengan RS Omni Internasional telah usai (Suara Merdeka 9/10/2010). Namun sebagai bagian dari sejarah, makna apa yang bisa kita dapat dari kasus ini? Jika kasus ini kita anggap cermin, bagian wajah mana yang perlu kita pulas  dan perbaiki?

Surat Prita yang tersebar luas di internet memang sangat menohok. Tidak hanya bagi dokter dan manajemen RS Omni, namun juga bagi para teman sejawatnya. Tak heran RS Omni bereaksi cukup keras.

Entah menimpa Prita atau yang lain, satu hari perseteruan antara rumah sakit  versus pasien di kubu lain pastilah muncul. Karena dunia layanan kesehatan memang terus berubah. Hubungan antara pasien, dokter dan rumah sakit tak lagi sama seperti 20 tahun lalu. Jumlah dokter terus bertambah. Penegakan diagnosa penyakit menjadi lebih cepat dan efisien. Terapi medis tak henti menemukan hal baru. Namun selain biaya yang membengkak, di sisi lain, mutu hubungan antara dokter, rumah sakit, dan pasien, malah menurun.  Dalam kasus Prita, hingga titik nadir.

Tingkat kepercayaan pasien terhadap dokter yang dulu begitu besar, kini terseok-seok di belantara prasangka. Interaksi dokter dan pasien yang dulu begitu intensif, perlahan menurun, digantikan oleh alat diagnostik yang lebih canggih. Sebagian tangan, mata dan telinga dokter mulai tergantikan. Rumah sakit telah berubah wujud. Ia tumbuh dari ide mulia tentang bagaimana sebuah institusi bisa menolong sebanyak mungkin orang, menjadi sebuah industri jasa yang menjanjikan. Mereka saling berlomba mendapatkan pangsa pasar sebesar-besarnya. Di sebagian rumah sakit, nilai-nilai luhur condong menjadi pragmatis ekonomis.

Rumah sakit pemerintah yang bertarif murah menghadapi ancaman overload. Membludaknya pasien membuat tidak optimalnya komunikasi dokter dan pasien. Dokter tak sempat berlama-lama bicara, karena di depan pintu poliklinik atau UGD telah menunggu berpuluh pasien lain. Padahal Dr Barrier dari Mayo Clinic satu hari menulis, salah satu cara untuk memperbaiki hubungan dokter dan pasien adalah pertanyaan, “What else?” Satu jenis pertanyaan terbuka. Metoda yang menjadikan pasien sebagai pemegang kendali, pusat dari anamnesa. Banyak dokter yang akan berkata bahwa hal itu tak mungkin dilakukan. Hasilnya adalah idealisme yang pelan melayu. Dokter jelas bukan malaikat.

Hal ini berlanjut hingga saat pasien masuk bangsal. Sebagian rumah sakit pemerintah harus menghadapi kendala kurang rasionalnya perbandingan perawat dan pasien. Akibatnya kesan kalau rumah sakit publik adalah institusi tak ramah masih melekat. Apakah hal ini terjadi pada rumah sakit swasta? Seharusnya tidak.  Namun kenyataannya, beberapa pasien tetap saja mengeluh. Termasuk Prita.

Padahal kunci dari terbukanya pintu tuduhan malpraktek adalah komunikasi yang buruk antara dokter dan pasien. Penelitian Beckman di Arch Intern Med tahun 1994 mendapati ada 4 faktor pemicu tuntutan malpraktek di Amerika.  Penelantaran pasien, kurangnya penghargaan terhadap pendapat pasien dan keluarga, cara pemberian informasi buruk, serta kegagalan memahami pandangan pasien. Untuk itulah beberapa asuransi malpraktek di Amerika memberikan diskon pada dokter yang mau mengikuti pelatihan komunikasi.

Jika dirunut ke belakang, selain sistem, mungkinkah kuncinya ada di institusi pencetak dokter? Berapa lama mata kuliah komunikasi diberikan di fakultas kedokteran? Cukupkah para dosen klinis di rumah sakit memberikan contoh cara komunikasi yang baik terhadap pasien? Alangkah sayang jika mahasiswa kedokteran yang kini harus membayar mahal hanya mengenal model paternalistik sebagai pendekatan satu-satunya.

Padahal model paternalistik saat ini disinyalir menjadi sumber maraknya tuntutan malpraktik. Karena pada model ini, interaksi antara dokter dan pasien laksana orang tua dan anaknya, hingga dokterlah yang memastikan terapi terbaik. Dokter menjadi penentu keputusan. Keputusan yang di kemudian hari sering dipertanyakan, terutama jika terjadi efek samping dan komplikasi.

Di kubu lain, sudah saatnya model informatif yang setara ditekankan pada mahasiswa fakultas kedokteran. Pada model ini, segala informasi, termasuk diagnosa sementara dan pilihan pemeriksaan penunjang diberikan pada pasien atau keluarga. Dokter menjelaskan jenis pilihan obat, tindakan operasi, efek samping maupun resiko-resiko. Keputusan terapi ada di tangan pasien atau keluarga. Ketidakpuasan pasien diminimalisir.

Sayangnya model informatif juga menyita waktu dokter dan perawat. Seorang dokter umum di Puskesmas dengan 50 pasien sehari pastilah akan kerepotan jika harus menerangkan satu demi satu efek samping obat. Pertanyaan ideal seperti, “Ada lagi Bu yang ingin disampaikan?” pasti sangat jarang terucap.

Tidak mudah memang mengurai benang kusut prasangka antara pasien, dokter dan rumah sakit. Diperlukan peraturan perundangan yang benar-benar mewakili kepentingan semua pihak. Lantas, apa yang terjadi jika kekecewaan yang menimpa Prita kembali menimpa pasien lain? Haruskah menyebar kabar buruk ke semua orang? Mestikah berakhir di jalur hukum? Tentu saja tidak. Akan lebih baik jika semua pihak duduk bersama. Dokter, rumah sakit, pasien. Lantas seperti Prof Budi Susetyo Juwono, guru besar kardiologi Unair berkata, inilah saatnya kita berpulang kembali pada hati nurani. Karena kembalinya nurani akan selalu menjadi penenang, menjadi pengurai kekusutan.

Di atas adalah versi yang saya kirim. Versi cetak di SM banyak potongan yang kurang pas. Ini link-nya : SUARA MERDEKA

Dua Sajak Lama Bertahun Lalu. Kenapa Aku Tak Bisa Menuliskannya Lagi?

Mungkin Suatu Hari Aku Akan Datang Padamu

mungkin suatu hari aku akan datang padamu
masih gondrong, dengan suara motor menderu
kucium anakmu satu-satu
sedikit iri, kusalami suamimu
kupandang wajahmu, duh kangen yang senantiasa
+wah hidupmu bahagia
-alhamdulillah, kapan kau kawin?-
+nggak ada yang mau sama pecundang-
kau tertawa
-cuti ya?-
+ya, cuti panjang sekali-
(memang aku baru seminggu terima surat phk)
lantas kuculik putri bungsumu buat jalan2 di taman kota
ia persis kau di waktu muda
mandiri, ceriwis, pemarah juga
tiba-tiba terasa aku harus pergi
-kok cepat2 mau kemana lagi?-
+nggak kemana-mana masih saja di bumi-
kau tersenyum
lantas kutinggalkan kotamu
mau kemana lagi?
entah
tuhan di langit diam saja
kau kawin, beranak dan berbahagia
aku juga bisa, pikirku
berhenti di telpon umum, kujual motor tuaku, harga diri
aku kawin, kerja, beranak, dan kata orang : berbahagia
tiap kali kupandang langit, gunung dan jalan raya
terasa maut menunggu di pojok kamar mandi
so, tak pernah aku berhenti
kusongsong ia kemana aku pergi
motor menderu, udara subuh dingin membeku
impian berlari sepanjang jalan

semarang juni1996

–00–

Ya. Aku Datang Padamu

aku datang padamu
diiring dua perempuan
menatapmu nanar
digetari juta kenangan
pingin bilang : ternyata enak juga kawin dan beranak.
sedang bahagia?
mungkin
+masih berlari?
-ya. menuju mati-
+terus bermimpi?
-apa itu sungguh berarti?-
ah, akhirnya aku telah datang padamu
sekali lagi, sebenarnya cuma pingin bilang : selamat kawin, beranak dan berbahagia!

grabag, 19 april 2003