
Hujan selalu mengundang rasa sendu. Gerimis cinta, suamiku menyebutnya demikian. Beribu impian ditabur dari langit, tak satu tertangkap. Selain ia tentu saja. Yang kemudian berbasah-basah menjemputku di halaman kantor, sekadar menggerak-gerakkan tumpukan kangen yang lembab.
”Mas nggak berangkat?” Matahari mulai sembunyi di langit. Seharusnya suamiku ini masuk jaga sore di UGD rumah sakit swasta.
”Ada pemecatan massal. Kata Pak Direktur, rumah sakitnya rugi,”katanya pelan. Segera wajahku berubah muram. Tapi ia terlihat biasa saja. ”Nggak usah dipikirlah. Mungkin Pak Direkturnya lagi butuh duit.”
Tapi kita juga butuh duit, kataku dalam hati. Apa 210 ribu honor jasa medik PT.Askes yang ia terima tiap bulan dari rumah sakit pemerintah itu cukup? Kadang aku merasa ia terlalu yakin. ”Tulisan ada yang dimuat Mas?”
Masih menatap jalan, ia menggeleng datar. Wajah datar itu masih tetap menempel di pipi saat sepeda motor tua kesayanganmu berhasil hidup. Meski masih agak ngungun gara-gara kabar tentang pemecatanmu, aku naik juga ke boncengan.
”Berapa kali ia mogok?,”tanyaku dulu saat pertama kali naik. ”Kamu akan tahu,”. Yah, setelah hampir lima tahun bersama, setidaknya sebulan sekali kami harus mendorongnya. Tentu saja aku tak ikut berpeluh. Hanya ia yang berjuang sambil tiap kali mengumpat marah.
Perjalanan dari kantor ke rumah kontrakan yang baru ternyata begitu cepat. Rumah kecil di gang kelinci itu tampak lengang. “Anak-anak pasti sedang tidur,” gumamnya lirih.
Karena gerimis tak berhenti jua, motor naik ke teras yang tampak sempit diisi motor tua, tempat sampah, sepatu berceceran dan sapu tua di sudut.
Cinta, Lintang dan Langit, ketiganya perempuan sainganku dalam merebut perhatian suamiku, tidur di kamar, di atas kasur yang diletakkannya begitu saja di atas lantai. ”Itu membuat kita tak repot saat pindah-pindah rumah,” katanya padaku dulu. Dan sejak itu, tak pernah ia membeli tempat tidur meskipun sudah beranak-pinak seperti sekarang.
Jangan tanya tentang kursi tamu, meja, apalagi lukisan penghias dinding. Rumah cuma berisi barang-barang yang sungguh-sungguh bermakna buat hidup. Selain buku tentu saja. Bukulah harta kami satu-satunya. Ia kadang minta maaf padaku tentang hal ini, dan entah kenapa aku selalu memaafkan kebadungannya.
Padahal aku sebenarnya orang rumahan, bukan tipe yang senang jauh dari orang tua ataupun berpindah-pindah macam kucing. Tapi beginilah akhirnya jika seorang perempuan mencintai, lantas menikahi seorang dokter weng*. Ia berganti rumah dan kota sesukanya, tergantung pekerjaan dan macam hidup yang ingin dilakoninya.
Bagi diriku sendiri hidup semacam ini cukup sulit dijalani. Apalagi dengan dua anak balita dan seorang bayi yang butuh susu. Akhir-akhir ini aku sering sakit kepala, yang ia pasti akan menyebutnya psikosomatis belaka. Memang tak mudah menjadi diri sendiri. Terutama saat tercerabut dari akar yang membesarkan kita. Begitu penjelasannya suatu hari.
Dulu aku tak percaya saat ia memutuskan meninggalkan tawaran kemapanan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan malah memilih kehidupan sulit ini.
“Mas, wis dipikir tenan to?
“Wis.”
“Mas lebih pilih sekolah spesialis?”
“He eh.”
“Katanya lima tahun Mas?”
“He eh, mungkin lebih.”
“Dapat gaji nggak?”
“Nggak. Paling honor jasa medik.”
”Lantas kita hidup dari mana?”
”Ya dari Gusti Allah to.”
Ya sudah. Sebagai istri aku tak banyak bertanya lagi. Dan akhirnya kami pun pindah dari kota kecil tempat kau menjalani PTT ke kota besar tak ramah ini, hanya gara-gara cita-cita ingin jadi spesialis. “Kita ini ibnu sabil dan musafir sekaligus. Karena sekolah spesialis itu kan fardu kifayah.”katanya suatu hari. Lha kalau ibnu sabil atau musafir, harusnya dapat bagian zakat, jawabku dalam hati.
Tapi tentu saja kami tak mungkin mendapat bagian zakat, dan akibatnya hidup rasanya jadi makin susah. Apalagi setelah kau di-DO dari UGD rumah sakit swasta itu. Kadang-kadang ia memang dapat job gantikan praktek dokter lain atau transfer honor dari tulisan yang dimuat, tapi itu insidentil.
“Kan kita masih punya tabungan?”tanyanya sok yakin. Tapi tidakkah lama kelamaan ia habis?
“Yah, setidaknya kan kamu masih punya gaji tetap,”katanya di hari yang lain. Tapi, apa itu cukup?
“Mas, susunya Langit tinggal hari ini.” Pertanyaanku tadi benar-benar terjawab. Sore itu aku benar-benar pusing karena gaji bulananku sudah habis, dan saat itu baru tanggal 20! Ia mengangguk kecil.
“Sore iki tak golek duwit.” Darimana? tanyaku dalam hati. Ia tak cerita tentang tawaran untuk menggantikan praktek, dan sepertinya tulisannya belum ada yang dimuat lagi. Tapi aku diam. Setelah berkata itu ia pergi, entah kemana.
Menjelang isya ia pulang. Wajahnya terlihat cerah. Dicabutnya dompet dan uang seratus ribu keluar dari sana. ”Ini buat beli susu.” Di tanganku uang itu terasa panas.
”Duit darimana Mas?”
Ia terdiam. Lama. Lantas tersenyum. ”Sing penting kan entuk duit.”
”Halal?” Senyum itu makin lebar. ”Halal banget. Wong asalnya dari hape-ku kok,” katanya sambil tertawa keras. Ditunjukkannya selembar bon penjualan handphone.
Pemandangan itu menyengat saraf tawaku juga. Aku ikut tertawa. Walah, dasar suamiku weng! Senja itu kami terbahak hingga berderai air mata. Menertawakan diri sendiri, menertawakan hidup. Katrok, katrok…
Tapi dalam hati aku berdoa, semoga setelah ia lulus jadi spesialis, kegilaannya tidak berubah. Karena itulah yang membuatku mencintainya.
Dasar weng*!
*weng = ejekan akrab dalam bahasa jawa, berarti agak-agak gila.
Filed under: cerita pendek | 5 Comments »