Hujan di Bandara Kota

Basah. Itu kesanku buat hari ini. Hatiku terendam banjir kenangan. Sedang di luar hujan terus turun. Lapangan terbang di Bandara Kota tak kelihatan lagi. Hujan dan angin berpilin di ruang kosong luar. Seseorang berkata di belakangku, ada kemungkinan besar pesawat ke Los Angeles ditunda.

***

Pun juga lima tahun lalu hujan tak selebat ini waktu Tante Nik turun dari pesawat. Kata ayahku, ia datang dari Amerika. Kulihat dari tempat tunggu gaunnya berkibar diterpa angin. Wajahnya cantik. Tubuhnya termasuk tinggi untuk kebanyakan perempuan, hampir menyamai ayahku. Ibuku yang tingginya pas-pasan jadi terlihat lebih pendek lagi. Setelah berpelukan sebentar dengan ayah dan ibu, ia memandang wajahku dan tiba-tiba aku berada dalam pelukannya.

“Hanif sudah besar ya? Sudah kelas berapa?” Ia bertanya sambil menciumi pipiku. Aku diam saja. Aku masih terlalu muda untuk bisa segera berakrab-akrab dengan orang asing seperti orang-orang dewasa. Diambilnya sebuah bungkusan dari dalam tas, dan tangannya terulur padaku. Bungkusnya menarik. Aku pingin segera membukanya. Ibu melirikku tajam.

Baca lebih lanjut

Rengeng-Rengeng

Malam pekat sekali. Aku berjalan terantuk-antuk batu sepanjang gang. Sol sepatu yang tipis tak kuat lagi menahan tubuh dari terjangan batu-batu.

Aku tak begitu suka lewat gang ini. Terlalu gelap, berbatu dan becek di musim hujan. Penghuninya pun tak ramah. Tapi gang ini jadi jalan pintas ke rumah kosku. Meskipun hampir tiap malam kulalui, tapi tak banyak yang bisa diperhatikan. Dan memang tak ada yang istimewa. Semuanya kelihatan sama. Miskin. Kumuh. Kecua¬li sebuah rumah. Nomor tiga dari mulut gang.

Rumah itu tak beda dengan yang lain. Kecil. Sederhana saja. Lampu depannya cukup lima watt, tapi di remang itu dinding pa¬pannya terlihat putih bersih. Halaman yang terbatas luasnya senantiasa rapi. Ada beberapa kuncup mawar yang tumbuh merambati pagar bambu. Selera aneh di tengah-tengah gang kumuh. Satu hal yang sungguh-sungguh membuatku tertarik adalah rengeng-rengeng suara perempuan.

Rengeng-rengeng itu begitu memilukan bersemu tangis. Nadanya membentuk tembang jawa. Entah apa. Luruh bersama angin, mencipta¬kan malam yang sungguh kelam sepanjang perjalanan melintasi gang. Bulu kudukku berdiri saat kulewati rumah itu. Tidurku terganggu mimpi-mimpi. Seakan eyang kakung hidup kembali dan menembang untukku.

Ah, rengeng-rengeng perempuan itu betul-betul mengiris dadaku. Tercipta pisau daging yang besar, dan dengan alun nada-nada tembangnya diirisnya hatiku, jantungku, paru-paruku, tulang sumsumku. Diperasnya darahku. Ditampung dalam ember buat menyiram mawar-mawarnya. Ingin sekali aku menyuruhnya berhenti nembang. Berhenti rengeng-rengeng. Berhenti membunuhku setiap kali aku lewat.

Berdiri diam di depan pagar rumahnya, rengeng-rengeng semakin merasuk dada. Suaranya pelan, halus. Angin malam menyusup di sela baju. Dingin. Kupegang pintu pagar. Batinku berperang melawan otakku. Apa kau sudah gila, kata otakku nyinyir. Malam-malam bertamu di rumah orang. Batinku diam, keras kepala. Mereka bertengkar, berkelahi, saling mencakar sementara tanganku masih bertahan di pagar rumah itu.

Kudorong pintu pagar ke dalam. Tak terkunci. Suaranya agak kasar. Tapi tak membuat rengeng-rengeng berhenti. Hujan yang turun tadi sore sedikit membuat becek halaman. Kuketuk pintu pelan-pelan. Akankah dibuka? Seorang tamu malam-malam dan tak dikenal. Mungkin aku memang sudah agak kurang waras. Kehilangan common sense.
Baca lebih lanjut

Tiga Gerimis di Malam Lebaran

Tiga Gerimis di Malam Lebaran

Satu

Jalan naik ke rumah, entah mengapa, kini bertambah terjal. Padahal baru setahun aku tak menengoknya. Atau aku memang tak segagah dulu? Ah, hitam asap Jakarta benar penuh mengisi paru.

Dingin senja dan gerimis pekat. Hujan yang sama pernah kutawarkan padamu dulu saat hendak kutinggal ke ibu kota. “Pasti aku akan segera pulang, lantas membayar hutang berobat Bapak.” Kau tersenyum, menelanku dalam kabut matamu. Kau sodorkan payung. Aku hampir menolaknya. Tapi saat itu pula hatiku berjanji, aku akan membawanya kembali.

Tapi berapa banyak janji yang tak bisa kupenuhi istriku? Payung itu hilang saat aku turun dan kencing di toilet umum Pulogadung,  termasuk tas butut berisi pakaian. Kopiah pemberian Ayah pun terpaksa kutukar dengan sepiring nasi rames di warteg. Lantas setelah berbulan bertahan memulung sampah dan hidup menggelandang, berapa banyak uang yang bisa kubawa pulang untuk sekadar berlebaran?

Kau benar istriku. Sekali lagi kau benar. Pertanyaan itu tak perlu kujawab. Toh, aku pulang kini, masih saja berjalan kaki. Tak kuhiraukan tawaran tukang ojek dan kicauan sopir omprengan. Ah, biar kutelan peluh ini. Tiga kilometer ke rumah takkan lama. Hanya saja, kenapa jalanan ini bertambah terjal kini?

Dua

Berdiri di pinggir jalan, dalam gerimis pula, tak pernah membuatku senang. Bedakku sebagian luntur. Parfum murahan yang kubeli dari warung sebelah rumah tak bersisa. Tinggal bau asap motor dan selokan kota, sebagian berisi kotoran manusia.Tapi wisma masih tutup, sedang aku butuh uang. Tanpa uang tak ada obat untuk Bapak. Kartu miskin bukan segalanya. Dokter bilang, ada beberapa obat yang tetap harus kubeli. Entah bualan atau benar.

Uang. Bukankah Ramadan telah usai dan kini malam Lebaran?

Stasiun Poncol mulai sepi. Dan puluhan pasang mata lelaki terlanjur  menelanjangi. Sialan, kenapa mereka tak mau berhenti? Sapa aku hei! Jeritku dalam diam. Aku tahu kau butuh belaianku, rayuanku, tubuhku. Aku butuh uang di dompetmu. Kenapa tergesa?

Suara takbir bertalu-talu. Mataku basah. Entah kenapa. Ah, mungkin aku cuma rindu masa kecil dulu di kampung. Rindu Abah dan Emak. Rindu suara abangku mendaras Qur’an. Sedang kami berlarian di kolong langgar.

Entah kekuatan apa yang tersimpan di malam ini, tapi aku tak laku. Cuma sekali, tiga puluh ribu rupiah, harga teman dengan seorang tukang becak kesepian yang tak bisa pulang kampung. Mungkin Gusti Allah tengah marah padaku. Tapi bukankah Ia Maha Mengerti? Termasuk pada kehilangan-kehilangan yang terjadi dalam hidupku?

Entahlah.

Tiga

Tulang menonjol dari balik kulit. Lelaki tua tertatih, berjalan ke teras rumah, sekuat tenaga meraih pinggiran kursi. Hampir terjatuh.

Tempias hujan membasahi kaki keriput. Terduduk dalam diam.  Rindu masa lalu. Saat ia cukup sehat untuk bekerja dan mencari uang. Juga bebas dari nyeri yang kian tak tertahan. Dirogohnya saku, obat yang tinggal sekali minum. Di kantong tak ada lagi. Besok rumah sakit tutup. Suara takbir dari musholla kampung terdengar jauh.

Sungguh, ia rindu pada  anak lelakinya yang kini entah kemana. Setahun berlalu. Adakah ia masih hidup? Benarkah Jakarta menelan manusia? Sedang menantunya, perempuan mulia yang telah menghidupinya pastilah tengah bekerja.  Tapi, adakah toko yang bekerja selarut ini, di malam lebaran pula? Mungkinkah celoteh busuk tetangga itu benar? Kenapa bau parfum murahan itu selalu datang tiap pagi?

Lelaki tua  memandang keluar rumah. Gerimis membasahi matanya.

–selesai—

Lama aku tak menulis cerpen. Kemarin saat naik sepeda motor menjemput istri di gerimis malam lebaran, aku melihat tiga sosok. Seorang laki-laki  yang tengah berjalan kaki menembus malam, perempuan yang menjajakan diri di depan stasiun Poncol Semarang, dan seorang laki-laki tua termenung di depan rumah.  Merekalah yang telah memaksaku menulis. Aku teringat pada diriku sendiri,  bersyukur karena masih bisa menikmati Lebaran bersama keluarga. Juga berdoa agar hidup semua orang, termasuk ketiga tokohku, menjadi lebih baik. Amin.


Hujan Selalu Mengundang Rasa Sendu

hujan

Hujan selalu mengundang rasa sendu. Gerimis cinta, suamiku menyebutnya demikian. Beribu impian ditabur dari langit, tak satu tertangkap. Selain ia tentu saja. Yang kemudian berbasah-basah menjemputku di halaman kantor, sekadar menggerak-gerakkan tumpukan kangen yang lembab.

”Mas nggak berangkat?” Matahari mulai sembunyi di langit. Seharusnya suamiku ini masuk jaga sore di UGD rumah sakit swasta.

”Ada pemecatan massal. Kata Pak Direktur, rumah sakitnya rugi,”katanya pelan. Segera wajahku berubah muram. Tapi ia terlihat biasa saja. ”Nggak usah dipikirlah. Mungkin Pak Direkturnya lagi butuh duit.”

Tapi kita juga butuh duit, kataku dalam hati. Apa 210 ribu honor jasa medik PT.Askes yang ia terima tiap bulan dari rumah sakit pemerintah itu cukup? Kadang aku merasa ia terlalu yakin. ”Tulisan ada yang dimuat Mas?”

Masih menatap jalan, ia menggeleng datar. Wajah datar itu masih tetap menempel di pipi saat sepeda motor tua kesayanganmu berhasil hidup. Meski masih agak ngungun gara-gara kabar tentang pemecatanmu, aku naik juga ke boncengan.

”Berapa kali ia mogok?,”tanyaku dulu saat pertama kali naik. ”Kamu akan tahu,”. Yah, setelah hampir lima tahun bersama, setidaknya sebulan sekali kami harus mendorongnya. Tentu saja aku tak ikut berpeluh. Hanya ia yang berjuang sambil tiap kali mengumpat marah.

Perjalanan dari kantor ke rumah kontrakan yang baru ternyata begitu cepat. Rumah kecil di gang kelinci itu tampak lengang. “Anak-anak pasti sedang tidur,” gumamnya lirih.

Karena gerimis tak berhenti jua, motor naik ke teras yang tampak sempit diisi motor tua, tempat sampah, sepatu berceceran dan sapu tua di sudut.

Cinta, Lintang dan Langit, ketiganya perempuan sainganku dalam merebut perhatian suamiku, tidur di kamar, di atas kasur yang diletakkannya begitu saja di atas lantai. ”Itu membuat kita tak repot saat pindah-pindah rumah,” katanya padaku dulu. Dan sejak itu, tak pernah ia membeli tempat tidur meskipun sudah beranak-pinak seperti sekarang.

Jangan tanya tentang kursi tamu, meja, apalagi lukisan penghias dinding. Rumah cuma berisi barang-barang yang sungguh-sungguh bermakna buat hidup. Selain buku tentu saja. Bukulah harta kami satu-satunya. Ia kadang minta maaf padaku tentang hal ini, dan entah kenapa aku selalu memaafkan kebadungannya.

Padahal aku sebenarnya orang rumahan, bukan tipe yang senang jauh dari orang tua ataupun berpindah-pindah macam kucing. Tapi beginilah akhirnya jika seorang perempuan mencintai, lantas menikahi seorang dokter weng*. Ia berganti rumah dan kota sesukanya, tergantung pekerjaan dan macam hidup yang ingin dilakoninya.

Bagi diriku sendiri hidup semacam ini cukup sulit dijalani. Apalagi dengan dua anak balita dan seorang bayi yang butuh susu. Akhir-akhir ini aku sering sakit kepala, yang ia pasti akan menyebutnya psikosomatis belaka. Memang tak mudah menjadi diri sendiri. Terutama saat tercerabut dari akar yang membesarkan kita. Begitu penjelasannya suatu hari.

Dulu aku tak percaya saat ia memutuskan meninggalkan tawaran kemapanan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan malah memilih kehidupan sulit ini.

“Mas, wis dipikir tenan to?

Wis.”

“Mas lebih pilih sekolah spesialis?”

He eh.”

“Katanya lima tahun Mas?”

He eh, mungkin lebih.”

“Dapat gaji nggak?”

“Nggak. Paling honor jasa medik.”

”Lantas kita hidup dari mana?”

”Ya dari Gusti Allah to.”

Ya sudah. Sebagai istri aku tak banyak bertanya lagi. Dan akhirnya kami pun pindah dari kota kecil tempat kau menjalani PTT ke kota besar tak ramah ini, hanya gara-gara cita-cita ingin jadi spesialis. “Kita ini ibnu sabil dan musafir sekaligus. Karena sekolah spesialis itu kan fardu kifayah.”katanya suatu hari. Lha kalau ibnu sabil atau musafir, harusnya dapat bagian zakat, jawabku dalam hati.

Tapi tentu saja kami tak mungkin mendapat bagian zakat, dan akibatnya hidup rasanya jadi makin susah. Apalagi setelah kau di-DO dari UGD rumah sakit swasta itu. Kadang-kadang ia memang dapat job gantikan praktek dokter lain atau transfer honor dari tulisan yang dimuat, tapi itu insidentil.

“Kan kita masih punya tabungan?”tanyanya sok yakin. Tapi tidakkah lama kelamaan ia habis?

“Yah, setidaknya kan kamu masih punya gaji tetap,”katanya di hari yang lain. Tapi, apa itu cukup?

“Mas, susunya Langit tinggal hari ini.” Pertanyaanku tadi benar-benar terjawab. Sore itu aku benar-benar pusing karena gaji bulananku sudah habis, dan  saat itu baru tanggal 20! Ia mengangguk kecil.

“Sore iki tak golek duwit.” Darimana? tanyaku dalam hati. Ia tak cerita tentang tawaran untuk menggantikan praktek, dan sepertinya tulisannya belum ada yang dimuat lagi. Tapi aku diam. Setelah berkata itu ia pergi, entah kemana.

Menjelang isya ia pulang. Wajahnya terlihat cerah. Dicabutnya dompet dan uang seratus ribu keluar dari sana. ”Ini buat beli susu.” Di tanganku uang itu terasa panas.

”Duit darimana Mas?”

Ia terdiam. Lama. Lantas tersenyum. ”Sing penting kan entuk duit.”

”Halal?” Senyum itu makin lebar. ”Halal banget. Wong asalnya dari hape-ku kok,” katanya sambil tertawa keras. Ditunjukkannya selembar bon penjualan handphone.

Pemandangan itu menyengat saraf tawaku juga. Aku ikut tertawa. Walah, dasar suamiku weng! Senja itu kami terbahak hingga berderai air mata. Menertawakan diri sendiri, menertawakan hidup. Katrok, katrok…

Tapi dalam hati aku berdoa, semoga setelah ia lulus jadi spesialis, kegilaannya tidak berubah. Karena itulah yang membuatku mencintainya.

Dasar weng*!

*weng = ejekan akrab dalam bahasa jawa, berarti agak-agak gila.

Sebelum Kucacah Jiwaku

Sebelum kucacah jiwaku, kutulis dalam blogku hari ini : aku sedang tidak ingin bercinta. Tapi terasa itu bohong belaka. Aku terdorong dalam lubang. Sekadar bergerak dalam kelam. Karena aku kangen padamu. Kangen yang tak kunjung padam.

Memang sudah jadi takdirku untuk selalu jatuh cinta tiap kali memikirkanmu. Jadi bayangkan, bagaimana payahnya jatuh cinta berkali-kali dalam sehari hanya gara-gara memikirkanmu? Dan sialnya, bukan pada siapa-siapa. Tapi cuma padamu. Cuma padamu kekasihku! Mungkin banyak orang akan bilang kalau aku cuma mengejar bayangan senja. Tapi kau adalah senja yang nyata, dan tiap saat memikirkanmu membuatku sengsara. Aku capek. Aku capek jatuh cinta padamu. Tapi, adakah yang bisa menyelamatkanku?

Saat ini aku lewat di depan kafe tempat pertama kali kita ketemu dulu, dan entah kenapa aku ingin sekali memencet nomormu, mengajakmu jalan-jalan di sore yang pasti akan membuatmu begitu mungil dalam tempias cahya. Sayangnya aku masih ingat sms-mu : mas, sore ini aku mesti menemani anakku. ini hari pertama les inggrisnya. sabar ya…

Lantas berhentilah aku di sini. Duduk di atas jembatan layang, melihat kereta gemuruh di kejauhan…

postingan ini adalah bagian pembuka dari sebuah cerpen yang sudah lama kubuat…

Hujan yang Sebentar

oleh Puthut EA (Kompas, 16 Februari 2003), dapat diakses di Kompas

AKU masih berbicara tentang ingatan, juga hujan yang hanya sebentar dan kenapa ia kekal dalam ingatan. Aku rasa karena ada keping peristiwa yang menyertainya, yang mungkin layak tercatat dalam ingatan. Atau mungkin sebaliknya, hujanlah yang menyertai peristiwa. Mungkin semua berjalan seperti catatan orang akan sejarah. Tidak semua peristiwa tercatat dalam lembarannya. Ada sesuatu yang tidak sekadar peristiwa di dalam sejarah, juga dalam hal ingatan. Tidak semua gugur daun, nyanyian, matahari yang tenggelam, khotbah, desir angin, percakapan. Dan ini tentang hujan yang sebentar, yang kekal dalam ingatan.

Senja dan hujan yang sebentar. Seperti percakapan-percakapan yang terusir, lalu mencari tempat berdiamnya sendiri, mungkin meratap diam-diam. Dan di pojok entah mana, aku dan kamu, dibuntal oleh hujan yang sebentar, di senja hari. Baca lebih lanjut

Paris, Musim Dingin 2006

Meski ajang pembantaian bagi para pembangkang itu sudah berlangsung hampir dua tahun yang lalu, bayang-bayang peristiwa itu masih sering menyergap, menghisap sebagian hidupnya sampai habis. Pagi itu, dini hari setahun lalu yang lelaki itu ingat benar dinginnya, suara dering telpon terus tak henti-henti. Tangannya gagap meraih.

“Halo.” Suara di lawan bicaranya hampir tak terdengar, cuma ada desau angin dan deras hujan. Cuaca begitu buruk, gumamnya gelisah.
“Halo.”
“Halo Dok. Ini dari UGD rumah sakit. Ada banyak korban gawat darurat datang. Sebagian besar dengan luka tembak. Dokter jaga mengharap bantuan Dokter.”
“Ok. Segera ke sana.”

Saat menutup telpon dan menatap sosok wajah di cermin, dilihatnya wajah yang letih dan berkabut. Tapi entah mengapa kantuk tiba-tiba menguap dari kamar. Diliriknya jam dinding, tepat pukul 3 pagi. Lelaki itu teringat pada ancaman kelompok pembangkang untuk melakukan aksi besar ke kota memprotes hasil referendum yang mereka nilai dimanipulasi Pemerintah Pusat. Tapi itu besok. Bukan malam ini. Mungkinkah militer sudah bergerak?

Lelaki itu harus menguatkan diri saat melihat begitu banyak pasien berdarah di UGD. Dua puluh korban luka-luka, separuhnya luka tembak di organ vital. Hampir semua dengan syok akibat perdarahan. Berliter-liter darah mengalir, dan kata seorang kawan, jalur bantuan Palang Merah Internasional ditutup.

Pasien pertamanya adalah seorang pedagang pakaian di pasar kota berusia tiga puluh dua tahun, luka tembak di dada. Paru-paru kanannya mengempis. Pneumothorax. Seorang perawat berbisik,”Bagaimana Dok?” Ia menggeleng. Pasien itu datang dengan paru-paru kiri tak tersisa karena TBC. Baca lebih lanjut

Gunung Slamet 1998

Hari ini gelap dan dingin. Matahari terbalut mendung di barat. Kakiku letih dan perih. Air di kantong tinggal setengah liter lagi. Lama kelamaan, berjalan seperti mau bunuh diri. Base camp Bambangan masih terasa di angan-angan.
Tersaruk-saruk di antara semak dan rumput basah kena hujan pagi-siang, lumpur di sepatu tak terkira tebal. Bukk! aku terduduk di lumpur berbatu. Ini sudah yang kedua belas kalinya. Memang keseimbangan yang kumiliki hampir mati inderanya. Terlalu mabuk oleh air hujan dan lumpur.

Ini adalah puncak gunung ketiga yang telah kuselesaikan dalam tourku. Siapa suruh memilih gunung Slamet sebagai pilihan ketiga. Padahal baru dua hari yang lalu aku menyelesaikan Sindoro dan Sumbing. Mestinya aku ke Boyolali dulu menyelesaikan Merbabu atau Merapi. Tapi kalau dilihat dari ongkos yang kupunya, Purbalingga jelas searah dengan Wonosobo. Dan lagi, di Purwokerto aku punya seorang kawan yang bisa kuandalkan untuk menginap barang beberapa hari setelah semua ini selesai. Mungkin. Baca lebih lanjut