Syaukani, Antara Singapura dan Ponari (Kaltim Post 27/2/09)

Mengapa keluarga Pak Syaukani Hasan Rais, mantan bupati Kutai Kartanegara, ingin membawa beliau ke Singapura?(Kaltim Post 25/2/09) Apakah dokter di RS Pusat Pertamina tidak cukup kompeten untuk menangani Pak Syaukani? Apa mereka sudah angkat tangan? Meski kurang nyaman didengar, sangat wajar bila pertanyaan itu muncul. Apalagi karena keluarga merasa kondisi mantan pejabat yang tersandung kasus korupsi tersebut tak kunjung membaik setelah berminggu-minggu perawatan di rumah sakit.

Bagaimana jika kita bawakan air dari dukun cilik Ponari Jombang? Siapa tahu sembuh? Bukankah menurut kabar burung Ponari juga ampuh? Bukankah ia dipercayai beribu manusia?

Meski berbeda tempat, Singapura dan Jombang, keduanya menunjukkan satu sisi yang sama. Penurunan tingkat kepercayaan pada dunia kedokteran di Indonesia. Juga kegagalan Pemerintah, profesi dokter dan industri kesehatan dalam meyakinkan masyarakat tentang mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan yang paripurna.

Kita harus akui itu. Bukan buruk muka cermin dibelah. Tapi muka kitalah yang mesti dipoles dan diobati jerawat batunya.

Ada beberapa jerawat yang membuat muka dunia kedokteran dan pelayanan kesehatan di negeri kita kurang nyaman dipandang pasien. Akibatnya mereka pun lari ke Singapura, Penang, atau ke ‘dunia lain’, Jombang.

Masalah pertama dan terbesar adalah komunikasi. Menurut Emanuel, ada beberapa model komunikasi antara pasien dan dokter. Tipe tertua dalam tradisi kedokteran adalah model paternalistik, satu model yang masih banyak dipakai di Indonesia. Pada model itu, interaksi antara dokter dan pasien laksana orang tua dengan anaknya. Dokter memastikan bahwa pasien mendapat terapi terbaik. Tapi, jika terjadi efek samping, hubungan dokter-pasien itu pun bisa memburuk dengan cepat. Tuduhan malpraktek sangat mudah berkembang. Isu yang makin menurunkan tingkat kepercayaan.

Saat ini, sesuai perkembangan globalisasi dan media informasi, hubungan dokter-pasien dituntut untuk berubah. Salah satu model lain yang bisa menjadi pilihan adalah model informatif yang setara. Model informatif tersebut menciptakan transaksi terapetik yang lebih terbuka antara pemberi jasa dan konsumen, meski kadang terasa dingin dan tak melibatkan pribadi.

Risiko model informatif itu adalah waktu konsultasi jadi lebih lama, satu hal yang belum didukung oleh sistem kesehatan di Indonesia. Dokter spesialis di Indonesia harus bekerja di beberapa rumah sakit, praktek dari pagi hingga dini hari agar bisa hidup layak. Keramahan dan pendekatan personal yang diajarkan oleh para guru besar di fakultas kedokteran kadang terlupa.

Begitu pula dengan teman sejawat dokter umum. Siapa yang bisa menjamin para dokter di puskesmas, dengan jumlah pasien puluhan, akan sanggup memberikan informasi lengkap serta memberikan sambutan yang ramah pada pasien-pasiennya?

Hal yang mirip terjadi pula pada profesi paramedis, terutama yang bekerja di rumah sakit milik pemerintah. Menumpuknya pasien, berjubelnya pasien yang tidur di lorong rumah sakit, semua memberi beban kerja yang tinggi. Pendekatan pribadi kadang terlupakan. Rumah sakit pun terasa kering dan tak lagi ramah.

Masalah komunikasi akibat beban kerja tinggi tersebut sangat terkait dengan problem diagnosa dan terapi. Beban tersebut menyebabkan sebagian dokter dan perawat mengalami penurunan kinerja. Diburu-buru waktu. Berpindah dari satu pasien ke pasien lain. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Akibatnya pun jelas. Beberapa pasien merasa tidak puas, dan lari ke rumah sakit di luar negeri. Atau ke rumah Ponari.

Masalah keterbatasan alat dan teknologi kedokteran juga cukup mengganggu. Kita harus mengakui bahwa peralatan di puskesmas dan rumah sakit daerah belum cukup memadai dalam penanganan beberapa kasus rumit. Sehingga pasien harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap, dengan dokter yang lebih ahli.

Sayangnya, tidak semua dokter merasa perlu membeberkan fakta tersebut. Sebagian dokter memiliki asumsi bahwa masyarakat Indonesia tidak akan sanggup membiayai pengobatan paripurna tersebut, dan mereka memang benar. Program Jamkesmas dari Pemerintah tidak menanggung biaya untuk transplantasi ginjal maupun transplantasi hati seperti yang dijalani Pak Dahlan Iskan. Namun, mulai kini ada baiknya profesi kedokteran memberikan informasi tentang penanganan maksimal yang bisa ditawarkan oleh dunia kedokteran modern. Informasi ini akan membuat masyarakat sadar bahwa bukan dokter Indonesia yang ‘kuper’, tapi memang ada keterbatasan dalam hal sarana yang terkait dana.

Sungguh, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Kualitas fakultas kedokteran kita pun cukup baik. Banyak mahasiswa Malaysia yang belajar kedokteran ke Indonesia. Alat-alat di rumah sakit rujukan pun cukup lengkap. Bahkan Amerika dan Eropa pun mengakui bahwa mereka tidak ahli dalam semua penyakit. Berbagai jenis penyakit infeksi khas dunia ketiga seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit jantung rematik berada di luar keahlian mereka. Dalam jurnal-jurnal ilmiah mereka menyatakan hal itu.

Namun kelebihan mereka adalah dalam usaha untuk menyamankan pasien dan keluarganya. Jujur saja kita kalah dalam kesadaran dan kesiapan berbisnis kesehatan dibanding Singapura dan Penang. Begitu pasien datang di bandara mereka sudah siap mengantar. Pelayanan di rumah sakit pun begitu cepat. Mereka sangat sadar bahwa rakyat Indonesia adalah pangsa pasar yang besar, dan layanan kesehatan adalah industri jasa yang menjanjikan. Tanpa orang Indonesia, rumah sakit di Singapura dan Penang akan merugi karena investasi yang tak kembali.

Bagaimana dengan Ponari? Setali tiga uang dengan jalan pikiran keluarga Pak Syaukani, para pasien Ponari pun merasakan ketidakpuasan. Hanya saja mereka tak beruang. Rumah Ponari adalah rumah sakit rujukan mereka, Mount Elizabeth dan Singapore General Hospital mereka.

Sebagian dari mereka sembuh, banyak juga yang tidak. Inilah yang disebut dengan efek placebo. Efek plasebo adalah efek yang terjadi pada terapi tanpa substansi yang sesungguhnya. Pil palsu yang berisi gula dan gandum. Operasi tanpa pisau, bahkan tanpa menyentuh kulit pasien. Seorang ahli jiwa, Shapiro, mendefinisikan plasebo sebagai terapi apapun yang menggunakan efek psikologis dan reaksi fisiologi tubuh. Di sini hubungan antara pikiran dan tubuh diuji, hasil interaksi rumit antara si penyembuh, proses terapi, dan pasien itu sendiri.

Mereka yang berbondong mencari Ponari adalah mereka yang putus asa pada dunia kedokteran modern, lantas berpaling pada ‘dunia lain’. Dan menggunungnya harapan, disertai keyakinan yang tulus membuat mereka peka pada efek plasebo sebuah batu. Sebuah efek yang terbukti pada beberapa kasus bisa menyembuhkan. Akhirnya, praktek Ponari pun memiliki gaung yang melebihi terapi kedokteran konvensional

Akankah Pak Syaukani sembuh setelah sampai di Singapura? Akankah mereka yang berduyun ke Jombang menerima manfaat dari batu Ponari? Wallahu’alam.

Penulis :

dr. M. Yusuf Suseno, tengah bertugas di RSUD Taman Husada Bontang, Kalimantan Timur.

Selamat Jalan Dokter Pejuang !

lihat, bu, aku tak menangis

sebab aku bisa terbang sendiri dengan sayap ke langit

(Subagio Sastrowardojo)

Senja itu pastilah mendung, basah, dan hitam. Senja ketika dr Wendy, dr Hendy dan dr Boyke berakhir ditelan ombak. Senja saat cita-cita harus selesai. Berhenti diterjang maut. Malam berikutnya, dr Pranawa SpPD, ketua IDI Jatim menelepon saya dan bertanya, apakah kita, dokter dan rakyat Indonesia, sungguh-sungguh kehilangan mereka?

Ketiga dokter pejuang itu memang menjadi korban KM Risma Jaya yang tenggelam di Muara Kali Aswet, Kabupaten Asmat, Papua Barat 13 Januari lalu. Dr Wendyansah Sitompul, PNS lulusan FK UI adalah dokter ahli kandungan satu-satunya di Kabupaten Asmat. Juga dua rekan dokter umum, dr Hendy Prakoso dari FK Unair dan dr Boyke Mowoka dari FK Universitas Sam Ratulangi, yang tengah menjalani masa bakti sebagai dokter pegawai tidak tetap(PTT) di Kabupaten Asmat.

Jelas ada hal-hal yang tak bisa tergantikan. Bahkan dengan penghargaan Ksatria Bakti Husada Arutala dari Menkes dr. Fadillah Supari sekalipun. Rasa kehilangan bukan hanya milik keluarga dan pasien-pasien mereka di Asmat, tapi merambah hingga Jakarta, Surabaya, seluruh Indonesia.

Tentu. Dalam tataran jasad, kita sungguh kehilangan mereka. Namun seperti juga jasad dr Hendy yang sempat ditemukan dan dikubur oleh penduduk sekitar kejadian, kita juga bisa menggali kembali. Menemukan kembali. Mengembalikan pada yang berhak.

Bukan. Bukan sekadar jasad yang akan lapuk ditelan waktu. Tapi menggali semangat. Menemukan kembali jiwa suci pengabdian dan pengorbanan. Lantas mengembalikannya pada yang berhak. Rakyat Indonesia.

Jadi, jawabnya adalah tidak. Kita tak sungguh-sungguh kehilangan mereka. Mereka ada di dalam hati, menyemangati nurani.

Hati siapa, nurani siapa? Siapa pula yang masih memilikinya dan percaya? Benarkah dokter di Indonesia masih memiliki hati dan nurani? Nyatanya pemberitaan tentang kematian mereka di media toh tak sebesar berita tuduhan malpraktek pada dokter, kupas tuntas kasus hukum pada dokter yang melakukan aborsi, maupun kritik pada layanan lamban rumah sakit Pemerintah. Jawa Pos bahkan hanya mencantumkan kalimat Menkes pada kolom kutipan. “Mereka adalah aset bangsa yang sangat luar biasa. Mereka tulus mengabdikan diri pada masyarakat Asmat yang sangat jauh.”(Jawa Pos 19/1/09)

Benar, sangat jauh. Begitu jauh hingga senja luka yang berombak itu menyeret jasad mereka, mengisi paru-paru dengan air, membalikkan masa depan. Mungkin di saat yang sama sebagian besar kita tengah duduk menonton televisi, asyik melihat kontes idola cilik, tersenyum bersama artis sinetron, atau penat dihinggapi berita korupsi.

Doa-doa mereka bertiga tak terdengar oleh kita. Tak terbayang bahkan. Sungguhkah di zaman hedonis seperti ini masih ada dokter yang bertaruh nyawa, untuk masyarakat yang tak mereka kenal sama sekali sebelumnya?

Untunglah mereka ada. Banyak. Ribuan. Hanya saja tak bersuara. Tak pernah masuk dalam berita. Hingga kini, dokter adalah satu-satunya sarjana plus yang siap kirim, siap bekerja ke daerah terpencil Indonesia.

Mereka, para dokter PTT itu bertebaran di daerah terpencil. Meninggalkan sanak keluarga. Bekerja keras menolong sesama yang sakit. Tanpa pamrih. Gaji yang tersendat. Perhatian Pemerintah yang kurang. Tak ada jaminan keselamatan. Tak ada pelampung. Tak ada alat telekomunikasi. Sendiri.

Senja kemarin pastilah mendung, basah dan hitam. Dan di senja itu mereka sungguh sendiri. Berhadap-hadap dengan maut. Namun, mereka tak sungguh-sungguh pergi. Hingga kini mereka masih tetap menebar semangat. Menghidupi nurani. Terbang menembus langit hati.

Selamat jalan Dokter Pejuang!

Dokter juga Manusia

Aku memang tak sebaik Patch Adam dalam menghadapi pasien.
Tapi aku sudah berusaha mendekatkan diri pada pasien2ku.
Menyapa, bicara, menyentuh mereka.
Menjadikanku bagian dari semesta yang menyembuhkan.
Menyembuhkan seorang manusia.
Tapi kadang itu belum cukup.
Beberapa kali aku gagal.

Hari2 ini aku juga banyak membaca tentang sejarah cardiology intervensi, terutama coronary stenting.
’Dunia elit’ dalam ilmu kardiologi ini dimulai dari Gruentzig, Palmaz, dll.
Dan ternyata sejarah ilmu kedokteran sungguh2 dimulai dari ketidaktahuan.
Para perintis itu berjalan dalam gelap.
Mencoba yang terbaik, seringkali gagal.
Dunia intervensi koroner yang saat ini begitu canggih dimulai dari hal-hal yang sangat sederhana, tertatih-tatih bahkan.
Ia menjadi besar bukan semata karena keberhasilan menyembuhkan, dan kehidupan.
Tapi juga karena ketidakberhasilan. Kesalahan. Kegagalan. Kematian.

Dokter juga manusia.
Dan untukku, mungkin sangat manusia.
Tapi, kurasa sangat tidak lazim jika seorang dokter berkata,
”Ibu, saya akan lakukan usaha terbaik untuk menolong Bapak. Demi Allah saya berjanji.
Tapi bagaimanapun saya bisa saja gagal. Bahkan saya juga bisa melakukan kesalahan, meski kesalahan itu tak mungkin saya sengaja.
Jadi Ibu, apakah Ibu masih tetap mempercayakan perawatan suami Ibu pada saya? Atau Ibu ingin Bapak ditangani oleh dokter lain?”

Ketakutan akan tuntutan malpraktek kini tengah merasuki dunia kedokteran.
Sebagian dokter bahkan mengikuti asuransi yang menjamin pembayaran jika terjadi tuntutan pada mereka. Lantas, siapa yang harus membayar preminya? Pasien mereka juga.
Dunia kedokteran modern tak lagi ramah.
Beberapa dokter melihat pasien yang masuk ruang prakteknya dengan rasa waswas. Sebaliknya, sebagian pasien memandang dokter mereka juga dengan curiga.
Mereka berkata dalam hati, ”Bagaimana jika ia melakukan kesalahan?”

(tulisan lain tentang hubungan pasien dan dokter ada di sini)

Because a blessing can not be saved..

The master says: “Make use of every blessing that God gave you today. A blessing can not be saved.
There is no bank where we can deposit blessings received, to use them when we see fit. If you do not use them, they will be irretrievably lost. God knows that we are creative artists when it comes to our lives. On one day, he gives us clay for sculpting, on another, brushes and canvas, or a pen. But we can never use clay on our canvas, nor pens in sculpture. Each day has its own miracle. Accept the blessings, work, and create your minor works of art today. Tomorrow you will receive others.”
(Paulo Coelho, The Maktub)

Hari ini seorang lelaki setengah baya datang menemuiku dengan membawa selembar kertas. “Dokter, saya mau mendaftarkan istri saya untuk pemeriksaan ekhokardiografi. Istri saya mau dilakukan kemoterapi.” Saya menghela napas panjang.

Teman yang duduk di meja pendaftaran membuka daftar antrian, mencoba mencarikan waktu. “Paling cepat tiga hari lagi Pak. Itupun sudah disisipkan. Maaf.”

Saya menatap seorang Ibu dengan benjolan besar di matanya. Aku tak bisa berkata banyak. Hidup kadang memang tak adil, kataku dalam hati.
“Bapak dari mana?” Entah kenapa pula kutanyakan itu.
“Dari Madiun Dok. Saya di Surabaya kost.”
“Sudah berapa hari?”
“Sebelas hari.”
“Sehari berapa?” Ah, kenapa aku terlalu ingin tahu.
“Dua puluh ribu.”
“Bapak kerja apa?” Pertanyaan terakhir, kataku pada mulutku.
“Tukang becak.”
Mendengar jawaban itu mataku terasa basah. Ah, hidup memang tidak adil.
“Baik Pak, saya akan memeriksa Ibu hari ini. Silakan tunggu di luar ya.”

Mungkin, inilah pahat yang diberikan oleh Tuhan padaku hari ini. Aku akan menggunakannya.

SIM untuk Traditional Chinese Medicine(Jawa Pos,26/05/2007)

oleh dr. M. Yusuf  Suseno

Suatu hari seorang guru besar emeritus Unair menulis keheranannya terhadap pendapat Kepala DKK Surabaya yang mengatakan bahwa surat izin praktek (SIP) dokter sama dengan surat ijin mengemudi (SIM). Menurut beliau, berbeda dengan para sopir yang bila tak punya SIM hanya ditilang, dokter yang tidak punya SIP malah dipidana, dan persoalannya jauh lebih berat dan panjang daripada sekadar sopir ditilang. (Jawa Pos 11/5/07).

Lebih berat dan panjang? Pasal 76 UU Praktek Kedokteran tahun 2004 memang mengancam para dokter yang tidak memiliki SIP dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun penjara, atau denda paling banyak Rp 100 juta. Wah!

Di akhir tulisannya, sang guru menutup keresahannya dengan satu kalimat penjelasan yang pilu. “Sebab, derajat dokter (dianggap) lebih rendah dari sopir truk sampah…”

Ternyata kisah SIM itu juga bisa ditemukan pada cover story Jawa Pos tentang Traditional Chinese Medicine (TCM). Ulasan tentang TCM itu membuat saya bertanya, apa mereka punya SIM juga? Kalau ya, bagaimana derajat mereka dibandingkan dokter ataupun para sopir truk sampah? Atau hanya dokter yang dianggap berbahaya, sehingga perlu diancam kurungan untuk pelanggaran administratif seperti itu? Baca lebih lanjut

Pasien vs Dokter (Jawa Pos 11/5/07-terima kasih pada guruku, dr Jatno..)

oleh dr M. Yusuf Suseno

Apa yang dirasakan oleh seorang pasien saat mengalami efek samping obat dari seorang dokter? Bingung? Marah? Kecewa? Sedih? Hilang rasa percaya? Merasa sendiri?

Lantas, apa yang akan dilakukannya? Meminta penjelasan? Menuntut secara hukum? Ternyata setelah berbagai rasa yang campur aduk disertai ekstra opname di rumah sakit, mengambil langkah hukum adalah pilihan Ibu Lucy dan keluarga.

Sayangnya, mungkin karena merasa sudah tak ada titik temu, dokter Fatimah dan tim RS Pelabuhan Surabaya pun tak tinggal diam. Mereka balik akan menuntut Lucy atas tuduhan pencemaran nama baik.(Jawa Pos 25/4/07)
Semua peristiwa itu memang mencerminkan hubungan pasien-dokter yang unik, rumit, dan complicated. Ia tak bisa disamakan dengan hubungan antara Tukul Arwana sebagai pemilik laptop dan programmernya, dimana ada garansi dan bila perlu install ulang dengan program baru, serta jaminan service gratis selama jangka waktu tertentu. Meskipun pasien juga memberikan uang jasa, persis seperti yang dilakukan Tukul.

Karena tubuh manusia jauh lebih kompleks dari laptop. Baca lebih lanjut

Antibiotika dan Proses Tumbuh Bersama(Jawa Pos 19/2/07)

oleh M. Yusuf Suseno

Beberapa siang yang lalu saya sempat terlibat perbincangan dengan tiga orang senior saya di kantor IDI Jatim, termasuk di antaranya ketua IDI Jatim dr Pranawa SpPD, KGH. Topiknya cukup menarik, yakni tentang masa depan dokter di Indonesia. Dalam diskusi itu sempat terlontar pernyataan dr Pranawa kalau nasib dokter Indonesia saat ini sangat mengenaskan. Dipojokkan, diikat dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran yang beberapa pasalnya kurang rasional dengan ancaman hukuman sangat berat, bahkan, entah sengaja atau tidak, secara sistematis dilunturkan integritasnya di masyarakat.

Begitu berat beban yang harus ditanggung oleh seorang dokter di Indonesia, hingga muncul pertanyaan ironis dari salah seorang di antara dokter senior tersebut, “Mengapa ya, masih ada yang mau masuk fakultas kedokteran dengan biaya pendidikan yang saat ini juga makin mahal, hanya untuk memikul tanggung jawab sebesar itu, dengan reward yang tidak sebanding dengan risikonya?” Baca lebih lanjut

Dokter, Perjuangan Menjaga Nurani (Jawa Pos, 13/1/07, salah satu tulisan favoritku)

oleh M. Yusuf S

“Dok, dokter sedang jaga ya malam ini? Tolong selamatkan suami saya ya Dok. Saya percaya kepada Dokter.” Suara ibu separuh baya itu membuat saya tak bisa berkata-kata. Kami bertukar mata, dan pandangan berkaca-kaca itu memancarkan harapan, melimpahkan kepercayaan dan harapan tak terbatas. Syukurlah, Tuhan masih menolong kami.

Tapi, saat keesokan hari Jawa Pos (9/1/06) menurunkan cover story yang menelanjangi hubungan dokter dengan detailer, saya jadi bertanya dalam hati, andaikan sang ibu membacanya, akankah matanya masih memperlihatkan kepercayaan kepada dokter jaga malam nanti?

Harapan sang ibu setengah baya tadi mencerminkan tentang besarnya beban yang harus dipikul oleh seorang dokter. Tidak salah kalau sebagian berharap agar dokter, meminjam kalimat dari sebuah lagu Iwan Fals, kadang harus menjadi manusia setengah dewa. Apa yang terjadi saat harapan tersebut terbentur pada bisnis industri farmasi yang berorientasi pada keuntungan? Baca lebih lanjut