Bidadari-bidadari kecilku…

Ada hal2 yang tak bisa ditukar dengan uang. Salah satu yang terbaik adalah senyum para bidadari berbaju biru..

Juga tawa lepas mereka saat ombak membasahi tubuh…

Terima kasih Tuhan, karena sudah Kau turunkan mereka ke bumi ini untukku..

Malioboro, Sepercik Kenangan


Ada hal-hal yang sulit dilupakan. Termasuk Malioboro.

Satu hari bertahun lalu, aku pernah datang ke sini. Dalam subuh yang dingin, berangkat dari Semarang bersama almarhum Agung Priyanto, sahabatku.

Motor yang kami kendarai seakan melayang karena Agung selalu berhasil meyakinkanku, dan tiba-tiba saja mendarat di halaman parkir hotel Mutiara. Di sana ada simbah penjual gudeg, tempatnya persis di mulut gang samping kanan hotel Mutiara lama.

Kami berdua duduk, memesan gudeg dan tertawa. Hidup terasa abadi meski nyatanya tidak. Lantas motor menggerung lagi, meluncur ke Parangtritis.

Sejak hari itu, banyak hal terjadi. Kami berdua pernah mendaki Sindoro, Lawu, Ungaran, menaklukkan angkuh Semeru, dan terakhir, bertiga bersama almarhum Gea, menikmati senja di di Merapi.

Sayangnya, aku bertahan hidup, sedang kedua sahabatku tidak. Mereka, Agung dan Gea, meninggal dalam kecelakaan motor tragis di waktu yang berbeda. Bertahun lalu. Aku sendiri beberapa kali mengalaminya. Dua di antaranya hampir merenggut nyawaku. Satu hal yang kadang membuatku bertanya, apakah ini ada hubungannya dengan pendakian kami bertiga di Merapi? Entahlah. Selalu ada desir itu, rahasia tak terjawab tiap kali melihat foto kami di gelap lereng Merapi.

Namun satu hal yang pasti, saat aku bekerja sebagai dokter umum di Magelang, kadang aku ke Jogja menemui ibu penjual gudeg sepuh itu, memintanya bercerita. Entah apa. Itulah caraku memanggil kenangan.

Begitu pula saat dulu aku masih di Surabaya. Malioboro dengan simbah penjual gudeg samping kanan hotel Mutiara senantiasa kucari.

Dan hari ini, aku kembali.

Di satu pagi yang dingin, meminta sepiring gudeg. Tapi simbah tua itu tak lagi berjualan, ia tinggal saja di rumah. Putrinya, yang di mataku mirip dengannya, menggantikan tangan renta itu.

Dan hari ini pula, aku merasa sendiri. Entah kenapa. Dan itu terjadi di tengah keramaian jalan Malioboro.

Satu hal yang kutahu, pastilah ada alasan mengapa Tuhan membiarkanku hidup lebih lama. Mungkin agar aku bisa memberikan sesuatu buat banyak orang. Melalui apapun yang kupunya. Meski itu cuma senyum dan kata-kata yang sederhana.

Juga karena Tuhan ingin aku belajar membahagiakan mereka yang kusayangi. Menyisihkan egoku sendiri, memahami dan menerima apa adanya. Masa lalu, kini dan esok. Lantas mendorong mereka agar mencapai titik tertinggi dalam hidup.

Dan hari-hari ini, di Purwokerto, Tuhan tengah menyuruhku menolong banyak orang. Meski kadang harus tenggelam dalam keringat dan rasa sepi.

Semua itu membuatku berpikir, bahwa apapun yang kudapat hari ini dan esok, entah itu kesedihan dan kegembiraan, itu jauuh lebih baik. Setidaknya aku masih bisa bernapas dan menyelesaikan tulisan ini.

Hidup dengan segala isinya adalah anugrah. Kuharap, sudut Malioboro ini akan selalu mengingatkanku.

ditulis di tepi Malioboro, satu senja bulan Juni 2011

Pasir Lepas

Subuh ini, saat aku melihat ketiga gadis kecilku tidur, kurasakan waktu yang berlalu begitu cepat.

Cinta sudah hampir 9 tahun kini. Ia yang dulu begitu mungil dalam pelukanku, telah menjadi seorang perempuan kecil yang tiap hari membaca buku. Begitu juga Lintang, gadis lincahku. Sebentar lagi ia masuk SD, dan meminta sepatu baru. “Kalau bisa berwarna hijau ya Pak.” Ah, begitu sering kita membelikan sepatu untuk anak kita. Tidakkah mereka tumbuh terlalu cepat?

Sedang Langit kecilku yang cantik, tengah tahun ini akan memulai TK-nya. Ia sangat lucu dan perhatian. Kadang dipegangnya bahuku lantas dipijatnya pelan. Ia tahu kalau ayahnya lelah sepulang kantor. Ketika aku berbisik di telinganya, “I love you.” Ia akan menjawab,”I love you too..”, meski matanya tetap asyik pada buku bergambar itu.

Aku tahu kalau aku takkan selamanya bisa memeluk mereka. Satu hari ketiganya pasti beranjak besar, lantas banyak hal akan berubah. Tiba-tiba saja mereka telah terbang. Lepas dari sarang. Bisa saja ke Harvard, Ubud, atau Johannesburg. Bukankah kita semua mesti menyelesaikan sesuatu?

Pesawat waktu yang kutumpangi berlalu begitu cepat. Aku tak ingin berkedip. Aku ingin menghirup hidup yang kujalani dalam-dalam.

Waktu yang kau pegang erat akan jatuh lepas, laksana pasir kering pantai yang kau genggam. Tak terasa.

So, hiduplah dengan kesadaran penuh akan fananya waktu. Peluk erat mereka yang kau cintai. Anak-anak, istri, kekasih, ayah ibu, juga sahabat sejatimu. Sebelum pasir itu lepas dari tanganmu.

Lantas berikan yang terbaik. Berjalanlah sejauh mungkin. Panjatlah tebing itu, setinggi yang kau bisa.

Namun, tetaplah nikmati hidup. Pilihlah rasa bahagia. Alih-alih membiarkan dirimu terpuruk dalam hal negatif.

Setidaknya, pelan-pelan, rasakan sungguh pasir waktu itu lepas, menghilang dari tanganmu. Namun tetap diiringi senyummu..

Rengeng-Rengeng

Malam pekat sekali. Aku berjalan terantuk-antuk batu sepanjang gang. Sol sepatu yang tipis tak kuat lagi menahan tubuh dari terjangan batu-batu.

Aku tak begitu suka lewat gang ini. Terlalu gelap, berbatu dan becek di musim hujan. Penghuninya pun tak ramah. Tapi gang ini jadi jalan pintas ke rumah kosku. Meskipun hampir tiap malam kulalui, tapi tak banyak yang bisa diperhatikan. Dan memang tak ada yang istimewa. Semuanya kelihatan sama. Miskin. Kumuh. Kecua¬li sebuah rumah. Nomor tiga dari mulut gang.

Rumah itu tak beda dengan yang lain. Kecil. Sederhana saja. Lampu depannya cukup lima watt, tapi di remang itu dinding pa¬pannya terlihat putih bersih. Halaman yang terbatas luasnya senantiasa rapi. Ada beberapa kuncup mawar yang tumbuh merambati pagar bambu. Selera aneh di tengah-tengah gang kumuh. Satu hal yang sungguh-sungguh membuatku tertarik adalah rengeng-rengeng suara perempuan.

Rengeng-rengeng itu begitu memilukan bersemu tangis. Nadanya membentuk tembang jawa. Entah apa. Luruh bersama angin, mencipta¬kan malam yang sungguh kelam sepanjang perjalanan melintasi gang. Bulu kudukku berdiri saat kulewati rumah itu. Tidurku terganggu mimpi-mimpi. Seakan eyang kakung hidup kembali dan menembang untukku.

Ah, rengeng-rengeng perempuan itu betul-betul mengiris dadaku. Tercipta pisau daging yang besar, dan dengan alun nada-nada tembangnya diirisnya hatiku, jantungku, paru-paruku, tulang sumsumku. Diperasnya darahku. Ditampung dalam ember buat menyiram mawar-mawarnya. Ingin sekali aku menyuruhnya berhenti nembang. Berhenti rengeng-rengeng. Berhenti membunuhku setiap kali aku lewat.

Berdiri diam di depan pagar rumahnya, rengeng-rengeng semakin merasuk dada. Suaranya pelan, halus. Angin malam menyusup di sela baju. Dingin. Kupegang pintu pagar. Batinku berperang melawan otakku. Apa kau sudah gila, kata otakku nyinyir. Malam-malam bertamu di rumah orang. Batinku diam, keras kepala. Mereka bertengkar, berkelahi, saling mencakar sementara tanganku masih bertahan di pagar rumah itu.

Kudorong pintu pagar ke dalam. Tak terkunci. Suaranya agak kasar. Tapi tak membuat rengeng-rengeng berhenti. Hujan yang turun tadi sore sedikit membuat becek halaman. Kuketuk pintu pelan-pelan. Akankah dibuka? Seorang tamu malam-malam dan tak dikenal. Mungkin aku memang sudah agak kurang waras. Kehilangan common sense.
Baca lebih lanjut

Surat dari masa lalu..

“kalau kau tak pernah merasa memiliki, kau takkan kehilangan.”
itu termasuk masa lalu, masa depan, tubuh gagahmu, karir, jiwa, apapun.
semua bukan milikmu. milik Sesuatu yang Tak Terperi.
dan kau tak pernah kehilangan apapun.


Ketika kita menua, itu tak berarti kita menjadi dewasa, lantas bijak bestari. Ini terbukti. Sebenarnya aku telah menulis tulisan ini 10 tahun lalu saat masih bertugas di Grabag, Kabupaten Magelang.

Sayangnya butuh 10 tahun untuk membacanya kembali. Hah, betapa banyak hal yang kita tulis dan katakan tapi tak pernah benar2 kita hayati.

Tapi bagaimanapun, terima kasih pada subuh dingin yang telah membuatku membuka tulisan lama. Terima kasih pada diriku di masa lalu yang menyiapkan paragraf itu untuk diriku di masa kini.

Terima kasih Tuhan, pemilik segala sesuatu…

Akhirnya Aku Memilih (part 2)..


“Kalau nggak kena kanker, saya mungkin nggak akan pernah membebaskan diri dari pagar-pagar yang saya rasakan membelenggu itu.” Ya, lelaki itu mengumpamakan kanker sebagai ‘hadiah’ Tuhan yang membuat ia lebih berani merangkul kehidupan.

Paragraf yang menyentuh. Itu adalah kalimat Hanif Arinto, 36 th, seorang pasien kanker usus besar yang terpasang stoma. (Kompas Minggu 12/6/11, Hidup Berlanjut dengan “Stoma”).

Hanif yang dulu senang fotogragi tapi tak berani memotret, kini berubah menjadi seseorang yang tak pernah melepas tiap momen hidup dari kamera. Hanif yang dulu sangat sibuk namun tak menikmati hidup, kini belajar bermain ski dan menjadi sukarelawan untuk Yayasan Kanker Indonesia. Hanif hari ini adalah Hanif yang berani menjalani hidup sepenuhnya, meski tahu sel kanker belum ia kalahkan.

Hidup Hanif berubah setelah kanker menyerangnya. Tapi, sungguhkah kita harus menunggu hingga kanker, penyakit jantung, atau kondisi kritis lain menyerang tubuh baru kita “berani merangkul kehidupan”?

Kenapa kita tidak merangkul kehidupan kita mulai kini? Kenapa kita tak melakukan hal-hal yang sungguh berarti? Kenapa kita melakukan hal-hal yang remeh hanya karena desakan ‘common sense’ dan tekanan tata sosial masyarakat?

Coba letakkan perspektif hidup kita pada posisi Hanif. Apa yang akan kita pilih jika kita tahu bahwa satu hari, dalam waktu dekat, kematian akan datang menghampiri? Anggap saja, enam atau dua belas bulan lagi…
Lagipula, adakah yang menjamin bahwa esok hari kita masih bisa menyaksikan matahari terbit? Tak siapapun.

Lantas, kenapa kita tak : membagi kasih sayang, menyatakan isi hati, meminta maaf, memaafkan, memeluk pasangan hidup, menelpon teman lama, atau sekadar menyapa seseorang padahal hati kita menginginkannya?

Kenapa kita tak merangkul kehidupan, tapi alih-alih melaluinya seperti seorang pejalan tidur?

Ini adalah kritik saya pada diri sendiri. Terima kasih pada alam semesta yang terus mengingatkan tentang arti penting sebuah pilihan hidup. Seperti seseorang bilang (mbak Riana, voicesnoises), “Tak ada yang salah dalam pilihan2 itu. Asalkan ia datang dari hatimu.”

Tulisan ini sekaligus menandai hari berkabung saya atas meninggalnya, Prof. Budi Susetyo Juwono, SpPD, SpJP. Satu-satunya guru, yang saat pendidikan spesialis pernah mengajak saya bicara tentang perlunya mendengar suara hati. Nurani.
Terima kasih Prof. Selamat jalan. Air mata dan doa kami menghantarmu menuju Sumber Rindumu..

Purwokerto, minggu sore, 12/6/11

Akhirnya Aku Memilih.


Setelah beberapa bulan tinggal di kota ini, akhirnya aku memilih. Dan itu karena Cinta, gadis kecilku yang pertama jatuh sakit. Demam.

Ia, yang secara emosionil sangat dekat dan mirip denganku adalah salah satu penghubungku dengan masa depan. Entah kenapa. Dan itu telah terbukti.

Tiap kali ayahnya menghadapi ujian hidup, tiap kali pula ia sakit. Dan sakitnya itu adalah pertanda, adalah peringatan untuk ayahnya, untuk pasrah dan meyakini bahwa segala sesuatu telah diatur, dan tidak ada gunanya merengek dan menangis. Seakan ia berkata padaku, “Pak, lakukanlah apa yang kau bisa lalu biarkan Allah yang memutuskan. Karena Allah memberi yang terbaik. Selalu.”

Dulu, persis satu hari sebelum aku ujian masuk spesialis, aku sangat gelisah. Namun Cinta tiba-tiba demam tinggi. Tanpa ba-bi-bu. Padahal waktu kami berangkat ke Surabaya ia sangat sehat. Tengah malam itu ia seakan ikut prihatin dengan suasana hati dan ujian hidup ayahnya. Tak lagi sempat belajar, aku malah begadang menjaga gadis kecilku itu. Namun, alhamdulillah aku tetap lulus. Padahal aku bukan alumni Surabaya, jadi tak kenal pada siapapun dokter senior yang mengujiku hari itu.

Kini, ujian hidup yang kuhadapi adalah tentang keberadaanku di kota ini. Sungguhkah hidupku akan lebih bermakna jika aku menetap di sini? Haruskah aku pergi?

Akhirnya, aku melakukan usaha terakhirku. Surat itu kulepaskan dan kuserahkan. Terserah apakah mereka akan memperjuangkan atau tidak. Jika Allah menghendaki, maka akan dilancarkanlah segala urusanku di kota ini. Rezeki, karir, kesehatan, kebahagiaan.
Sedang jika tidak, maka akan dialihkannya jalan hidupku ke tempat lain. Dimana Allah telah pula menyediakan segala sesuatunya.

Segala sesuatu adalah milikMu. Aku cuma ‘nunut’ saja.

Ah, kurasa sudah saatnya aku melakukan hal-hal yang benar. Kini, segalanya kukembalikan padaMu. Enam bulan hidup adalah waktu yang singkat. Bukankah Kau bilang aku harus bersiap, bergegas? RinduMu sungguh tak bisa kutebak…

Apa Enam Hal yang Akan Kulakukan Jika Hidupku Tinggal 6 Bulan Lagi?

1. Mengikuti hati nurani. Tersenyum dan ramah pada siapapun. Rendah hati dan tak enggan berbagi kebahagiaan. Bersikap zuhud. Tidak senang saat mendapat dunia, tak sedih saat ditinggalkan dunia, tak sibuk oleh dunia hingga lupa.

2. Membahagiakan keluarga kecilku. Mempersiapkan hati dan mendidik ketiga gadisku agar menjadi perempuan tangguh yang solehah. Agar tegar menghadapi arus deras kehidupan.

3. Berbakti kepada Ibu dan Bapak. Membahagiakan mereka. Membuat mereka bangga karena telah membesarkanku.

4. Menjadi dokter terbaik yang aku bisa. Terus belajar, terus menempa diri dan hati, hingga bisa menolong sebanyak mungkin manusia. Merawat pasien2ku secara holistik. Sebagai manusia seutuhnya. Menyentuh hati, bahkan kalau bisa, membuat mereka lebih bahagia.

5. Menginspirasi sesama. Membuat mereka kembali percaya pada impian. Berbagi semangat hidup dan ilmu lewat lisanku, artikel dan buku yang kutulis, apapun yang kupunya. Membuat hidup mereka jadi lebih bermakna.