Lagi2 Lupa Bersyukur..

Hari ini aku bertemu dengan seorang anak perempuan, sebut saja namanya Rahma. Ia baru 3 tahun, seumuran Langit gadis bungsuku, dan memiliki kelainan jantung bawaan sejak lahir.

Saat alat ekokardiografi(sejenis pemeriksaan USG jantung) menyentuh dadanya, Rahma gelisah. Menangis tak henti-henti. Ibunya, seorang perempuan muda berwajah muram, ikut pula gelisah.

Karena tahu ada beberapa pasien di luar yang antri, entah kenapa tiba-tiba terasa kalau kamar periksa itu jadi gerah dan tak nyaman. Padahal biasanya dingin minta ampun.
“Duh, kenapa anak ini rewel banget ya?”gumamku resah.
Tapi saat kulihat wajahnya, kurasakan ada lelehan es beku yang membasahi hatiku.

Di bola matanya yang kecil itu ada dua mutiara putih. Keruh dan mengkilat. Kami, para dokter, menyebutnya katarak. Satu kondisi dimana lensa mata mengeruh, dan tentu saja menghalangi cahaya bagi Rahma kecil yang penuh rasa  ingin tahu.

Lelehan es itu melumerkan resahku. AC ruang periksa pun terasa dingin kembali. Aku tersenyum pahit. Ada ngilu menghunjami hati. Pertanyaan seputar takdir yang sejak dulu dibiarkan tanpa jawaban.

Lantas sepanjang hari ini aku berpikir, bahwa apapun yang kualami hari-hari ini, pastilah tak seberapa dibandingkan rasa sedih ibu Rahma, si kecil dengan mutiara di matanya. Setidaknya aku masih memiliki Langit yang sehat, meski kadang rewel. Begitu pula aku masih bisa memeluk dan melihat Cinta dan Lintang berlarian, meski kadang sifat keras kepala mereka muncul.

Ah, ternyata masih banyak yang belum kusyukuri dalam hidup…

Koin Prita dan Dokter Indonesia

Koin Prita dan Dokter Indonesia

Oleh: M. Yusuf Suseno

SAAT vonis denda 204 juta rupiah dijatuhkan kepada Prita Mulyasari, sontak beribu simpati datang dari masyarakat. Rakyat merasakan ketidakadilan telah menimpa Prita. Kemarahan publik melahirkan gerakan pengumpulan koin untuk Prita. Mengapa koin? Sebab, uang receh itu didaulat sebagai lambang perlawanan rakyat kecil kepada sistem yang lebih besar. Dalam kasus ini, kubu yang besar adalah RS Omni Internasional yang dipandang sebagian orang telah bersikap cukup arogan, plus sistem peradilan yang dinilai tak memihak rasa keadilan rakyat kecil.

Bukan hanya anggota Komisi Yudisial yang prihatin atas putusan itu, Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih pun ikut gerah. Tim mediasi dari Depkes diutus untuk kembali menengahi pertikaian antara Prita dan RS Omni. ”Hubungan dokter-pasien seharusnya tolong-menolong, bukan tuntut-menuntut,” kata Menkes (JP 9/12/09). Kegelisahan Menkes itu membuktikan bahwa selain mengganggu rasa keadilan, gerakan koin untuk Prita juga merepotkan pucuk pimpinan birokrasi kesehatan di negeri ini.

Mengapa demikian? Sebagai kasus yang semula berbau dugaan malapraktik yang dilakukan RS Omni Internasional terhadap Prita (meski tak terbukti), konflik ini telah menjadi cermin bagi dunia kesehatan di tanah air. Kericuhan yang diliput luas oleh media tersebut mewakili hubungan pasien, dokter, serta rumah sakit yang makin rapuh.

Komentar dan pertanyaan masyarakat pun beragam. Salah satu yang paling penting dijawab adalah pertanyaan tentang kualitas pelayanan kesehatan di tanah air. Apa yang terjadi dengan pelayanan kesehatan dalam negeri? Mengapa banyak orang kaya yang lari ke Singapura dan Penang untuk berobat? Apakah semata karena teknologi kesehatan? Benarkah berita tentang dugaan malapraktik di media massa yang muncul tiap minggu itu?

Era krisis kepercayaan tersebut telah diramalkan jauh-jauh hari. Suatu hari, Sir William Osler, Bapak Kedokteran Modern, ditanya tentang definisi dokter yang pintar. Dia dengan lugas menjawab, ”Sesungguhnya tak ada seorang pun yang bisa disebut dokter yang pintar. Di dunia ini hanya ada dua macam dokter. Dokter yang baik dan dokter yang buruk.”

Kita boleh tidak setuju terhadap Sir William. Namun secara tak langsung, Profesor Abraham Verghese, seorang ahli penyakit infeksi sekaligus penulis terkenal dari Amerika, berkata, ”Seorang pasien yang menyukai dokternya takkan pernah menuntut, apa pun yang terjadi, apa pun bujukan si pengacara.”

Kedua pernyataan tokoh dunia kedokteran dari era yang berbeda itu sebenarnya telah menjawab penyebab meruncingnya hubungan pasien dan dokter dalam beberapa kasus. Sayang, hal itu tak kunjung disadari oleh para pemegang kebijakan, pemilik industri kesehatan, maupun para komunitas dokter.

S.G. Jeffs, seorang dokter Inggris, yang jika masih hidup pastilah akan dianggap puritan, puluhan tahun lalu menulis hal yang sangat mendasar. Satu prinsip yang seharusnya terus ditekankan para dosen kepada para mahasiswa di fakultas kedokteran. ”Nobody is another case of… You have no cases. You have patients who are human beings with feelings and emotions.” Kalimat ini mungkin terdengar aneh. Siapa pula yang masih berbicara tentang perasaan dan emosi dalam dunia masa kini yang tergesa?

Para perumus kurikulum pendidikan dokter di masa mendatang seharusnya terus memberikan porsi lebih besar kepada pendidikan dan latihan komunikasi. Sehingga mahasiswa kedokteran memiliki bekal kemampuan berkomunikasi yang lengkap, jujur, sabar, empatis, positif, dan mudah dimengerti. Sebab, hanya dokter yang dapat berkomunikasi dengan baik, berempati, dan bisa meletakkan dirinya pada sudut pandang pasienlah yang akan selamat dari ancaman krisis tuntutan malapraktik.

Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, praktik kedokteran kadang-kadang dipaksa berubah hanya untuk menjadi baut kecil dari bisnis jasa rumah sakit. Hal yang sama juga terjadi di belahan dunia lain. Apa arti dokter yang pintar tapi dianggap kurang ramah, yang kesibukannya tenggelam di tengah keluhan pasien? Bukankah ini berarti para dokter Indonesia juga harus siap mengumpulkan koin guna menghadapi jutaan rupiah tuntutan malapraktik?

Sungguh, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Alat-alat di rumah sakit rujukan pun cukup lengkap. Bahkan, Amerika dan Eropa pun mengakui bahwa mereka tidak ahli dalam semua penyakit. Berbagai jenis penyakit infeksi khas dunia ketiga seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit jantung rematik yang akrab dengan kedokteran Indonesia tak selalu dikuasai Barat.

Namun, mengapa RS di Singapura dan Penang menjadi tujuan pasien dari Indonesia? Itu disebabkan mereka berusaha membuat nyaman pasien dan keluarga. Juga kesiapan dokter untuk berkomunikasi dan memberikan informasi secara utuh. Apalagi mereka sangat sadar bahwa rakyat Indonesia adalah pangsa pasar yang besar, dan layanan kesehatan adalah industri jasa yang menjanjikan. Tanpa orang Indonesia, rumah sakit di Singapura dan Penang akan merugi karena investasi yang tak kembali.

Saat ini dunia layanan kesehatan Indonesia tengah menghadapi tantangan sangat berat. Dan jawabannya ada di tangan pihak-pihak yang memegang kendali masa depan. Selain pemerintah dan organisasi profesi, yang tak kalah bermakna adalah fakultas kedokteran, pencetak dokter Indonesia yang kini mulai muncul dan menjamur di mana-mana.

Di tangan mereka dokter Indonesia dibentuk. Apakah mereka nanti memandang pasien secara holistik, sebagai manusia seutuhnya, atau semata melihat pasien yang hanya terjangkit kasus maag yang tak sembuh-sembuh.

Saya teringat dengan nasihat almarhum Prof Boedhi Darmojo, seorang guru besar yang bersahaja, saat mengutip kalimat bernas Henry B Adams. “A teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops.” Itulah mengapa seorang guru harus dihormati. Karena sentuhannya bersifat abadi.

*) M. Yusuf Suseno , dokter umum, saat ini tinggal di Surabaya

Catatan : paragraf terakhir tentang hakikat guru telah dipotong oleh redaksi JP. Mungkin karena pertimbangan ruang.  Padahal itu adalah bagian paling emosionil ..

Versi online ada di http://www.jawapos.com, klik : opini

Pilihan

Hidup adalah setumpuk pilihan. Sayangnya, dalam situasi tertentu, kita mengalami kesulitan menentukan mana yang terbaik. Atau sebaliknya, setelah kita memilih, kita merasa ada sesuatu yang salah dengan pilihan kita. Entah kenapa.

Pagi ini saya membaca buku Greatness Guide, tulisan Robin Sharma. Ada kalimat di chapter 42 yang meresap. At least, ia telah membantu saya memantapkan pilihan hati. Akan saya coba menyadurnya.

Bangunlah pagi-pagi setiap hari dan bertanya pada diri sendiri,”Apa yang akan saya lakukan jika hari ini adalah hari terakhir hidup saya?”

Sebagian besar kita membiarkan hidup yang mengatur kita. Kita terkantuk-kantuk di roda kereta kehidupan kita sendiri. Hari pun berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulan berubah menjadi tahun. Tiba-tiba kita telah terbaring di ranjang kematian kita, berpikir dg sesal, “Ketika matahari bersinar dan toko toko dibuka –waduh!– saya lupa belanja. Sekarang malam sudah larut, dan saya baru ingat kalau harus belanja.”

Jalani hidup seakan hari esok tak akan pernah tiba. Ambil beberapa resiko. Bukalah hati lebih lebar. Katakan kebenaran. Ungkapkan cinta. Tersenyumlah. Menari. Bermain. Tolonglah mereka yang membutuhkan…

Bersinarlah…

Pagi ini saya merasa hidup, bersyukur dan ingin segera pulang. Tunggu Bapak di rumah ya Nak….

stasiun sidoarjo, minggu pagi 13/12/09


The Five People You Meet in Heaven

Baru saja selesai membaca terjemahan buku Mitch Albom, The Five People You Meet in Heaven. Buku yang beberapa lama telah ingin kubaca, tapi baru minggu ini terbeli.

Kisahnya sederhana. Tentang Eddie Maintenance, seseorang yang sangat biasa,  yang meninggal dan menjalani perjalanan spiritual untuk menyelesaikan konflik2 batiniah selama ia hidup.

Terlepas dari kepercayaan tentang hidup setelah mati yang berbeda antar pemeluk agama, buku ini cukup bagus untukku yang masih hidup. Setidaknya, bagiku ia mengingatkanku pada beberapa kalimat lama.

Pertama adalah, tak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semua peristiwa dalam hidup kita terkait. Terkait dengan masa lalu, dengan masa depan. Baik milik kita maupun orang lain. Semua memiliki tujuan. Kelahiran, kematian, rasa sakit, kehilangan, semua tidak berlangsung dengan sia-sia..

Kedua, seharusnya kita berusaha memaafkan siapapun. Apapun. Rasa sakit, apalagi dendam, mungkin bisa membuat kita bertahan hidup, tapi layaknya pisau bermata dua, iapun melukai kita diam-diam..

Ketiga, jelas buku ini mengingatkanku tentang kematian. Kematianku sendiri yang makin dekat. Seharusnya aku melakukan yang terbaik dalam hidup…  😦 Hmmhhh…

Ini link download versi Inggrisnya… : 2shared

BONUS

Jika seseorang berbicara pada kita tentang bonus, terutama jika dengan huruf besar, BONUS, apa yang pertama kali kita pikirkan?

Uang tambahan. Kenaikan gaji. Promosi.

Yeah. That’s right. Karena aku juga. Tapi setelah kupikir ulang,  menurutku seharusnya kita tidak boleh hanya berpikir, atau berhenti di sana. Setidaknya, jika aku berkaca dari hidupku.

Beberapa tahun lalu, banyak orang  berkata, bahwa  hidupku saat itu adalah kesempatan kedua. Nyowo serep. Nyawa cadangan.

Alasannya adalah karena Allah masih menghendaki aku hidup setelah sebuah kecelakaan tragis yang sempat membuatku amnesia. Kecelakaan yang sama juga meremukkan, mematahkan dan memunculkan tulang pahaku ke dunia. Lantas setelah periode kelemahan lengan kanan yang sempat membuatku frustasi, Gusti Allah akhirnya kembali menggerakkan tangan kananku.

Salah satu implikasi dari kejadian itu adalah :

Seharusnya aku tidak boleh sedih dengan apapun yang terjadi dalam hidup.  Apapun yang kudapat hari ini, itu jauh lebih baik daripada kematian yang hampir saja kupilih. Hari ini adalah sebuah  bonus… Ekstra time yang sangat-sangat  berharga…

Termasuk kesempatan untuk bermimpi, menulis, sekolah lagi, dan bertemu dengan ketiga anak-anakku : Cinta, Lintang, Langit….

Implikasi yang lain adalah, seharusnya aku cukup arif untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan berusaha jadi orang baik. Tapi sayangnya, kadang aku melupakannya… It’s too bad, isn’t  it? 😦

Semoga Allah mengampuniku….