Rakyat Sehat Negara Kuat, Sebuah Mantra?

dr M. Yusuf Suseno

Tulisan ini bukan semata untuk menjawab tulisan Sdr Maria Endang Pergiwati yang berjudul Hak Warga Negara Atas Pelayanan Medis(Surya 9/11), yang merupakan tanggapan atas tulisan saya sebelumnya, Penyebab Askeskin Tak Sakti(Surya 5/11).

Karena sungguh saya sepakat dengan substansi yang disampaikan. Semua warga negara berhak menerima pelayanan medis paripurna. Tak peduli ia menggunakan gakin ataupun tidak. Apalagi saat Pemerintah tengah memperingati Hari Kesehatan Nasional ke-43 tanggal 12 November dengan tema besarnya, Rakyat Sehat Negara Kuat.

Kemarin saya baru saja beranjak pulang dari rumah sakit saat tiba-tiba langkah dan mata saya terhenti. Seorang perempuan 50-an tahun terduduk di tangga depan ruang rawat inap. Tangannya menggenggam gelisah beberapa lembar resep, dan kadang ditekankannya kertas-kertas itu ke kepalanya. Lantas didekatkannya mata pada lembaran tulisan itu. Tulisan di atas dua lembar resep Askeskin, selain selembar resep umum yang berukuran lebih kecil tapi juga berisi beberapa jenis obat.

Bajunya yang berwarna kusam makin lusuh karena ujungnya berkali-kali terpakai untuk mengusap sudut matanya yang gelap gelisah. Cemas karena tahu, seseorang yang dicintainya tengah menunggunya. Menunggu obat penting berharga mahal yang tak lagi ditanggung Askeskin. Baca lebih lanjut

Penyebab Askeskin Tak Sakti (Surya, 5 Nov 07)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Seorang pembaca Surya mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit Pemerintah di Surabaya. Surat pembaca itu diberi judul, ‘Sengsaranya Berobat Pakai Kartu Gakin’(Surya, 30 Oktober 2007). Di tengah carut marut dana klaim Askeskin yang tak kunjung turun, ini adalah pernyataan sungguh membuat gundah. Benarkah berobat dengan kartu gakin/Askeskin membawa kesengsaraan?

Kenyataannya adalah, berobat dengan Askeskin pada hari-hari ini memang tak senikmat dulu lagi. Sebagian pemeriksaan, obat-obatan dan biaya operasi yang dulu ditanggung oleh Pemerintah saat ini terpaksa harus dibiayai sendiri oleh pasien. Mengapa? Karena Askeskin saat ini adalah sumber badai besar masalah keuangan rumah sakit Pemerintah di seluruh Indonesia.

RS Dr Soetomo Surabaya sebagai rumah sakit terbesar di Jawa Timur bahkan menanggung hutang dari pelayanan Askeskin hingga 51 milyar(suarasurabaya.net). Ini jelas bukan jumlah yang sedikit. Siapa yang harus membayarnya? Pemerintah pusat sebagai sumber dana utama program ini belum bergeming. Sedang Pemerintah daerah yang ‘katanya’ siap membantu ternyata tak kunjung mengucurkan dana. Hal ini menyebabkan rumah sakit Pemerintah terpaksa memakai model minimalis untuk mencegah makin besarnya hutang yang luar biasa ini.

Tapi sebenarnya, apa yang menyebabkan hutang tersebut bisa membengkak dan menumpuk sedemikian rupa? Jawabannya tak jelas. Semua orang menunjuk hidung orang lain. Pihak rumah sakit yang tertimbun hutang dan PT Askes menyalahkan Pemerintah Pusat yang tak kunjung menurunkan dana. Sedang Menkes menuding oknum pelayanan dan penyelenggara sistem asuransi, serta oknum pengguna Askeskin yang mengaku ‘miskin’.

Dari semua oknum yang disinyalir oleh Menkes, maka oknum yang terakhir inilah yang sangat aneh. Biasanya manusia senang mengaku dirinya kaya, tetapi sejak adanya Askeskin banyak sekali orang Indonesia yang lebih senang disebut miskin.

Padahal menjadi miskin itu sungguh tak enak. Baca lebih lanjut

Kutukan Askeskin(Jawa Pos, 14 Agt 2007)

oleh M. Yusuf Suseno

Membaca kolom jati diri di lembar Opini Jawa Pos tentang mark up klaim Askeskin memaksa saya berkaca pada diri sendiri. “Ini sungguh-sungguh perbuatan yang tidak manusiawi. Ini perbuatan yang perlu bersama-sama harus dikutuk sekeras-kerasnya.”(Jawa Pos 7/8/07)

Pertanyaan pertama yang segera timbul di benak adalah, apakah saya termasuk yang dikutuk oleh redaktur tersebut dan pembacanya, dan karenanya harus segera meruwat diri agar tak terkena imbas kalimat sugestif itu?

Saya melirik sepasang bolpoin yang tergeletak di meja, ia bertuliskan salah satu jenis obat yang pernah saya resepkan. Salah satu obat berharga mahal yang dulu sempat disediakan Askeskin, dan kini tidak lagi karena dianggap tak efisien. Meski mungkin tak termasuk mark up, apakah saya bisa dianggap mencari keuntungan pribadi dari dana untuk kaum dhuafa ini? Perlukah bolpoin itu saya buang untuk menghindari kutukan Askeskin? Baca lebih lanjut

Askeskin, Pembelajaran Menjadi Kaya (Jawa Pos 18/7/07)

oleh M. Yusuf Suseno

Ada seorang pejabat desa yang tengah bingung karena sebagian besar warganya meminta kartu Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) untuk berobat gratis. Padahal, ada di antara mereka yang menurutnya cukup mampu dan tidak bisa dibilang miskin. Apa yang harus dilakukannya? Akhirnya, ia membuat dan memfotokopi beberapa lembar pengumuman, menempelnya di seluruh penjuru lingkungan desa. Bunyinya sederhana. Dicari : Warga Miskin untuk mendapatkan kartu Askeskin. Syarat dan ketentuan berlaku. Baca lebih lanjut