Everything is wonderful

fearless

Habis nonton film lama di jaringan tv kabel Max. Judulnya Fearless, yang main Jeff Bridges. Film yang bagus. Ini sinopsisnya dari Wikipedia.

Max Klein is a survivor of a plane crash. Many die, including his business partner. The trauma transforms his entire life. He enters an altered state of consciousness; soon after the crash he even thinks he is dead, and begins rethinking life, death, God, and the afterlife. Existential questions start to preoccupy his life. He moves away from his wife, son, and friends but, encouraged by an aircraft company psychiatrist, he tries to break the depression and apathy of another survivor, Carla Rodrigo, who lost her baby son during the flight. Eventually Max’s increasingly dramatic attempts at pushing the boundaries between life and death succeed in jolting Carla from her uncertain state. However, after parting company with Carla, Max remains preoccupied, which endangers his relationship with his wife and son. Max has another, more serious near-death experience after eating strawberries, to which he has a severe allergic reaction. He survives and (it is implied) he recovers his emotional connection to his family and the world.

Tapi yang terbaik adalah kata-kata Max Klein(Jeff Bridges) pada seorang anak saat pesawat yang mereka tumpangi hendak mendarat darurat dan kemudian ternyata pecah berkeping-keping.

“Everything is wonderful”

Berkaca pada hidupku, ternyata aku belum sampai ke sana.  Ke titik ‘surrender’ sepenuhnya.

But, I’ll be there soon….

Revolutionary Road dan Seven Pounds

revolutionary

Liburan 3 hari. Nonton Revolutionary Road dan Seven Pounds. Terasa ada kontinuitas di antara kedua film itu. Ada sesuatu yang ingin disampaikan Allah padaku melalui mereka.

Revolutionary Road (Leonardo Dicaprio dan Kate Winslet) mengisahkan tentang pasangan suami istri yang tengah mempertanyakan kemapanan hidup yang dimiliki, yang berujung pada kehampaan yang mengiris.

Sekali lagi, pertanyaan tentang comfort zone kembali muncul. Sungguhkah hidup yang kini kita jalani sungguh2 sesuatu yang kita inginkan? Tidakkah pilihan hidup yang kita ambil saat ini semata dipengaruhi karena rasa takut?

Frank Wheeler kecil dalam Revolutionary Road berkata, aku takkan menjadi salesman di Knox seperti ayahku. Tapi ternyata akhirnya pekerjaan itulah yang ia jalani. Dan itu pula yang terjadi di dunia nyata. Banyak dari kita menyerah pada keadaan, keterpaksaan, semata karena kita takut. Takut mengambil resiko dalam hidup. Akhirnya kita pun menjalani hari-hari tanpa senyum, sekadar rutinitas. Inikah hidup yang benar2 kuinginkan?

Persoalan yang sama kini tengah membuatku gundah. Aku melihat perjalanan hidupku, dan kusadari bahwa akhir2 ini aku beberapa kali mengambil keputusan yang aman. Tidak semata dengan hati. Tapi semata karena ketakutan, keinginan berlindung pada zona aman, maupun keengganan mengambil resiko.

seven_pounds

Dalam Seven Pounds, tokoh Tim(Will Smith), seseorang yang dihantui rasa bersalah dan karenanya memutuskan untuk mati, memberiku semacam pesan tentang cara memperlakukan hidup sebelum kematian. Ia memang ekstrim. Tim mendonorkan paru2 sebelahnya, lobus kanan hatinya, memberikan rumah, membagi sumsum tulang, dan akhirnya mati dengan membagi jantung untuk kekasihnya, selain kedua matanya untuk seorang teman.

Tim mengatakan padaku, bahwa sudah seharusnyalah kita memperlakukan hidup dengan baik, dan mempersiapkan diri menjelang mati. Karena satu2nya kepastian dalam hidup adalah : kematian.

Pengetahuan itu sudah lama ada tapi tak pernah sungguh2 disadari.

Satu saat, aku pasti mati. Sedang menjadi penulis, menjadi kaya atau miskin, masih di ambang pintu kata mungkin.

Satu2nya kebenaran, kata Komaruddin Hidayat adalah : tiap menit perjalanan waktu, makin dekatlah kita dengan kematian.

Dengan premis ini maka satu2nya hal yang perlu dipentingkan dalam hidup adalah mempersiapkan kematian yang baik. Atau dengan kata lain : membuat hidup kita sungguh2 berharga. Berharga untuk diri sendiri. Dan tentu saja di mata Allah, Tuhan yang Maha Lembut dan Bijak.

Seharusnya konflik batin akibat rasa takut mengambil resiko serta kecintaan pada kemapanan yang terjadi pada film Revolutionary Road tidak mendapat tempat dalam hidupku.  Setidaknya menurut kamus Seven Pounds.

What do you think?

Menangisi Lebaran Bersama Laskar Pelangi

Sepanjang film Laskar Pelangi diputar mata saya basah oleh air mata. Diam-diam saya menangisi keikhlasan Bu Mus, kesungguhan Pak Harfan, ketekunan Lintang, menangisi Harun yang terbata tapi gembira.

Lebih dari itu, saya menangisi diri sendiri. Saya yang masih saja merasa kurang di tengah kecukupan, yang begitu mudah tergoda dengan iming-iming materi, yang sedikit-sedikit menyerah pada tantangan. Saya juga menangisi anak-anak saya yang tak sempat diasuh guru seperti Bu Mus, menangisi kalimat Pak Harfan yang hari-hari ini jarang sekali saya temui. “Memberi sebanyak-banyaknya. Bukan meminta sebanyak-banyaknya.” Ah, adakah yang masih memegang erat kalimat itu dalam hati?

Menonton film Laskar Pelangi membuat saya makin sadar akan kerinduan yang membuncah. Kerinduan untuk pulang pada ketulusan, keramahan, kasih sayang, kesederhanaan, dedikasi tanpa pamrih, cita-cita, impian.

Tak terasa lusa Lebaran. Seperti yang lain, saya pun akan pulang. Beberapa pertanyaan yang mengganggu antara lain, apakah saya berani menemui mereka? Tidakkah saya sudah terlalu asing dengan semua itu? Lantas, beranikah saya membawa sekeping ketulusan, keramahan, kasih sayang dan yang lain saat kembali ke Surabaya nanti?

Semoga. Setidaknya saya berharap, saat menonton kembali film Laskar Pelangi, produksi air mata saya sudah jauh berkurang. Bukan karena bosan, tapi karena ada sebagian kebaikan Pak Harfan yang saya telah saya miliki. Tapi itu tentu tak mudah. Saya tahu kalau saya harus bekerja keras, mengumpulkan kelembutan hati di liburan Lebaran besok. Selamat berhari raya. Mohon maaf lahir dan batin.

Forrest Gump

forrest.jpg

seseorang menulis untukku.
Tawaran bisa datang dalam bentuk macam-macam.
Pilihan hidup HARUS didasarkan pada tujuan hidup, BUKAN sekedar untuk mengambil jalan pintas yang akan disesali kemudian.

Nice quote!

lantas pagi ini nonton lagi Forrest Gump.
film yang menunjukkan sisi kuat dan tak kenal takut dari sikap sederhana, tulus dan lurus.
tapi tetap menikmati tiap detik hidup.
sikap pasrah pada garis takdir, sekaligus membuka peluang pada tiap detail perubahan yang disodorkan semesta.

Forrest Gump juga berkisah tentang nasib Jenny, kekasih tercinta Forrest yang tak pernah berhenti mencari.
meski pada akhirnya tahu, seperti juga Chairil anwar menulis menjelang kematiannya,

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Leon

tengah malam, habis nonton LEON.
sebuah film lama yang pertama kutonton lebih dari 10 tahun lalu.

200px-leon_poster.jpg

tentang seorang lelaki buta huruf bernama Leon(Jean Reno)  yang hidup hanya bersama sebuah tanaman hias selama bertahun-tahun, dan berprofesi sebagai pembersih. the cleaner.
dan ia memang sungguh bersih melakukan pekerjaannya. ia pembersih manusia. pembunuh bayaran. seorang pro. seseorang yang hidup dengan irama monoton selama bertahun-tahun.
lantas semua berubah saat ia membuka pintu apartemennya untuk Mathilda(Natalie Portman), seorang gadis kecil 12 tahun yang seluruh keluarganya dibunuh oleh polisi khusus narkotika (DEA), Stansfield dkk(Gary Oldman).
mathilda menganggap leon adalah lelaki sejati, seseorang yang akan bisa membantunya membalas dendam. mathilda jatuh cinta. tapi cinta di sini jauh dari masalah seksual, selain kadang ’intermezo’ mathilda yang dalam masa pubernya ingin bereksplorasi secara seksual, dan tak pernah ditanggapi leon.
leon tercerabut dari dunianya, memasuki dunia baru yang berwarna.
lantas datanglah hari yang paling bahagia.
hari setelah leon terpaksa menyerbu markas DEA untuk menyelamatkan mathilda yang nekat hendak membalas dendam.
malam itu mathilda mengenakan gaun pembelian leon, lantas ia memaksa leon tidur di kasur, meluruskan kakinya, mengatur agar tangan leon yang kaku memeluknya.
meninggalkan kebiasaan puluhan tahunnya yang selalu tidur di atas kursi dengan setengah mata terbuka.
inilah malam paling membahagiakan bagi leon. malam dimana ia bisa tidur nyenyak hingga mendengkur.
saat esoknya ia memaksa mathilda pergi karena apartemen mereka diserbu polisi, ia berkata, ”kau tak usah khawatir. aku akan hidup. inilah saatnya aku sungguh merasa ingin meneruskan hidup.”
sesuatu yang tak pernah ia miliki selama bertahun-tahun.
dari leon aku kembali belajar bahwa hidup selalu akan berubah.
meski hanya semata karena membuka pintu.
bersiaplah.
leon.jpg