Dini Hari. Dini Hari yang Kesekian.

Dini hari. Terperangkap di dalamnya.
Perjalanan sudah begitu jauh.
Tiba-tiba menumpuk tanya.
Lantas sadar, hidup tak teramalkan. Unknown prognosa.

Dini hari. Lamat2 kemresek kaset pengajian dari musholla.
Suara kipas angin. Mencoba menepis panas udara.
Membaca tulisan lama.
Tersentak.
Ah, tujuan hidup yang sering terlupa.

Dini hari.
Dini hari yang kesekian.
Sendiri saja.
Masih di Surabaya.
Sadar, masih belum jadi apa-apa.

Menjadi daun pun belum bisa.

Dini Hari. Dini Hari yang Kesekian.
Esok entah dimana.
Ini kereta.
Jalan.
Tak sampai juga.

Taj Mahal From My Eyes

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Kidung Rumekso Ing Wengi

Entah mengapa, hari-hari ini saya sering rengeng-rengeng mendengarkan  kidung Sunan Kalijaga. “Kidung Rumekso Ing Wengi”.

Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman

Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal

Yang ingin download mp3-nya ada di sini

Paradoks India (2)

Di hotel Fortune Select Excalibur, aku sekamar dengan seorang fellow dari India. Namanya Ahmad. Ia muslim.
Dan ia bertanya banyak hal.
Ahmed lebih muda dariku. Awal 30-an tahun. Anaknya 2. Laki dan perempuan. Tapi seperti kebanyakan lelaki India, ia agak gemuk.
Tapi jelas ia cukup cerdas. Dan ia berusaha menunjukkan padaku. That’s fine. Itu memang sudah kutahu tentang beberapa ilmuwan India.
Mereka sangat percaya diri. Sometimes intimidatif. Sorry I have to say that..

Hotel tempat konferensi, Oberoi Gurgaon, sangat mewah. Lebih mewah dari Shang Ri La Surabaya kurasa.

Juga RS Medanta yang mensponsori konferensi, punya dokter2 yang pintar. Mereka sudah melakukan hybrid operation di cath lab.
Di saat bersamaan mereka melakukan pemasangan LIMA ke LAD, kemudian merevaskularisasi pembuluh darah lain yang buntu.
Something yang belum bisa dilakukan di Surabaya. Aku tak tahu dengan Harapan Kita atau RSCM.
Tapi di sebelah hotel Fortune, tempatku menginap, berdiri tenda-tenda tempat kaum papa hidup.
Dan ternyata mereka berada di seluruh penjuru India.

Di India, semua ada. Semua mungkin.
Dokter2 pintar, orang2 kaya(orang kaya no-6 sedunia adalah warga negara India).
Juga manusia2 miskin yang sangat-sangat kumuh. Lebih kumuh dari manusia waras Surabaya yang pernah kulihat(at least di Surabaya mereka terlihat pernah mandi meski entah kapan).

Di jalan raya kota Agra dan Delhi kulihat sapi dan anjing yang berkeliaran. Sementara sedan mewah di sampingnya harus berjalan pelan.
Tukang becak yang sangat kumuh. Berpadu dengan lelaki perlente yang menjadi guideku.

Taj Mahal yang sangat cantik.
Di luar tamannya tergeletak gelandangan, tenda mereka yang tak berumah, sampah dan banyak hal yang kurasa tak ada di sekitar Borobudur, icon budaya Indonesia.
India tak bisa lepas dari kitaran manusia-manusia terpinggirkan.

That’s India Sir. Everything is possible here, kata penjaga hotel M House, Agra.
You must be careful during your journey at India. We can be a liar, also a holy man with Cobra at our hand..

Kurasa kalimat yang sama bisa terjadi di Indonesia. Hanya saja mungkin tak seekstrim India. Tak ada orang Indonesia yang jadi nomor 6 paling kaya sedunia. Tapi juga, aku bersyukur masih bisa melihat terminal yang cukup bersih seperti Bungurasih.
Terminal bus Sara Karai Khan, tempatku bertolak ke Agra sangat kumuh. Tak pantas rasanya melihat ia berada di kota New Delhi, ibu kota India.

That’s India. Paradoks India. Tempat dimana mereka yang cantik dan kumuh berpadu. Mereka yang kaya dan buruk lupa menari bersama. Tarian kehidupan yang majemuk dan kaya. Menggairahkan kadang. Tapi sekaligus menyedihkan.

Membuatku bertanya. Siapa di antara kita yang bisa memilih ibu dengan rahimnya tempat kita tumbuh?
Memilih keluarga dimana ia akan dibesarkan, hingga menjadi Dr Praven Chandra, seorang intervensionist India yang sangat handal, atau sim salabim!
Jadilah kau bakal tukang becak kurus yang terbatuk saat membawa turis !
Kenapa ini terjadi? Is it fair?
Siapa yang berani bertanya pada Tuhan tentang hal ini?

That’s India. Paradoks India.

Paradoks India (1)

Ada banyak hal yang kudapat selama aku di India. Beberapa menghantamku hingga dalam.
Mungkin karena ini kali pertamaku menghadiri konferensi intervensi tingkat internasional.

Setelah perjalanan panjang hampir 18 jam(jika dimulai dari kamar kost), akhirnya aku mendarat di bandara Indira Gandhi Delhi.
Satu pagi yang hampir saja berbeda jika aku tak memaksa untuk ke bandara Juanda, padahal petugas Silk Air bilang seat sudah penuh.
Satu pagi yang bisa saja terbangun di kamar kost jika aku tak bertanya pada orang yang tepat.
Juga pagi yang akan seperti biasa jika aku tak membuka email, membacanya dengan teliti, dan bertekad untuk datang ke kursus khusus untuk fellow ini.

Kurasa, kalimat terakhirlah yang terpenting.
Dan tekad itu pula yang menghempaskan.
Karena ternyata, di sana aku bertemu dengan orang2 yang punya passion sangat besar pada karir intervensi jantung.
Juga pengalaman segudang.
Dan itu membuatku merasa kecil.

Di ruang kursus itu aku menciut.
Ruang pertemuan Medanta Hospital di Gurgaoun, Delhi, India itu berasa asing.
Kecil. Sendiri. Sepi.
Gagap pada lautan luas ilmu yang ternyata baru kucicipi seteguk. Sementara di depan sana ada manusia yang mungkin hampir muntah-muntah karena kembung.
Aku kecil. Sekecil semut.
Yang mengajar di sana terlihat besar. Sebesar gajah.
Sayangnya, ini bukan adu jari dimana semut yang akan menang, ini adu ilmu. Dan semut pun terinjak kalah.

Dan gerak menciutku makin mantap ketika hari berikut konferensi dimulai.
Orang2 sepenjuru Asia bicara. Tergagap rasanya mengetahui kalau ketrampilanku ternyata belum apa2.
Bagaimana mungkin aku bisa berjalan gagah di antara mereka? Terasinglah aku di sudut.

Berusaha menelan makan siang khas India yang masih aneh di lidah. Mual.
Kepalaku nyeri. Tak kunjung reda dengan tramadol. Mungkin aku butuh sedative agar bisa tidur.
Salah satu yang sangat terkenal adalah Dr Muramatsu. Seorang ahli CTO dari Yokohama, Jepang.
Here he is..

Tekanan di ruang konferensi merambat ke hidup. Kulihat kisahku. Ada beberapa hal yang entah kenapa terjadi.
Masuk ke RS pemerintah, dijanjikan jadi PNS, dan tak kunjung bisa. Lewat 2 tahun ujian CPNS dan lolos seleksi pun tidak.
Buset dah! ☺
Saat resign dan memutuskan sekolah, dibilang salah.

Juga banyak hal lain. Rasanya bebanku terlalu berat. Bisakah aku membahagiakan orang2 yang kusayangi?

That day, I really depressed.
Bisakah aku menyelesaikan semua?

to be contined.. (pesawat ke surabaya sudah mau boarding)

Delhi, Oktober 2012

Hidup toh harus jalan terus.. Dan di sinilah aku. Di Delhi, India..

Di atas pesawat.

aku menulis ini di atas pesawat menuju delhi, india.
padahal seharusnya tidak.
menurut rencana, seharusnya aku masih tidur di kamar kostku, ngobrol dengan ibu kost yang putrinya barusan operasi kandungan di griu.
makan malam, lantas berpikir apakah besok kasus-kasus yang ada bisa kuselesaikan dengan baik atau tidak.

tapi itu semua tak terjadi.
pagi aku bangun, lantas berpikir tentang oleh2 yang pagi ini akan kuberikan pada seorang teman yang sudah banyak membantu.
berangkat ke RS, naik sepeda.
menyelesaikan 2 kasus. sempat terpikir untuk lanjut, tapi karena satu dua hal aku memutuskan untuk ke RS Soetomo.
eh, ternyata di sana belum mulai. tiwas kesusu pikirku..
iseng aku membuka ipad dan ternyata 3G dari simpati sudah lancar.
lantas kuputuskan untuk sinkronisasi email yahoo.

ada email dari India… kupikir biasa saja. pemberitahuan kalo konggres multi tanggal 5..
kubaca lebih teliti..
wedeww…
ternyata tertanggal 29 Sept, dan aku diundang mengikuti kursus untuk fellow hari Kamis!
saat itu rabu siang, padahal tiketku berangkat baru esok! ini berarti besok aku akan melewatkan kursus utk fellow di India.
segera kuprint email, telpon berusaha utk mengubah jadwal tiket(yang tak kunjung ada jalan keluar), sembari tetap mengasisteni dr Jeff..

saat kasus CTO ditunda dengan sukses, segera kukayuh sepeda, pulang ke kost, ngepack barang, masukkan ke koper.
sempat terpikir untuk berhenti di sini.
kenapa harus tergesa?
kenapa harus memaksa diri?
ini bukan perjalanan naik bus ke jakarta atau jogja. ini ke india!
so, kansku untuk join course hari Kamis sangat kecil. karena bahkan dari Silk Air bilang tempat duduk utk ke Singapur hari ini penuh.

tapi kuputuskan utk mencoba. hingga titik terakhir.
berjalan di bawah panas matahari, menyeret koper.
bertekad berangkat malam ini ke Delhi.
aku harus sampai ke sana besok. how? entah.

naik becak ke jalan raya, naik taksi, dan untungnya aku tak mampir2 ke silk air di basuki rachmad. padahal sempat terpikir.
telpon travel agent. dari situ aku tahu bahwa pemikiran untuk mencari tiket pesawat lain ke Singapur lantas berganti dg SQ(Sing Airlines) tidaklah mungkin. itu akan menyebabkan semua tiketku hangus tak terpakai.

di bandara, aku sempat bingung mau bertanya pada siapa.
akhirnya kudatangi loket jas dan petugasnya tiada. insist aku bertanya, dan ternyata yang menemuiku malah petugas dari silk air.
ia yang menyarankanku untuk menunggu dan mencoba hingga loket cek in buka.
even it looks impossible, but it worth to try in next 2 hours.

dan…
alhamdulillah dapat tiket!
🙂

then, now I’m flying…