Meski ajang pembantaian bagi para pembangkang itu sudah berlangsung hampir dua tahun yang lalu, bayang-bayang peristiwa itu masih sering menyergap, menghisap sebagian hidupnya sampai habis. Pagi itu, dini hari setahun lalu yang lelaki itu ingat benar dinginnya, suara dering telpon terus tak henti-henti. Tangannya gagap meraih.
“Halo.” Suara di lawan bicaranya hampir tak terdengar, cuma ada desau angin dan deras hujan. Cuaca begitu buruk, gumamnya gelisah.
“Halo.”
“Halo Dok. Ini dari UGD rumah sakit. Ada banyak korban gawat darurat datang. Sebagian besar dengan luka tembak. Dokter jaga mengharap bantuan Dokter.”
“Ok. Segera ke sana.”
Saat menutup telpon dan menatap sosok wajah di cermin, dilihatnya wajah yang letih dan berkabut. Tapi entah mengapa kantuk tiba-tiba menguap dari kamar. Diliriknya jam dinding, tepat pukul 3 pagi. Lelaki itu teringat pada ancaman kelompok pembangkang untuk melakukan aksi besar ke kota memprotes hasil referendum yang mereka nilai dimanipulasi Pemerintah Pusat. Tapi itu besok. Bukan malam ini. Mungkinkah militer sudah bergerak?
Lelaki itu harus menguatkan diri saat melihat begitu banyak pasien berdarah di UGD. Dua puluh korban luka-luka, separuhnya luka tembak di organ vital. Hampir semua dengan syok akibat perdarahan. Berliter-liter darah mengalir, dan kata seorang kawan, jalur bantuan Palang Merah Internasional ditutup.
Pasien pertamanya adalah seorang pedagang pakaian di pasar kota berusia tiga puluh dua tahun, luka tembak di dada. Paru-paru kanannya mengempis. Pneumothorax. Seorang perawat berbisik,”Bagaimana Dok?” Ia menggeleng. Pasien itu datang dengan paru-paru kiri tak tersisa karena TBC.
Pasien kedua seorang mahasiswi cantik simpatisan pembangkang dengan dua peluru di perut. Kena aorta abdominalis. Perdarahan mengisi seluruh rongga. Segera maut menjemput.
Pasien berikut hancur hatinya. Pasien lain remuk paru kanan kirinya kena popor senapan. Pasien lain, ia seorang perempuan, diperkosa dan bunuh diri dengan memotong nadi sendiri.
Satu demi satu kematian mereka menghantui rumah sakit. Data terakhir, ada tujuh belas korban menggelepar sia-sia. Di luar menumpuk tiga puluh-an korban mati di tempat.
Sebenarnya lelaki itu sadar resiko bekerja di daerah perbatasan. Tapi apa yang ditemuinya malam ini mau tak mau menghancurkan kekuatannya. Sebagai dokter PTT di daerah konflik, ia tahu resiko membuka mulut. Tapi darah yang mengalir terlalu banyak, gumamnya kelu.
Seorang koresponden wartawan nasional nekat menemuinya. Dalam keadaaan mabuk darah dan amarah, lelaki itu tak tahan lagi untuk tak menyembunyikan bau mayat-mayat.
Surat kabar memang tak berani menulis besar-besar berita itu, tapi toh tertulis juga paragaraf ini. Dari sumber yang tidak bersedia disebut namanya, dilaporkan sekitar lima puluh korban tewas di rumah sakit militer dekat perbatasan. Ini belum terhitung yang mati di tempat kejadian.
Selang sehari setelah pemakaman yang juga meminta tiga nyawa manusia karena para demonstran, sebagian besar mahasiswa dari penduduk asli, mencoba menembus barikade pasukan khusus, Maryono, perwira tinggi yang mendadak jadi penguasa kota, memanggilnya. Itu adalah episode ruangan putih yang melekat dalam ingatan.
“Silakan duduk Dok.” Suaranya menekan.
Maryono seperti layaknya tentara lain berambut cepak, tapi ia berlesung pipit dan berhidung mancung. Wajahnya tenang laksana bayi, sayangnya ia selalu menutup kalimat dengan senyum sinis di ujung. “Langsung saja. Apa benar Anda yang memberi keterangan pada pers tentang jumlah pasien yang datang di rumah sakit?”
“Benar.”
“Yakinkah Anda bahwa jumlahnya mencapai empat puluh sembilan orang?”
“Yakin sekali.”
“Tidakkah Anda tahu kalau saya telah menyatakan bahwa yang meninggal hanya sepuluh orang?”
Hari berikut sel berukuran 3X3 meter menguasai dirinya, dan matahari di luar jarang menemui. Mungkin karena memang selnya terletak di bagian belakang penjara, dikungkungi tembok dan sepotong jendela setinggi dua meter berukuran setengah meter persegi. Ah, lelaki itu jadi ingat kandang ular berbisa di kebun binatang masa kecilnya.
Hanya menjelang magrib sinar matahari boleh sekedar membantu dirinya mengenali waktu. Angin dingin menyelinap dari lobang angin, seakan berteriak bahwa ada jarak tak terbatas antara dirinya dengan dunia. Hampir sebulan ia jadi orang tahanan. Dan karena ia orang asing, tak banyak orang yang bisa diajak bicara. Sepi sungguh meracuni semangat.
Bagaimanapun ia beruntung masih bisa hidup. Sebagai pendatang, nyawanya memang sedikit lebih berharga dari seekor ayam. Kalau saja ia penduduk asli, tentu takkan dihirupnya oksigen lagi. Tapi ia sadar siapa penolong sesungguhnya. Sadar sekali.
Ruang tamu penjara jauh lebih baik dari selnya yang pengap. Cahaya matahari bersinar langsung menembus jendela ruangan. Jerujinya agak renggang. Tiga buah kursi dan sebuah meja teronggok di dalamnya. Gambar Sang Presiden yang sudah hampir 30 tahun berkuasa menutupi dinding.
“Hai, gimana kabarmu?” Suara perempuan itu adalah nuansa lembut di penjara itu. Matanya memancarkan simpati dan persahabatan.
“Baik.” Lelaki itu tersenyum. Ia sedang memperhatikan seekor tikus got yang berlari mencicit di pinggir tembok. Mengibaskan bulu basahnya, layaknya tuan rumah mengucapkan selamat datang.
Tanpa sadar, pita suaranya bergetar, “Kamu tetap cantik.” Perempuan itu tersenyum. Tapi sungguh, ia memang benar-benar menarik.
“Kau tahu, seminggu lagi aku ulang tahun,”ujarnya. Lelaki itu mengangguk. Ia ingat tentang tahun-tahun yang berlalu saat ia selalu membungkus kado untuk perempuan ini.
“Aku tak bisa memberi apa-apa padamu. Kau tahu, kamarku terlalu gelap untuk menulis.” Mata lelaki itu menerawang kembali. Perempuan itu menggeleng cepat.
“Aku ingin berbuat baik di hari ulang tahunku.” Ia menarik napas sebentar. “Aku akan minta ayah membantumu keluar dari sini.” Ayah perempuan itu adalah seorang perwira tinggi di pusat.
Lelaki itu tak menunjukkan ekspresi apa pun. Matanya menatap tajam pada penjaga di luar.
“Kamu mesti optimis. Kamu itu kuat, aku tahu itu.”
“Terima kasih. Simpan saja optimisme itu. Kalau saja kau benar-benar ingin menolongku, tolong katakan pada pers bahwa aku ada di sini.”
“Kau tahu, aku tak mungkin mengatakannya. Tapi kau perlu tahu, bahwa alasan satu-satunya mengapa Maryono tidak menghabisimu adalah karena akhirnya aku mau menerima lamarannya. Jadi, tolong kau hargai usahaku ini. Pergilah. Pergilah sejauh mungkin.” Perempuan itu meleleh. Matanya membasah.
Lelaki itu tahu kalau ia akan berhutang budi pada perempuan ini. Hutang yang sangat dalam. Jurang 100.000 kilometer. Jurang untuk hidupnya yang sekonyong konyong terlempar ke ujung kelam.
“Tidak. Semua yang hidup di zaman ini ikut bersalah pada mayat-mayat itu. Darah, erangan dan rasa sakit yang mereka miliki berasal dari manusia macam kita, yang tak pernah berani melawan sistem penuh racun ini. Dan kau, kau adalah bagian dari sistem ini. Kau seharusnya yang keluar dari bau busuk ini. Supaya kau pun bisa lepas dari Maryono! Lepas dari manusia najis itu!” Lelaki itu tak bisa lagi menguasai lidahnya. Ia merasa kelu. Kelu sekali.
“Ya!”jerit perempuan itu.. Tangisnya meledak. “Ia memang najis. Dan aku akan punya suami najis. Tapi akulah yang menyelamatkanmu dari pelor itu! Dan kau tahu kenapa itu kulakukan!”
Perih lubuk lelaki itu. Marah. Marah pada dirinya sendiri.
“Bangsat! Sekarang kau boleh bilang pada Maryono kalau aku siap untuk mati. Bunuh aku. Tembak aku sekarang!!” Bentakan itu menggetarkan dinding. Tangis perempuan merobek udara.
Akhirnya popor senapan terasa berat di kepala. Sungguh. Penjaga itu terlalu bersemangat. Darah muncrat. Tembok memerah. Perempuan itu melengos. Sudut matanya menderas basah.
Tiga hari kemudian, lelaki itu mendengar dari Maryono bahwa ia akan dikeluarkan dari penjara. Dengan syarat, ia harus segera angkat kaki dari negerinya sendiri. Jika ia membuka mulut, tanpa ampun semuanya akan habis. Tak tersisa. Dengan tanganku. Suaranya di telpon terngiang di benaknya. Aku akan membebaskanmu Dan kau mesti pergi. Seperti Izrail. Sekali membuka mulut, keluargamu habis. Juga Tyas.
Tyas, perempuan dari masa lalu itu bukannya tidak tahu tentang rencana suaminya. “Bagaimana jika kucarikan beasiswa spesialis di Paris. Aku tahu kamu nggak suka dengan cara ini. Tapi, please…Aku nggak mungkin membiarkanmu meringkuk di penjara lagi. Beberapa hari ini kudengar, gubernur propinsi akan memerintahkan Maryono menghabisi semua tahanan politik.”
Lelaki itu menunduk. Aku tak mungkin pergi. Aku tak boleh. Anak-anak muda itu telah berkorban banyak. Aku harus bertahan. Tapi, benarkah hidup ini benar-benar harus dikorbankan cuma untuk para oposan berpikiran picik itu? Sebenarnya dimanakah aku berdiri? Pemerintah yang fasis, atau pemberontak yang tak berotak. Dengan pikiran semacam itu, lelaki itu tahu betul bahwa penjara telah meruntuhkan idealismenya. Rata dengan tanah.
***
Hampir setahun disini, dan seperti juga saat pertama lelaki itu datang, musim dingin Paris ternyata masih setia memukul-mukul kaca jendela. Angin di luar berdesing di sudut2 tembok apartemen. Salju turun terus sejak tadi malam, seperti juga kemarin-kemarin, malam ini di pintu bawah apartemennya pasti menumpuk benda putih itu. Lelaki itu menghela napas, matanya nanar membaca sms di tangannya. tolong jemput aku di bandara Charles de Goulle malam ini. tepat pukul 7.
Lelaki itu menghisap rokoknya dalam. Diambilnya jaket dan mantel. Udara di luar pasti dingin pikirnya. Ia harus pergi ke bandara. Dibukanya pintu depan. Salju memang masih turun terus. Menumpuk di mana-mana
Tak banyak taksi beroperasi di malam musim dingin, tapi ia memerlukannya untuk melaju ke stasiun Metro terdekat.
Orang-orang memilih meringkuk dalam kamarnya masing-masing. Lelaki itu menunggu hampir sepuluh menit lamanya. Tak ada taksi kosong yang lewat. Tangannya hampir beku di tengah lautan salju. Decit rem, sebuah taksi berhenti. Hatinya berdegup keras. Sosok ramping membuka pintu.
Tubuh lelaki itu bergetar menahan haru. Rasa kangen pada tanah air dan masa lalu menyeruak. Ditatapnya perempuan itu. Perempuan dari masa lalu. Wajahnya banyak berubah. Tulang pipinya makin menonjol dan uban-uban kecil menghiasi rambutnya. Kamu makin matang Tyas. Makin sengsara.
“Kupikir aku harus ke bandara menjemputmu.”
“Pesawat tidak jadi mampir di Ankara. Ada kudeta di sana.” Lelaki itu menganggukkan kepala. Berita sore sudah mewartakan hal itu. Taksi berlalu cepat. Tyas tak membawa apa pun selain tas kecil tersampir di bahunya. Aneh.
“Mari masuk.”
Apartemen itu cukup rapi. Tyas duduk di kursi tamu, tersenyum. Hati lembutnya bahagia. Bahagia sekali. Inilah yang disebut rumah, bisiknya dalam hati. Bersama dia. Ya, bersama lelaki yang kucintai, yang meski sedikit kurus, tapi jauh lebih terurus. Dan jelas lebih tampan dari pada saat ia dipenjara.
Di layar televisi, CNN tengah berpose di tengah demonstran di Ankara. Ribuan manusia berdesakan di depan gedung parlemen, mengeluarkan yel-yel demokrasi. Lelaki itu tak berkomentar apa-apa. Ia tengah berpikir tentang sahabat lamanya ini. Kenapa ia tak membawa satu kopor pakaian pun ? Dari sms yang diterimanya, ia sudah merasa kalau ada yang salah. Tyas mengirim sms itu dari Changi. Bukan dari Indonesia. Kenapa tidak sebelum berangkat? Pertanyaan itu memutar terus di kepalanya. Persis suara angin yang menghantam dinding luar. Perempuan itu terlihat kedinginan.
“Biar kuambilkan jaket lagi. Kenapa kau tak membawa pakaian musim dingin?”
Tyas belum menjawab pertanyaan itu sampai sweater itu dipakainya. Dihirupnya kopi panas, dan ditatapnya wajah lelaki itu baik-baik.
“Kau tak keberatan aku datang?” Nada suaranya serius.
“Tidak. Kau tahu kalau aku senang kau datang. Sungguh.” Tyas tersenyum. Diliriknya tangannya. Keriput. Pasti dingin. Tapi mengapa bersama ia udara tak terasa dingin? Ia tersipu.
“Aku memang tak sempat membawa pakaian secuil pun. Ayah yang menyuruhku pergi ke luar negeri. Dan kaulah kawan terbaikku yang bisa kukunjungi.” Tatap matanya kadang berganti ke channel CNN.
“Tapi kenapa?”
“Ayah bilang, sesuatu akan terjadi. Entah apa.” Belum selesai lelaki itu mencerna kata-kata sahabatnya, penyiar CNN tiba-tiba menyebut nama Indonesia.
Setelah kudeta di Turki, kini terjadi peristiwa yang lebih berdarah dan memakan puluhan korban manusia. Seperti dua tahun yang lalu Indonesia kembali bersimbah darah. Puluhan ribu demonstran bentrok dengan pihak militer yang berkuasa. Dan demonstran ini didukung oleh sebagian tentara yang kontra dengan Presiden. Sudah dipastikan sembilan puluh demonstran tewas, selain beberapa korban di pihak tentara pembelot, termasuk Jendral K, lawan politik Presiden. Putri satu-satunya Jendral K, berinisal T, juga dinyatakan hilang. Berita selanjutnya akan disiarkan secara langsung lima belas menit mendatang.
Udara dalam apartemen terasa dingin mencekam. Saling meremas jari, dua manusia itu bertatapan. Mata mereka basah.
“Tinggallah di Paris bersamaku.”
Tyas tak menjawab. Di sudut matanya menitik salju. Putih. Putih. Putih.
ditulis di semarang 1996, diselesaikan di surabaya nov 2007. waktu itu belum terbayang akan ada reformasi. jadi maaf kalo logikanya kurang pas. thx..
Filed under: cerita pendek, seputar hidupku | Tagged: Paris |
inspired by personal exp. ya mas?bagus sekali tulisannya…swift but gloomy..
Tres bien!!! Sebuah kesatuan dari politik, cinta, ideologi, dan cita-cita hingga perlu waktu 11 tahun untuk menyelesaikannya. Penulis seperti benar-benar pernah berada di Paris. Level ceritanya terlalu tinggi untuk seorang pemula seperti aku,, tapi kalo mas Yusuf bisa, kenapa aku nggak!?!
Gak salah kalau menyelesaikannya butuh waktu yang lamaaa…banget, bagus sekalee.. Bravo buat mas!! Cerita-cerita mas bisa jadi inspirasi supaya aku bisa bikin cerpen yang berbobot kayak gini. Oya, satu lagi,.kata-kata terakhir “Tinggalah di Paris bersamaku” bener-bener jadi ending yang keren.
Bravo! salut buat mas yusuf…
setuju ama Ully… Endingnya keren banget… 🙂
Untuk semua, “Terima kasih. Kalau ke Paris, mampir ya..”
wow…q mw baca tp ga’ kuat bayar internetnyaT_T
di warnet soalnya…
nti d ta’ copy!!