Aku tak pernah memimpikan hal-hal ini. Sunset di Dreamland, parasailing di Tanjung Benoa. Tapi ternyata Ada Yang Menuliskannya… Terima kasih.. 🙂 Baca lebih lanjut
Filed under: seputar hidupku | Tagged: Liburan | 2 Comments »
Aku tak pernah memimpikan hal-hal ini. Sunset di Dreamland, parasailing di Tanjung Benoa. Tapi ternyata Ada Yang Menuliskannya… Terima kasih.. 🙂 Baca lebih lanjut
Filed under: seputar hidupku | Tagged: Liburan | 2 Comments »
Kau tahu aku seorang dokter. Dan kau tahu pula kalau ketiga anakku juga menjadi dokter. Mereka telah selesai menjalani pendidikan spesialis dari sebuah Universitas terkenal di kota Antah Berantah, dan kini mulai merintis karir di kota Antah Berantah.
Beberapa tahun lalu, saat memulai pendidikannya, yang terbesar pernah bertanya.
”Bapak, apa yang harus dilakukan saat kita melihat kebenaran?”
Kujawab, ”Kau harus menutupinya Nak. Karena kebenaran menyakitkan sebagian orang. Tutupilah dengan kebohongan yang menyenangkan mereka.”
Dan tumbuhlah anakku tertua dan tersayang itu menjadi seorang anak yang menyenangkan bagi orang lain, tapi tak pernah bahagia. Bukan karena ia tak punya teman dan disayang banyak orang, tapi karena ia tak lagi bisa mendengar suara hatinya.
Esoknya anakku yang kedua, bertanya.
”Bapak, apa yang harus dilakukan saat kita melihat ketidakadilan?”
Tentu saja kujawab, ”Kau harus mendiamkannya Nak. Setidaknya agar ia tak berimbas padamu.”
Karenanya anakku tercinta itu pun tumbuh menjadi seorang anak yang selalu beruntung, tapi juga tak bahagia. Bukan karena ia tak sukses dalam kehidupan, tapi karena ia lebih sering menutup mata hatinya.
Hari berikut anakku yang ketiga, bertanya.
”Bapak, apa yang harus dilakukan agar kita selalu selamat dalam perjalanan?”
Sambil menarik napas panjang kujawab, ”Kau harus pintar menempatkan diri Nak. Diamlah, dan hanya katakan apa yang mereka ingin dengar. Hidup akan berpihak padamu.”
Akhirnya bungsu terkasihku pun belajar menjadi seorang yang lurus dan menyenangkan, dan seperti harapanku iapun berhasil menjadi orang besar dan kaya. Tapi entah mengapa, sejak itu ia juga tak bisa bahagia. Mungkin karena ia terlanjur menjadi orang lain dan membisukan nuraninya.
Akhirnya, di sebuah hari yang naas saat malaikat maut datang menghampiriku, mereka bertiga bertanya,”Apa keinginan Bapak yang terakhir di dunia?”
Aku diam, bukan karena aku tak mengerti apa yang sungguh-sungguh kuinginkan, atau terlalu capek karena terlalu banyak pasien.
Tapi semata karena aku ingin berkata jujur di hari terakhirku.
Sayangnya lidahku kelu, mataku buta, telingaku tuli.
Aku tak lagi mengenali hatiku.
Lagipula aku tahu, kalau bahkan tembok pun bisa mendengar dan berbicara.
Tulisan di atas cuma sekadar fiksi belaka. Segala kesamaan tokoh, lokasi dan alur cerita di luar kesengajaan.
Filed under: perjalanan | Tagged: dokter, Hati yang Tak Dikenal | 3 Comments »
Matematika Progresif. Speed Up English. Brilliant Seni Budaya. Judul buku yang memukau. Isi yang berat dan penuh. Terutama bagi anak-anak kelas 1 SD. Silakan Anda baca paragraf berikut.
Apa itu identitas. Identitas adalah ciri-ciri. Atau keadaan khusus seseorang. Contoh identitas adalah nama, alamat, tempat tanggal lahir.
Isi yang lengkap dan bagus. Tapi kurasa tidak untuk kelas 1 SD. Terlalu lengkap. Terlalu bagus. Terlalu bersemangat. “Identitas. Barang apa itu Pak?” “Hmm, identitas adalah keadaan khusus seseorang Nak.” Percakapan yang aneh. Terutama jika sang anak masih kelas 1 SD.
Ah, betapa absurdnya dunia pendidikan Indonesia. Kita menyukai kulit. Mulus, indah. Sedangkan isi? Entahlah. Setiap hari anak kita menghafalkan hal-hal yang tak mereka perlukan dalam hidup. Melewatkan bagian terpenting dari hidup.
Hari-hari pertama Cinta sekolah terasa berat buatku. Padahal mungkin tidak untuk Cinta sendiri. Ia baik-baik saja. Saking beratnya, rasanya aku ingin mengeluarkannya dari sekolah. Mata pelajaran yang banyak. Buku-buku yang sulit. Segala yang superfisial. Kenapa tidak mengurangi mata pelajaran? Bukankah terlalu banyak berarti cuma sebentar? Sebentar berarti hafalan, dan bukan pengertian? Terasa benar jika sekolah membuat sesak dan penuh.
Tapi jika ia tak di sekolah, kemana ia akan belajar? Home schooling? Dengan siapa? Aku merasa bersalah.
Setiap kali selalu kutanya, “ Cinta senang sekolah?” “Senang Pak.” Alhamdulillah. Itu yang terpenting kurasa. Setidaknya ia masih cukup bahagia.
Tapi ketika sang Ibu mencoba memasukkannya di kelas Sempoa (yang sudah tak kusetujui sebelumnya), ia mengeluh, “Bu, Cinta capek.” Kurasa itu pertanda untuk berhenti. Kurasa, yang terpenting untuk anak kelas 1 SD adalah bisa membaca, menulis dan menghitung. Juga budi pekerti. Mengapa kita harus jujur? Bolehkah kita mencuri? Mengapa tidak boleh? Jawaban ‘mengapa’ jauh lebih penting. Karena ia akan mengendap.
Sempoa? Identitas? Makanan sumber vitamin? Ah, ia terlalu hambar. “Apa vitamin itu Pak?” Aku tersenyum. Aku berharap seorang guru akan menjawab,”Vitamin itu kecil sekali. Lebih kecil dari semut. Tapi ia membuat kita sehat. Vitamin ada di dalam buah dan sayuran, contohnya wortel. Oya, mbak Cinta membawa wortel kan? Apa anak-anak tahu cara memotong wortel? Coba sini lihat Bu Guru mengupas dan memotong wortel. Gimana, kelihatan nggak vitaminnya?”
Aku tahu itu cuma mimpi. Tapi, bukankah seseorang boleh bermimpi? Tolong, Bu, hidupkan mimpi anak-anak kami…
Filed under: perjalanan | Tagged: AMburadulnya pendidikan ndonesia, Pendidikan Indonesia | 6 Comments »