Pengembara

Malam ini, tiba2 aku bangun, dan aku disadarkan pada ketidakabadian dan kefanaanku sendiri. Ah, betapa selama ini aku sering dengan sengaja melupakannya.

Padahal, sudah seharusnya tiap keputusan yang kuambil juga didasarkan pada fakta tersebut. Karena sesungguhnya yang pasti itu cuma satu : kematian. Sedang kemalangan, sakit, keberuntungan, kesuksesan, menjadi kaya ataupun miskin di masa depan, semua itu hanya ilusi.

Masalahnya, aku tak tahu kapan aku akan mati. Ia bisa saja datang besok, lusa, seminggu, sebulan, tiga bulan, enam bulan, atau setahun lagi.

Nabi Muhammad sendiri memilih sikap yang jelas. Beliau tak pernah menumpuk harta, dan menganjurkan pada keluarganya untuk memilih sikap yang sama. Persediaan pangan beliau tak pernah lebih dari sehari. Karena beliau yakin, bahwa tiap hari memiliki rezekinya sendiri.

Satu hari Rasulullah tidur di atas tikar yang menimbulkan bekas guratan lambung di lambungnya. Beberapa sahabat berkata, “ Wahai Rasulullah, bagaimana jika engkau izinkan kami agar kami menghamparkan di bawah engkau yang lebih empuk dari tikar itu?” Beliau menjawab,

“Apa urusanku dengan dunia? Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan dunia seperti pengembara yang berjalan pada hari yang terik dibawah sebuah pohon, kemudian tiba waktu sore dan ia meninggalkannya.”

Gadis kecilku, Cinta, memiliki sebutan Zahida di ujung nama lengkapnya. Artinya adalah perempuan yang zuhud. Zuhud itu sendiri punya banyak definisi. Salah satu yang paling kusukai adalah :

tidak sedih saat ditinggalkan dunia
tidak senang saat mendapat dunia
tidak disibukkan oleh dunia hingga lupa kepada Allah

Akhir-akhir ini aku merasa, bahwa ternyata kesibukan duniawi di Purwokerto telah menenggelamkanku. Dan aku jadi lupa pada prinsip zuhud itu. Yang bahkan ingin kuwariskan pada anakku.

Terima kasih ya Allah karena malam ini Engkau telah mengingatkanku kembali. Betapa kasih sayangmu tak terbatas luasnya. Kuharap, begitu pula dengan samudra ampunanmu.

Amin.

foto merupakan hak milik :

Dalam Gundah

Hari-hari ini saya sering melihat diri sendiri. Bertanya, gelisah. Ragu pada masa depan.

Padahal, berapa banyak pasien yang begitu percaya pada saya, yang meletakkan hidup mereka pada keputusan yang saya buat?

Orang banyak mengacungkan jempol karena dalam waktu kurang dari setahun, mereka melihat antrian pasien di poli rumah sakit yang seperti pasar. Juga tumpukan status di tempat praktek pribadi yang terus bertambah.

Sayangnya, saya belum bisa, bahkan mungkin tak bisa, meletakkan kesuksesan dan kebahagiaan pada itu semua.

Passion saya adalah menjadi seorang guru sejati. Seseorang yang tidak hanya mendidik, tapi juga menginspirasi murid-muridnya. Saya juga ingin menjadi seorang penulis, yang kadang dalam satu periode hidup bisa menghabiskan hari bersetubuh dengan laptop, dan saat capek minum kopi di sebuah kafe yang hening.

Tentu saja saya senang menjadi dokter. Tapi tidak hanya dokter yang bisa menyembuhkan, tapi dokter yang bisa menyentuh hati, bahkan kalau bisa membahagiakan pasien-pasiennya.

Namun, bagaimana mungkin saya menyentuh hati manusia jika ada ada 60 orang menunggu di depan poli rumah sakit? Bahkan pada hari-hari tertentu, 100 pasien?

Hari-haripun kemudian berlalu seperti kereta Argo Wilis yang kemarin saya naiki dari Surabaya. Efektif. Efisien. Lurus. Terjadwal. Dingin.

Terus terang, saya merindukan hari-hari ketika hidup masih berjalan lambat. Saat saya masih bisa menjemput sorang gadis kecil sepulang les, lantas bersamanya duduk di kafe dekat toko buku Petra Togamas Surabaya.

Atau pergi tiba-tiba di satu subuh yang dingin, naik kereta ekonomi ke stasiun Sidoarjo. Menikmati matahari terbit dalam keremangan dan bau apek kereta bertiket 3500 rupiah. Nongkrong di warung depan stasiun, menulis, juga ngopi. Beberapa tulisan saya lahir di warung kelas rakyat itu.

Kini, saya seperti tersesat. Pusaran pasien, gelisah waktu yang terburu, bayang hitam janji-janji yang tak terpenuhi. Janji saya pada diri sendiri. Juga janji mereka, orang-orang yang meminta saya hadir di kota ini.

Saya ingin pulang. Tapi kemana?

Kenangan, Ketidakabadian

Saat kereta api memasuki Surabaya, hatiku penuh gairah. Berbagai kenangan memenuhi kepala.

Ah, betapa aku kangen pada kota ini, Surabaya yang kutinggali hampir 7 tahun lamanya. Aku melalui jalan-jalan lama itu dengan penuh antusias. Padahal baru sekitar 9 bulan aku meninggalkannya. Wajah-wajah kota, bersama dengan kenangan yang tersisa bermunculan. Membuatku terasa bebas dari rutinitas hidup di Purwokerto.

Namun bukan itu misi utamaku. Hari ini aku mengunjungi seorang guruku yang tengah sakit. Prof Budi Susetyo Juwono, SpPD, SpJP(K). Seorang Profesor yang sangat baik kepadaku. Salah satu orang pertama yang mengucapkan selamat saat tulisanku dimuat Jawa Pos. Lantas kadang dipanggilnya aku, dan kami berdiskusi tentang kehidupan. Bahkan kami juga bertukar buku. Satu hari aku menghadiahkan “Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai” karya Goenawan Mohamad, dan beliau memberiku “Para Pecinta Tuhan.”

Aku ingat, salah satu kisah favorit beliau adalah tentang filsafat di balik kisah perang Baratayuda di padang Kurusetra. Betapa nurani manusia ibarat kusir kereta, yang harus mengendalikan nafsu. Satu hari Prof pernah memberikan sebuah lukisan kecil untukku..

Kini kulihat beliau terbaring. Rapuh. Tak berdaya. Baru saja lepas dari alat bantu napas. Tubuhnya yang dulu tinggi besar jadi mengecil. Otot betis melayu. Nafas yang memendek. Mata yang sendu itu menatapku. Ingatan yang mulai pudar.
“Yusuf ya?”
Aku mengangguk, mencium tangannya.
“Nggih Prof. Yusuf. Dalem saking Purwokerto Prof. Khusus menengok Prof.”
Beliau terdiam. Mataku basah. Aku menangis dalam diam. Gerimis di luar. Aku tak sanggup melihatnya berlama-lama.

Keluar dari RS, wajahku tak secerah saat memasukinya. Diam-diam aku mencoba mencari jejakku di jalanan kota. Kumasuki gang yang melewati rumahku dulu. Tukang becak yang sama masih mangkal di depan gang. Rumah-rumah yang sama. Penjual pisang goreng yang tak berbeda. Mereka yang memutuskan untuk menua, lantas mati di satu tempat.

Itulah sebabnya dulu, satu saat dalam periode hidupku, aku pernah ingin jadi seorang pengembara. Seperti sajakku untuk seorang teman lama.

mau kemana lagi?
entah.
tuhan di langit diam saja.
kau kawin, beranak dan berbahagia.
aku juga bisa, pikirku.
berhenti di telpon umum, kujual motor tuaku, juga harga diri.
aku kawin, kerja, beranak, dan kata orang : berbahagia.
tiap kali kupandang langit, gunung dan jalan raya.
terasa maut menungguku di pojokan kamar mandi itu.
so, tak pernah aku berhenti
kusongsong ia kemana aku pergi
motor menderu, udara subuh dingin membeku
impian berlari sepanjang jalan

Ah, tiba-tiba aku ingin pulang. Di sini, aku dihimpit kenangan. Didera ketidakabadianku sendiri…

Empat Pertanyaan Tentang Aritmia pada Mitral Valve Prolapse (MVP)

1. Seberapa sering aritmia terjadi pada pasien MVP?
Beberapa studi menunjukkan angka prevalensi yang berbeda. Premature atrial contraction (PAC) muncul pada 35-90% pasien, Supra Ventrikel Takikardi (SVT) pada 3-32%, Premature Ventricular Contraction (PVC) pada 58-89%, sedang PVC kompleks pada 30-56% pasien.

2. Apa arti PVC pada seseorang?
PVC memiliki nilai prognostik yang sangat bervariasi. Mulai dari tak bermakna, hingga dihubungkan dengan peningkatan resiko ventrikel takikardi (VT), juga sudden cardiac death (SCD). Terutama pada pasien-pasien tertentu. Contoh adalah pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. Monomorfik VT sering dimulai dengan adanya PVC multipel. Begitu pula pada pasien paska infark miokard, kardiomiopati, serta gagal jantung. PVC memang dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya VT. Bagaimana dengan pasien normal dengan PVC? Data yang ada saling bertentangan. Satu studi menunjukkan peningkatan tingkat mortalitas, sedang studi yang lain tidak.

3. Apakah resiko Sudden Cardiac Death(SCD) pada MVP meningkat?
Hubungan antara MVP dengan SCD tidaklah jelas. Beberapa studi menunjukkan kalau MVP berhubungan dengan meningkatnya kejadian SCD. Tetapi, Ventrikel Takikardi(VT) dan SCD juga bisa muncul pada pasien tanpa kelainan jantung. Sebuah laporan pada tahun 1987 menunjukkan bahwa angka kejadian SCD pada MVP sangatlah jarang, berkisar 1.9 % per 10.000 pasien per tahun. Studi ini juga menunjukkan bahwa tingkat resiko SCD meningkat seiring beratnya mitral regurgitasi.

4. Apa yang harus dilakukan seorang pasien MVP dengan PVC?

Pertama, dengarkan kata-kata kardiologmu. Ia akan menjelaskan secara medis apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Kedua, jujurlah pada dirimu sendiri. Selalu ikuti kata hati. Bukan kata-kata orang lain. Sering-seringlah bertanya pada diri sendiri, ‘Apakah ini hidup yang sungguh2 kuinginkan?’

Ketiga, jangan ada penyesalan. Jangan takut untuk mencoba. Jangan takut untuk berkata jujur.

Keempat, tebarkanlah kasih sayang. Pada siapapun. Meskipun ia orang tak dikenal yang duduk bersama saat menunggu giliran untuk bertemu dokter.

Kelima, jalani tiap hari seakan hari ini hari terakhir. Syukuri dan nikmati tiap detikmu. Hiduplah di masa kini. Bukan kegelisahan masa depan, apalagi beban masa lalu.

Itu saja.