Really proud…

Hari ini, kedua bidadari kecilku, Cinta dan Lintang menyelesaikan puasa penuh mereka. Hingga adzan magrib.

Sebenarnya Cinta sudah memulai puasa Ramadhan sehari penuh tahun lalu, namun tetap saja aku bangga padanya.
Seingatku, saat aku kelas 4 SD dan belum genap 9 tahun, sangat jarang aku dengan sadar bertahan hingga magrib.

Di saat libur puasa, aku lebih senang bertelanjang kaki mengejar kereta tebu yang bergerak pelan, melolos batangnya (mencuri sih sebenarnya 🙂 ), lantas lari saat pengawas memakiku. Kemudian diam-diam, bersama Din, teman sepermainanku yang pernah jadi TKI di Malaysia, menggigiti kulit dan memamah batangnya yang manis di tengah sawah berlatang senja..

Apalagi saat aku seumur Lintang, yang kini baru masuk kelas 1 SD dan belum pula 7 tahun. Di usia semuda itu, ia dengan sadar menahan lapar dan haus yang tentu saja sangat menguji. Sore kemarin aku pulang dari RS dan memeluknya. Ia baru saja bangun tidur saat kutanya, “Lapar nduk?” Ia menggeleng lemah. Lintang diam-diam telah memiliki kebijakan untuk tidak mengulang pikiran “lapar” dalam kepalanya, agar rasa lapar itu bisa ditaklukkannya.

Dalam banyak hal, mereka jauh lebih baik dibanding aku. Cinta telah pula menyelesaikan berbagai novel. Bahkan yang terakhir, Hafalan Surat Delisa karya Tere Liye, sebuah buku yang diberikan mahasiswa FK Unsoed untukku, dihabiskannya hanya dalam 2 hari. Dua hari yang berderai air mata..

Really proud of you girls..

Terima kasih ya Allah. Begitu banyak nikmatmu yang kulupakan…

Aku Ingin

Aku Ingin, oleh Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..

Beberapa tahun yang lalu, seorang sahabat, seorang ibu dari lelaki kecil bernama Elan, pernah mengirimkan album ini padaku. Ia, yang tak pernah bertemu denganku secara langsung, mengirimkannya begitu saja. Tanpa pretensi apapun. Tanpa maksud apapun. Selain memberi. What a great teacher..

Sebelumnya telah pula dikirim buku-buku yang menurutnya patut kubaca. Buku-buku yang menurutnya akan menginspirasi. Dan tumbuhlah aku, hingga hari ini. Tumbuh cukup besar dan tinggi, hingga bisa pula berbagi.

Terima kasih kepada sahabat lamaku, dimanapun kau berada kini.
Terima kasih pada Pak Sapardi yang membiarkan sajaknya merasuki diri.

Terima kasih kepada Tuhan dan alam semestanya yang telah membiarkanku hidup, membiarkanku belajar, mencintai, dan berbagi. Lantas tumbuh dan belajar menjadi daun. Daun yang kuharap tetap menyuburkan tanah saat ia layu, gugur dan mati. I wish I could be that leaves..

Maafkan aku Tuhan, karena banyak yang belum bisa kulakukan. Terima kasih.

Aku ingin.

Akhirnya Aku Memilih.


Setelah beberapa bulan tinggal di kota ini, akhirnya aku memilih. Dan itu karena Cinta, gadis kecilku yang pertama jatuh sakit. Demam.

Ia, yang secara emosionil sangat dekat dan mirip denganku adalah salah satu penghubungku dengan masa depan. Entah kenapa. Dan itu telah terbukti.

Tiap kali ayahnya menghadapi ujian hidup, tiap kali pula ia sakit. Dan sakitnya itu adalah pertanda, adalah peringatan untuk ayahnya, untuk pasrah dan meyakini bahwa segala sesuatu telah diatur, dan tidak ada gunanya merengek dan menangis. Seakan ia berkata padaku, “Pak, lakukanlah apa yang kau bisa lalu biarkan Allah yang memutuskan. Karena Allah memberi yang terbaik. Selalu.”

Dulu, persis satu hari sebelum aku ujian masuk spesialis, aku sangat gelisah. Namun Cinta tiba-tiba demam tinggi. Tanpa ba-bi-bu. Padahal waktu kami berangkat ke Surabaya ia sangat sehat. Tengah malam itu ia seakan ikut prihatin dengan suasana hati dan ujian hidup ayahnya. Tak lagi sempat belajar, aku malah begadang menjaga gadis kecilku itu. Namun, alhamdulillah aku tetap lulus. Padahal aku bukan alumni Surabaya, jadi tak kenal pada siapapun dokter senior yang mengujiku hari itu.

Kini, ujian hidup yang kuhadapi adalah tentang keberadaanku di kota ini. Sungguhkah hidupku akan lebih bermakna jika aku menetap di sini? Haruskah aku pergi?

Akhirnya, aku melakukan usaha terakhirku. Surat itu kulepaskan dan kuserahkan. Terserah apakah mereka akan memperjuangkan atau tidak. Jika Allah menghendaki, maka akan dilancarkanlah segala urusanku di kota ini. Rezeki, karir, kesehatan, kebahagiaan.
Sedang jika tidak, maka akan dialihkannya jalan hidupku ke tempat lain. Dimana Allah telah pula menyediakan segala sesuatunya.

Segala sesuatu adalah milikMu. Aku cuma ‘nunut’ saja.

Ah, kurasa sudah saatnya aku melakukan hal-hal yang benar. Kini, segalanya kukembalikan padaMu. Enam bulan hidup adalah waktu yang singkat. Bukankah Kau bilang aku harus bersiap, bergegas? RinduMu sungguh tak bisa kutebak…

Pengembara

Malam ini, tiba2 aku bangun, dan aku disadarkan pada ketidakabadian dan kefanaanku sendiri. Ah, betapa selama ini aku sering dengan sengaja melupakannya.

Padahal, sudah seharusnya tiap keputusan yang kuambil juga didasarkan pada fakta tersebut. Karena sesungguhnya yang pasti itu cuma satu : kematian. Sedang kemalangan, sakit, keberuntungan, kesuksesan, menjadi kaya ataupun miskin di masa depan, semua itu hanya ilusi.

Masalahnya, aku tak tahu kapan aku akan mati. Ia bisa saja datang besok, lusa, seminggu, sebulan, tiga bulan, enam bulan, atau setahun lagi.

Nabi Muhammad sendiri memilih sikap yang jelas. Beliau tak pernah menumpuk harta, dan menganjurkan pada keluarganya untuk memilih sikap yang sama. Persediaan pangan beliau tak pernah lebih dari sehari. Karena beliau yakin, bahwa tiap hari memiliki rezekinya sendiri.

Satu hari Rasulullah tidur di atas tikar yang menimbulkan bekas guratan lambung di lambungnya. Beberapa sahabat berkata, “ Wahai Rasulullah, bagaimana jika engkau izinkan kami agar kami menghamparkan di bawah engkau yang lebih empuk dari tikar itu?” Beliau menjawab,

“Apa urusanku dengan dunia? Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan dunia seperti pengembara yang berjalan pada hari yang terik dibawah sebuah pohon, kemudian tiba waktu sore dan ia meninggalkannya.”

Gadis kecilku, Cinta, memiliki sebutan Zahida di ujung nama lengkapnya. Artinya adalah perempuan yang zuhud. Zuhud itu sendiri punya banyak definisi. Salah satu yang paling kusukai adalah :

tidak sedih saat ditinggalkan dunia
tidak senang saat mendapat dunia
tidak disibukkan oleh dunia hingga lupa kepada Allah

Akhir-akhir ini aku merasa, bahwa ternyata kesibukan duniawi di Purwokerto telah menenggelamkanku. Dan aku jadi lupa pada prinsip zuhud itu. Yang bahkan ingin kuwariskan pada anakku.

Terima kasih ya Allah karena malam ini Engkau telah mengingatkanku kembali. Betapa kasih sayangmu tak terbatas luasnya. Kuharap, begitu pula dengan samudra ampunanmu.

Amin.

foto merupakan hak milik :

Aku vs Steve Jobs

Malam ini aku berangan, kapan ya aku bisa sesukses kawanku-kawanku? Seperti dr Wiku Andonotopo, PhD, SpOG di Tangerang dan dr Kurniawan Andy S SpOG di Tanjung Selor…. 🙂

Setelah melantunkan doa yang ‘setengah memaksa’ kepada Tuhan, aku pun beranjak tidur. Sayang kantuk tak kunjung datang.

Kupegang buku “Presentation. Secret of Steve Jobs” tulisan Carmine Gallo. Bagi yang belum tahu, Steve Jobs adalah pendiri Apple yang memproduksi Macbook, Iphone dan Ipad. Dan ternyata aku dihajar habis-habisan olehnya.

Pukulan pertama : Steve Jobs berkata,

“You’ve got to find what you love. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do.”

Ditimpali pukulan kedua oleh Chris Gardner(tokoh nyata film Pursuit of Happines) yang menurut Carmine Gallo pernah mengatakan bahwa alasan utama mengapa ia sukses adalah,

“Find something you love to do so much, you can’t wait for the sun to rise to do it all over again”

Terakhir adalah pukulan telak dari Steve Jobs.

“I was worth over a hundred million dollars when I was 25, and it wasn’t that important, because I never did it for money. Being the richest man in the cemetery doesn’t matter to me. But, going to bed at night and saying we’ve done something wonderful, that’s matter! ”

So, the conclusion is : “Do what you love, love what you do, never do it for money.”
Because, sambung temanku dr. Emil Parapat SpJP, “Sure, money will come…”

Amin… 🙂 (isih ngarep jebule..)

Rock and Roll Never Dies..

Malam ini, alih-alih membaca buku, visite pasien di RS, tidur atau menulis, saya memilih menonton konser sebuah band musik Rock berjudul : KOTAK. Tentu saja kegiatan ini tak disengaja, insidentil, intuitif.  Band ini memang tengah naik daun, bahkan terpilih sebagai Grup Rock Terbaik dan Album Rock Terbaik AMI 2009. Selain itu mereka juga diganjar sebagai Most Favourite Breakhtrought Artist 2009 dari MTV Indonesia Awards. Namun dalam mindset saya, KOTAK belum cukup dewasa bagi orang yang seangkatan dengan Fadly “Padi” seperti saya.

So, alasan utama mengapa saya menonton konser ini adalah karena saat ini saya masih ‘sorangan wae’  di Purwokerto. Anak istri tercinta masih di Surabaya. Tapi karena kata teman tak ada yang kebetulan dalam hidup, maka acara ini pastilah mengandung  makna tertentu.

Dan ternyata ia benar. Gusti Allah menaruhku di GOR Satria Purwokerto karena Ia ingin membuka mataku. Setidaknya untuk berkaca bahwa di dunia ini ada orang-orang yang bisa membius ratusan manusia, membuat mereka trance selama hampir sejam, dan sedih bukan kepalang saat pertunjukan berakhir.

Dulu, saat saya masih sedikit lebih muda 🙂 , saya pernah menonton beberapa band papan atas Indonesia. Tapi rasa-rasanya kok tak sesyahdu dan segarang ini. Contoh hawa syahdu menjalar saat Tantri sang vokalis berbisik”Tik tik tik, waktu berdetik, tak mungkin bisa kuhentikan..”(Masih Cinta). Namun berubah garang saat lagu2 keras diteriakkannya dengan suara serak melengking. Ia didampingi Chua, sang bassist yang malam tadi mengaku-aku jomblo. Sedang Cella dan Posan, meski tampil prima, tampak lebih low profile dibanding kedua rekan gadisnya.

Paduan dua dara manis itu memaksa penonton yang sebagian besar laki-laki muda bersorak, meloncat, diam dan teriak tiap kali sang vokalis menyuruh. Saya yang merasa agak “senior” jadi agak tersingkir ke pinggir. Pingin juga sih meloncat-loncat seperti para yunior itu, tapi takut nanti harus minum NSAID agar hilang pegal-pegalnya. Lagipula sempat ada rasa malu. Bagaimana nanti kalau ada anak-anak koass Unsoed atau UPN yang menonton konser? Apa pendapat mereka tentang spesialis jantung yang ikut  meloncat-loncat di depan panggung?

Tapi sekali lagi, karena tak ada yang kebetulan dalam hidup, sedikit keterpinggiran saya di konser itu ternyata membuat saya berjarak dengan massa. Hingga sempatlah saya mengamati psikologi hingar bingar ini. Psikologi massa.

Laksana pemimpin tarekat, Lagu-lagu KOTAK membawa para penonton dalam doa bersama yang kompak dan tertib. Dzikir akbar yang khusyuk. Setiap kata diamini. Setiap teriakan disambut. Setiap lompatan berbalas.

Lagu2 berjudul Selalu Cinta, Kosoeng Tujuh, Pelan-pelan Saja, Masih Saja, dan beberapa lagu lain yang tak saya hafal meledakkan ruang terbuka dalam GOR Satria Purwokerto. Ritual ini mencapai puncaknya saat pagar lapis polisi jebol oleh penonton tak berkarcis, dan KOTAK tengah menyanyikan lagu penutup : “Beraksi”.

Tantri, sang dewi pujaan pemimpin umat Kerabat Kotak itu bernyanyi penuh energi. “Hei! Yang ada di sana, semua bernyaryi.. Hei! Yang ada di sini, semua hepi.. Beraksi..” Dan pengikutnya dengan taklid dan patuh teriak dalam bahasa yang sama.

Rock n Roll never dies. I’m sure about that!

 

Kebahagiaan adalah hari ini.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Saat aku duduk di beranda belakang rumah dinas, membaui harum tanah meruap ditimpa gerimis, menghayati dingin menembus tulang.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Saat mendung menggelayut di Purwokerto, mobil tua yang kubiarkan kehujanan di luar rumah dengan AC macet dan jendela otomatis tak bergerak.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Saat anak-anak mandi menjerit-jerit tak usai, bermain sabun, mencoba mencuci celana dalam mereka sendiri.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini.  Saat rumah kosong tak berperabot. Tak bermeja tamu, ranjang, kulkas dan mesin cuci. Bahkan tak satupun kursi.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Mendung ini. Gerimis ini. Saat tahu engkau ada di sini bersamaku. Mencintaiku. Itu saja.

Terima kasih istriku..

Tulisanku 19 tahun lalu..

Menjelang Lebaran.

Seperti kebanyakan orang, hari2 ini aku pulang ke rumah. Namun entah kenapa malam ini aku naik ke kamar atas, dan melihat tumpukan buku2 lama di lemari.

Satu di antaranya terlihat sangat tua. Menguning. Halaman yang rapuh. Tulisan lama mengabur. Namun masih bisa terbaca. Mencampur aduk rasa.

Aku tak tahu aku menuliskannya dimana, tapi sepertinya di rumah dinas Ibu yang lama di Sukodono, Kendal, Jawa Tengah. Lebih 19 tahun lalu. Sepotong sumpah serapah. Sebait puisi. Saat aku masih begitu muda belia. 16 tahun.

Kamis, 4 Juli 91 di Kendal

Hari terus kulalui tanpa arti. Aku malu pada diriku sendiri, dan Tuhan. Yusuf Suseno hidup tak bersandar pada Gusti, tapi pada nafsu.

“Kemuliaan terbesar bukan pada duniawi, tapi pada jiwa yang terbebas dari nafsu duniawi”

Hidup sebagai seorang manusia sangat sulit. Lebih dari sekedar berkata-kata.

Di sini ada sedikit jeda. Ruang kosong. Lantas sepotong sajak.

Doa

Gusti,

jadikan aku seorang manusia

19 tahun kemudian, aku berkaca.

Terasa tulisan pendek itu masih saja berlaku. Sungguh. Kau benar Gusti Allahku. Kau selalu. Demi waktu, sesungguhnya manusia adalah mahluk yang merugi..

Belasan tahun telah berlalu, dan terbukti aku masih belum jadi apa-apa. Jiwaku belum hijrah. Kemuliaan itu masih sangat jauh di tanah antah berantah. Dan aku belum beranjak kemana-mana…

Ya Allah Gusti, mulai Ramadhan ini, perkenankan aku untuk berlari..

padaMu..

Amin.

Warna dan Doa

Tulisan dan gambar almarhum Eyang Eni, aku cuma kebagian  mewarnai. Saat itu aku masih 5 tahun. Kurasa lebih bagus warna anakku kini.. 🙂

Ada satu adegan masa kecil yang masih kuingat hingga kini. Satu hari, seseorang menggendongku. Mungkin Bapak. Dibawanya aku masuk ke ruang tamu rumah Karangayu yang reyot. Atapnya yang begitu rendah, dengan plastik yang melapisi genting agar tak bocor.

Di sana, di atas meja panjang, ada sebuah peti mati kayu. Bapak menggendongku mendekat. Lantas dibukanya kain jarik penutup. Kutatap wajah tirus yang terbaring di sana. Lantas kudekatkan(atau didekatkannya ?) wajahku padanya. Kucium pipinya yang dingin. Keriputnya yang nyata. Di saat itu aku tahu, Eyang Eniku takkan pernah kembali bermain denganku.

Bapakpun kemudian menggendongku, menjauh sambil menghiburku. Entah apa. Mungkin ia ingin berkata, jangan menangis ya Nak.. Tapi aku tak menangis. Karena aku tahu, Eyangku, meski sudah tak bermain secara wadag denganku, ia masih ada di sana. Kusimpan dalam lipatan  kenangan masa lalu. Di sana, Yusuf Suseno kecil masih selalu dimandikannya,  lantas  memegang telinganya yang kendur saat menjelang tidur…

Setelah bertahun lalu, barulah aku tahu apa yang telah dialami oleh Eyang Eniku. Betapa meski harus kehilangan suami, lantas jatuhnya ekonomi keluarga, tak membuatnya berhenti berjuang, menghidupi, dan terus mendorong  putra-putrinya untuk menjadi ‘sesuatu’.

Lewat tulisan di dunia maya ini, aku cuma ingin titip doa padaMu. Ya Allah, ampuni, rahmati, peluk dan penuhi Eyang Eniku dengan kasih sayangmu…

Juga ampuni, sayangi, peluk dan hangati Eyang Soesatyoku. Aku tak tahu, tapi pastilah hari-hari terakhirnya sangatlah sunyi. Sangatlah sepi.

Kini, jangan biarkan ia dalam sepi. Dimanapun jasadnya kini, jangan biarkan jiwanya sendiri ya Allah Gusti. Berikanlah cahayaMu untuknya..

Amin.

Percakapan Tahun Ke-35

9 April 2010. Layar dibuka. Berlatar gelap, tampak dua buah topeng melayang-layang di panggung yang kosong.

Suara dari jauh (berbisik) :

kau benar. kini sudah 35 tahun.
dan aku belum jadi apa-apa.
belum cukup besar untuk jadi manusia.
belum cukup bermakna.

Topeng 1 :

Kawan, coba kau lihat hidupku.Secara duniawi tak ada yang bisa kubanggakan.Rumah masih ngontrak. Pekerjaan tak jelas. Sekolah belum kelar. Mau tinggal dimana tahun depan? Pertanyaan itu masih belum terjawab juga.Tingkat spiritual? Minus.Tingkat kebijaksanaan? Underground. Tingkat frustasi? High!
Kulihat catatanku di bertahun-tahun lalu. Target-target itu belum tercapai. Aku ternyata baru sampai di sini.
Berhenti di Surabaya.

Topeng 2 :

Ok. Fakta yang kau ceritakan memang nyata. Tapi tunggulah barang sebentar wahai kawanku. Kenapa kau selalu bilang baru, dan tidak bilang, sudah sampai di sini?
Kenapa tidak bilang, sudah sampai di Surabaya?
Memang, ada hal-hal yang kita inginkan di waktu dulu, yang ternyata belum kita temui. Belum jadi bagian dari takdir hari ini.
Tapi esok?
Lagipula, siapa yang tahu apa yang terbaik bagimu?
Siapa yang tahu waktu tertepat untukmu?

Topeng 1 :

Hmm. Entah kawanku. Tuhan mungkin?

Suara dari jauh (berbisik) :

kau benar. sudah 35 kini. dan aku belum jadi apa-apa.
tapi itu tak begitu penting kurasa.
setidaknya aku masih hidup. masih bisa menulis keluh kesah ini.
masih bisa bertemu denganmu.
mungkin memang belum cukup besar dan bermakna.
tapi, sesungguhnya, apa arti besar dan bermakna itu kawanku?
“Segala sesuatu dimulai dari pikiran Pak,” bisik Cinta, gadisku yang terbesar.
dan ia benar.

Layar ditutup.

-foto dua wajah topeng dari : KFK Kompas

Perjalanan Ke Manila (1) : Surabaya-Changi

Aku menulis catatan ini di atas pesawat Silk Air dari Surabaya ke Changi. Ya. Changi, Singapura.

Ndeso memang, tapi ini memang jadi perjalanan pertamaku ke luar negeri. Tentu saja selain ke Timor Leste saat bertugas untuk UNICEF beberapa tahun lalu.

Tapi 10 tahun lalu aku tak memerlukan paspor.  Keadaan tengah genting.  Pengungsi berseliweran dimana-mana. Aku pergi ke NTT dan Timor Leste untuk menolong dan mencari nafkah.

Kini berbeda. Aku pergi untuk menyampaikan sesuatu di World Conggress of Echocardiography di Manila, Filipina. Kumpulannya para pakar ekhokardiografi dunia.  Dan itu semata karena hasil risetku tentang ekhokardiografi pada pasien-pasien mitral stenosis. Duh, memikirkannya membuatku merinding. Betapa kecil ilmuku dibanding para ahli yang nanti duduk di sana. Menatapku..

Bismillah. Bismillah…

Perjalananku dimulai dari membuat  paspor, mengurus  NPWP, lantas menunggu travel agent mendapatkan tiket dan akomodasi.  Dan tentu saja meminta restu.

Seperti kata Ibnu Athaillah, aku hanya mengikuti takdirku. Dan tangan Tuhan selalu hadir tiba-tiba tanpa dinyana. Mengagetkanku malah. Semua terjadi di luar kuasaku untuk mewujudkannya. Terima kasih pada guru-guruku…

Tapi terbang ke Singapura dengan Silk Air, lantas bersama Singapore Airlines ke Manila jelas di luar segala harapanku saat menjadi dokter umum dulu. Siapa menyangka, seorang dokter dari desa Grabag yang berumah di tengah sawah dan gunung bisa terbang ke luar negeri.

Yah, kau benar. Hidup penuh rahasia. Dan kini, saat aku menulis  tulisan ini di atas pesawat yang sebentar lagi mendarat di Changi, aku satu persatu mulai membuka rahasia yang disediakan Allah untukku. Kini, doaku makin sederhana.

Ya Allah, berikanlah kekuatan padaku untuk terus bergerak menuju ridhaMu. Janganlah Kau beri aku beban yang tak bisa kutanggung. Amin.

I’m Indonesian..

Ada hal-hal yang menjadi rahasia Allah. Kita tak tahu apa yang direncanakanNya. Tiba-tiba saja :
SURPRISE !!!
Aku ternganga. Terima kasih Ya Allah… Berilah petunjuk dan kuatkanlah…
Amin.
Tapi kenapa aku tiba-tiba menjadi warga negara Malaysia ya? 🙂

Seribu Rupiah di Satu Senja

Kemarin senja Surabaya mendung. Sebagian hujan. Kularikan motorku agak cepat, mengejar rintik. Dekat perempatan jalan Kertajaya, lampu kuning mulai memerah di kejauhan. Di sampingnya, seorang Bapak tua menjual koran. Biasanya yang dijual adalah koran pagi yang beritanya sudah agak kadaluwarsa.

Satu yang agak berbeda, ia memakai ‘kruk’. Salah satu kakinya cacat, tak ada.

“Pak, minta korannya nggih,”kataku dalam bahasa jawa. “Kompas atau Jawa Pos ada?”

“Nggak ada Mas. Adanya Surabaya Post.”jawabnya. Meski tak biasa membaca Surabaya Post, rasanya kasihan juga pada Bapak tua ini kalau  tak jadi beli.

“Tiga ribu to Pak?” Aku mengulurkan uang 3 ribu. Ini berdasar asumsiku bahwa harga JP or Kompas biasanya turun di sore hari.

“Nggak Mas. Dua ribu cukup.” Ia hanya mengambil dua ribu rupiah dari tanganku  sambil tersenyum. Wajahnya terlihat senang karena korannya terbeli.

Kalimat itu pendek, tapi bagiku cukup bermakna.

Seribu rupiah, bagi Bapak tua itu adalah makna kejujuran, harga diri, dan rasa syukur. Ia tak membutuhkan lebih.

Normal Life..

Satu hari aku berkata pada seorang teman. “Back to your normal life..”

Tapi hari ini aku bertanya pada diri sendiri. Adakah hidup yang normal itu? Tidakkah sebagian besar peristiwa yang kini kita jalani adalah pilihan sadar?  Dan karenanya segala sesuatu yang terjadi adalah konsekuensi dari hal-hal yang kita pilih di masa lalu?

Kadang aku berpikir, kalau saja mesin waktu bisa kuputar, bagian mana dari hidup yang ingin kuubah? Jalan mana yang ingin kutempuh lagi, jalan mana yang ingin kuhindari? Sayangnya, jawaban pertanyaan itupun tak berguna. Cuma sekedar mengorek luka.

Akhirnya, mungkin memang tak ada  hidup yang normal. Sekaligus tak ada hidup yang tak normal. Yang ada cuma kini yang nyata. Setumpuk pilihan segera. Hidup cuma sekali. Untuk itu mesti berarti. Entah normal atau tidak, tak peduli.

Hanya saja, seperti kata Musashi

“Aku takkan melakukan sesuatu yang akan kusesali.”

Kapan aku sampai ke titik itu sensei?

musashi

Tentang Surga

Suatu sore, setelah ngobrol ngalor ngidul, termasuk tentang Pakde Ketut, tetangga depan rumah yang kadang pergi ke Pura, Cinta bertanya.

”Pak, apa orang-orang yang beragama Kristen, Hindu, dan Budha juga akan masuk surga?

Istriku terdiam. Memandangku, mencari bantuan.

Setengah berbisik aku bilang, ”Nduk, nanti saja kita bicarakan lagi. Biar Bapak pikir dulu.” Untunglah anak pertamaku sangat pengertian. Ia mengangguk. Duh, lega rasanya.

Pertanyaan itu juga telah lama tersimpan dalam pikiranku.

Oya, aku tentu saja bukan pakar agama. Bahkan pernah aku tersandung batu gara-gara tak sengaja mengutip ayat Gusti Allah yang tak kuketahui tafsirnya secara utuh.

Namun perbedaan pendapat antara mereka yang mendukung pluralisme agama, satu pemikiran yang kumaknai sebagai  ”Semua anak sungai, akhirnya bermuara ke laut jua” dan mereka yang menentangnya telah lama kuketahui.

Setelah bermenung ria dan mencoba mendengarkan suara hati, malam itu menjelang tidur, dalam temaram lampu ruang tengah yang menerobos pintu kamar, aku berbisik pada Cinta.

”Nduk,  menurut Al Qur’an dan hadits Nabi yang Bapak pernah baca, asalkan kita masih percaya pada Allah dan Nabi Muhammad, setiap muslim ’akhirnya’ akan masuk surga.”

”Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan muslim?” Aku berhenti sebentar, menarik napas panjang.

“Nduk, yang memiliki surga itu bukan kita, tapi Gusti Allah. Jadi ya terserah Allah saja. Biar Allah yang memutuskan. Gimana? ”

Anakku mengangguk dan tersenyum, wajahnya kelihatan marem pada penjelasan bapaknya.

Malam makin larut. Malam itu adalah salah satu tidur yang nikmat dalam hidupku.

-Ini jelas bukan foto surga. Ini foto di depan rumah dinas di Grabag, Magelang, saat Cinta masih bayi. Wonderful memory…-

10028

Pulang.

Masjid Agung Kendal

Pulang. Bagiku, pulang adalah langkah untuk memetakan dan memahami apa yang kulakukan hari-hari ini.

Termasuk sore kemarin, sehari sebelum Lebaran, saat aku shalat Magrib di Masjid Kendal setelah nyekar almarhum Eyang di makam Kuncen, Kalibuntu Wetan.

Sudah lebih 20 tahun berlalu. Saat-saat aku bersekolah di SMP 1 Kendal. Hari-hari ketika aku mulai belajar tentang tasawuf, dan tiap kali istirahat  siang, kubawa sarung untuk menyambanginya. Duduk dan merasakan dingin lantainya.

Ajaran Imam Ghazali begitu merasukiku. Terutama tentang seluk beluk zuhud. Aku ingat, aku pernah menulisnya di cermin. Zuhud, yang terdiri dari 3 perkara. 1. Tidak senang saat mendapat dunia. 2. Tidak sedih saat ditinggalkan dunia. 3. Tidak sibuk dengan dunia hingga lupa kepada Allah.

Kini aku telah begitu jauh. Selain nama anakku yang pertama, Zahida(perempuan yang zuhud), lelaku zuhud tak lagi berbekas dalam diriku. Dunia telah sungguh menelanku dalam-dalam.Terlalu dalam hingga kini harus berpikir dan bertanya.

Apa yang telah kulakukan selama 20 tahun ini? Benarkah telah sungguh bermakna? Bagaimana jika tidak? Akankah aku akan mendapat 20 tahun berikut?

Pulang. Sungguh aku ingin pulang…

The Funny Thing About Human Beings

* “What is the human being’s funniest characteristics?”

**”Our contradictoriness.
We are in such a hurry to grow up, and then long for our lost childhood.
We make ourselves ill earning money, and then spend all our money on getting well again.
We think so much about the future that we neglect the present, and thus experience neither the present nor the future.
We live as were never going to die, and die as if we had never lived.”

In my cases :
These years. almost everyday  I spend more than 12 hours  away from my girls, and then, when I’m getting older and should stay, may be my girls were at home no more.
No. I will let that happen no more.

(Like The Flowing River, Pulo Coelho)

Maafkan Bapak…

sabar pak..Cinta, maafkan Bapak karena Bapak sering marah padamu.

Maafkan juga bapakmu ini karena kadang Bapak  lupa, bahwa kau telah rela mengikuti perjalanan hingga ke Surabaya, padahal Cinta bisa saja tetap tinggal di kampung halaman.

Maafkan Bapak  karena sering  lupa menepati janji untuk meluangkan lebih banyak waktu denganmu.

Cinta, maafkan Bapak ya Nak, karena Bapak juga sering lupa bilang, bahwa Bapak menyayangimu.

Pak, biarkan aku bermain hingga basah Pak..

Ke Bontang lagi…

Akhirnya aku ke Bontang lagi. Februari ini saja. Tentang cerita dari sini, tunggu dulu ya…

🙂

Revolutionary Road dan Seven Pounds

revolutionary

Liburan 3 hari. Nonton Revolutionary Road dan Seven Pounds. Terasa ada kontinuitas di antara kedua film itu. Ada sesuatu yang ingin disampaikan Allah padaku melalui mereka.

Revolutionary Road (Leonardo Dicaprio dan Kate Winslet) mengisahkan tentang pasangan suami istri yang tengah mempertanyakan kemapanan hidup yang dimiliki, yang berujung pada kehampaan yang mengiris.

Sekali lagi, pertanyaan tentang comfort zone kembali muncul. Sungguhkah hidup yang kini kita jalani sungguh2 sesuatu yang kita inginkan? Tidakkah pilihan hidup yang kita ambil saat ini semata dipengaruhi karena rasa takut?

Frank Wheeler kecil dalam Revolutionary Road berkata, aku takkan menjadi salesman di Knox seperti ayahku. Tapi ternyata akhirnya pekerjaan itulah yang ia jalani. Dan itu pula yang terjadi di dunia nyata. Banyak dari kita menyerah pada keadaan, keterpaksaan, semata karena kita takut. Takut mengambil resiko dalam hidup. Akhirnya kita pun menjalani hari-hari tanpa senyum, sekadar rutinitas. Inikah hidup yang benar2 kuinginkan?

Persoalan yang sama kini tengah membuatku gundah. Aku melihat perjalanan hidupku, dan kusadari bahwa akhir2 ini aku beberapa kali mengambil keputusan yang aman. Tidak semata dengan hati. Tapi semata karena ketakutan, keinginan berlindung pada zona aman, maupun keengganan mengambil resiko.

seven_pounds

Dalam Seven Pounds, tokoh Tim(Will Smith), seseorang yang dihantui rasa bersalah dan karenanya memutuskan untuk mati, memberiku semacam pesan tentang cara memperlakukan hidup sebelum kematian. Ia memang ekstrim. Tim mendonorkan paru2 sebelahnya, lobus kanan hatinya, memberikan rumah, membagi sumsum tulang, dan akhirnya mati dengan membagi jantung untuk kekasihnya, selain kedua matanya untuk seorang teman.

Tim mengatakan padaku, bahwa sudah seharusnyalah kita memperlakukan hidup dengan baik, dan mempersiapkan diri menjelang mati. Karena satu2nya kepastian dalam hidup adalah : kematian.

Pengetahuan itu sudah lama ada tapi tak pernah sungguh2 disadari.

Satu saat, aku pasti mati. Sedang menjadi penulis, menjadi kaya atau miskin, masih di ambang pintu kata mungkin.

Satu2nya kebenaran, kata Komaruddin Hidayat adalah : tiap menit perjalanan waktu, makin dekatlah kita dengan kematian.

Dengan premis ini maka satu2nya hal yang perlu dipentingkan dalam hidup adalah mempersiapkan kematian yang baik. Atau dengan kata lain : membuat hidup kita sungguh2 berharga. Berharga untuk diri sendiri. Dan tentu saja di mata Allah, Tuhan yang Maha Lembut dan Bijak.

Seharusnya konflik batin akibat rasa takut mengambil resiko serta kecintaan pada kemapanan yang terjadi pada film Revolutionary Road tidak mendapat tempat dalam hidupku.  Setidaknya menurut kamus Seven Pounds.

What do you think?

Sore Terakhir

Di satu siang yang keruh, aku baru saja menyelesaikan shalatku saat lelaki tampan bersayap itu duduk di sampingku, sungguh-sungguh menatap. Matanya menelanjangi, memperkosa, mengiris, mencacah harapan hingga luntas.

”Saatnya sudah tiba. Bersiaplah.” Suara berat itu memaksa lututku jatuh, seketika merataplah aku memohon, ”Izrail, beri aku waktu. Hari ini saja.” Tangan mautnya berhenti di ujung ubun, sepersekian inci.

”Izrail, siang ini, hanya siang ini, ijinkan aku menemani anakku tidur. Memeluknya, membiarkan air mataku menyirami jiwa mungil yang sering kutinggalkan. Lantas ijinkanlah aku berbaring di dekat buah hatiku, menutup mata lelah, melupakan segala urusan kerja dan sekolah yang penat. Biarkan kami tidur pulas untuk bangun di sore hari sekadar mampir ke masjid dekat rumah, mengajari mereka berwudhu dan sholat jamaah.”

”Lantas ijinkan kami mampir ke toko depan gang buat beli es krim, dan biarkan kami menikmatinya sambil naik becak keliling kampung, merasakan angin yang mengacau halus rambutnya. Setelah itu wahai Izrail, tolong beri kami waktu untuk menatap keindahan matahari senja, membisikkan keagungan Tuanmu di telinganya. Dan saat kantuk menjelang, jadikan suaraku sebagai penutup hari, membacakan sebuah cerita sembari merasakan tangan mungilnya menyentuh pipi.”

Ia meringis. ”Sudah beratus kali kau ucapkan keinginan ini. Dan beratus kali pula kau ingkari siang, sore, senja dan malammu. Kau berikan mereka pada mahluk bernama : cita-cita, karir, dan uang!” Ia memalingkan muka. ”Ini adalah hari terakhirmu!”

Lega mendengar kata-katanya, kukemasi barang-barangku, kutitipkan pasienku pada dokter jaga di bangsal jantung, kukayuh sepeda onthel dan melaju keluar dari rumah sakit. Belum menyentuh jalan raya handphoneku berdering, seorang dokter muda berteriak di ujung sana,”Dok, pasien Dokter syok lagi!” Kembalilah aku terbirit-birit, berharap si pasien selamat.

Setelah suatu sesi tarik ulur dengan anak buah Izrail yang lain, aku berhasil.  Setidaknya untuk hari ini.  Semua selamat. Tapi saat kulihat isi dompet, ternyata uangku tinggal ribuan. Bagaimana bisa aku membeli susu untuk kekasih kecilku?

Uang. Uang. Uang. Aku butuh uang. Teringat tawaran kerja dari seorang kolega, akhirnya aku terus jalan menuju sebuah klinik, sekedar menggantikan praktek menyambung hidup. Langit makin tua saat aku pulang. Sampai depan rumah lampu gang terasa redup. Kubuka pintu kamar, buah hatiku sudah pulas bermimpi. Aku pun meletakkan tubuhku di sampingnya sambil mencoba mengingat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya kulakukan hari ini. Entah apa.

untuk kekasih kecilku. maafkan Bapak ya nak…

(juga sebuah tulisan lama)

Langit Senja dan Matahari, Musa dan Khidir

Udara penat lab cath (laboratorium kateterisasi) masih terasa dalam kepala saat kaki melangkah ke dalam angkutan kota. Aku ingin segera pulang ke rumah, meletakkan kepala dan tidur. Dua PCI kasus infark miokard akut, satu PTMC pasien mitral stenosis, dan satu kateterisasi diagnostik prolaps katup mitral dalam sehari sangatlah cukup untuk mencipta tumpukan laktat dalam ototku. Dokter Imam memang sudah masuk sebagai yuniorku di lab cath, tapi ia baru berusia 1 minggu di bagian invasif jantung. Jelas betisku masih harus bekerja keras.

Angkot yang kutumpangi kebetulan kosong, karenanya sopir menginjak gas dengan hemat, menembus senja yang meradang di langit. Akibatnya rasa kantuk menyergap.

Adzan magrib baru saja selesai saat mobil bobrok itu tiba-tiba berhenti. Dua sosok manusia, seorang perempuan dan bocah lelaki, masuk membelakangi matahari merah senja. Bau apek debu bercampur amis keringat menusuk hidung.

Perempuan itu lebih muda dariku, sekitar 30-an tahun. Namun wajahnya gelap tua, keriput menggurat dalam di kening. Sekilas matanya selelah mataku, tapi kelelahannya berasal dari jenis yang lain. Terasa ada yang kosong di sana, satu ruang hampa yang mungkin dulu berisi harapan.

Rambut ikal sebahu yang sebagian merah tak sehat jatuh di kedua pipi tirusnya. Baju kuning tua kusam, yang begitu mirip dengan baju lama yang kuberikan pada bekas pembantu di Bengkulu, robek di bagian bahu. Jemari berkuku kotor memegang erat dua lembar ribuan. Pas untuk ongkos. Mungkin satu-satunya uang yang ia punya.

Begitu mereka naik, mobil bobrok bergerak. Si bocah duduk tepat di depanku. Kakinya tak bersandal, hitam dibalut busik putih berdebu. Celana dan kaos gombrang lusuh membungkus tubuh teramat kurus. Aku tak yakin ia sekolah. Kalau ya, mungkin ia akan jadi murid terkecil di kelas satu SD. Tangannya memegang dua bungkus mi instant. Merek murahan, harga di warung cuma tujuh ratus lima puluh rupiah.

Merasa kuperhatikan, tiba-tiba bocah lelaki itu menatap mataku. Seperti gerak lambat film-film lama, bola hitam matanya terasa menembus dalam, menelan, membuatku tenggelam dalam buncah bersalah.

Belum usai dengan kejutan pertama, slow motion itu dilanjutkan dengan bunyi crik-crik pengamen mendekati kami, dilatari back light senja yang begitu jingga. Mata bocah lelaki berkelebat menjauh, mencari lamat-lamat suara cempreng di udara.

Seorang balita perempuan tiba-tiba saja nongol di pintu angkot, menyanyikan lagu usang milik Iwan Fals.
kemesraan ini, janganlah cepat berlalu…
kemesraan ini, akan kukenang selalu…
hatiku damai….

Masih tercekam dalam potongan adegan absurd itu, tanganku tak kuasa bergerak. Untuk melambaipun tidak. Lagi pula aku memang tipe rasional yang tak percaya bahwa memberi pengamen jalanan akan memperbaiki taraf hidup.

Namun tiba-tiba lagu berhenti dan keributan dimulai. Tangan perempuan itu menengadah, meminta mi instant di tangan bocah. Lelaki kecil bermata hitam menggeleng, menggumam tak jelas. Tak sabar tangan perempuan merebut tapi si bocah tak hendak mengalah. Mereka tarik menarik sepotong mi instan 750-an, seakan itu adalah harta terakhir yang paling berharga di dunia. Terdengar suara ’keretak’ patah potongan mi. Perempuan itu menang, melelehkan air mata bocah.

Adegan selanjutnya sangat menusuk hatiku. Diiringi pandangan mata basah bocah, diulurkannya sebungkus mi pada pengamen cilik itu. Satu-satunya senyum, tapi kurasa itu adalah senyum terbaiknya sepanjang hari ini, diberikannya pada gadis kecil yang bahkan bajunya jauh lebih bagus dari yang mereka pakai. Guratan keriput di dahinya sesaat menghilang, kilatan senja bahkan membuatnya hampir mirip seorang malaikat.

Tapi sesaat kemudian mata perempuan itu kembali kelam. Jemarinya mengelus lembut kepala bocah lelaki yang tersedu sedan, sembari tangan kecilnya menggenggam erat-erat mi instannya yang kini tinggal satu. Angkot berderak laju.

Otak yang tersumbat emboli membuatku tertinggal waktu. Tak menungguku bersiap, seakan untuk selamanya, tangan perempuan itu bergerak memencet bel di atap angkot. Kami bersitatap, mata lelah perempuan itu begitu hitam kelam, dilambari putih yang menghisap. Mobil berhenti, mereka bergegas turun. Dunia mapanku terguncang. Aku menggigil. Entah kenapa aku merasa kehilangan sesuatu. Seperti langit senja kehilangan matahari. Seperti Musa ditinggalkan Khidir*.

ditulis berdasar pengalaman seorang kawan, dr. Sri Hastuti.

*Khidir adalah seorang nabi, yang pernah diikuti oleh Musa dalam satu perjalanan. Tetapi Musa tidak sanggup bersabar, dan karenanya tidak lagi diijinkan mengikutinya.

(sebuah tulisan lama)

Memilih dan Menerima Takdir

pilihan

Beberapa hari lalu, aku merasa malu dengan sandal jepitku. Meskipun nyaman dipakai, ternyata ia sudah butut. Lantas masuklah aku ke Ramayana Bontang (swalayan terbesar di sini), kucari sandal baru yang menurutku, tampangnya lebih lumayan. Harganya tentu lebih mahal.

Tiga hari berlalu, ternyata sandal baru itu lebih berat dan permukaan talinya yang ‘keren’ membuat kakiku lecet.  Aku jadi mudah capek dengan sandal baru itu.

Sore ini, di depan kamar, entah kenapa mataku jatuh pada mereka berdua, lantas tersirat, bahwa Allah ingin aku berpikir. Lantas  belajar untuk menerima takdir.

Mengingatkan pada satu hal, bahwa apa-apa saja yang kita pandang baik, belum tentu baik menurut Allah.  Dan apa-apa yang dipandang jelek di sisi manusia, belum tentu jelek di sisi Allah.

Allah Maha Tahu. Kita tak tahu apa-apa.

Lapang dan Sempit

Ibnu Athaillah berkata,

“Allah melapangkan keadaanmu agar engkau tidak tetap dalam kesempitan, dan Allah menyempitkan keadaanmu agar engkau tidak terus dalam kelapangan. Dia melepaskanmu dari keduanya agar engkau terbebas dari segala sesuatu selainNya.”

“Bisa jadi Allah memberimu maka Ia menolakmu, dan bisa jadi Ia menolakmu maka Ia memberimu.”

Menangisi Lebaran Bersama Laskar Pelangi

Sepanjang film Laskar Pelangi diputar mata saya basah oleh air mata. Diam-diam saya menangisi keikhlasan Bu Mus, kesungguhan Pak Harfan, ketekunan Lintang, menangisi Harun yang terbata tapi gembira.

Lebih dari itu, saya menangisi diri sendiri. Saya yang masih saja merasa kurang di tengah kecukupan, yang begitu mudah tergoda dengan iming-iming materi, yang sedikit-sedikit menyerah pada tantangan. Saya juga menangisi anak-anak saya yang tak sempat diasuh guru seperti Bu Mus, menangisi kalimat Pak Harfan yang hari-hari ini jarang sekali saya temui. “Memberi sebanyak-banyaknya. Bukan meminta sebanyak-banyaknya.” Ah, adakah yang masih memegang erat kalimat itu dalam hati?

Menonton film Laskar Pelangi membuat saya makin sadar akan kerinduan yang membuncah. Kerinduan untuk pulang pada ketulusan, keramahan, kasih sayang, kesederhanaan, dedikasi tanpa pamrih, cita-cita, impian.

Tak terasa lusa Lebaran. Seperti yang lain, saya pun akan pulang. Beberapa pertanyaan yang mengganggu antara lain, apakah saya berani menemui mereka? Tidakkah saya sudah terlalu asing dengan semua itu? Lantas, beranikah saya membawa sekeping ketulusan, keramahan, kasih sayang dan yang lain saat kembali ke Surabaya nanti?

Semoga. Setidaknya saya berharap, saat menonton kembali film Laskar Pelangi, produksi air mata saya sudah jauh berkurang. Bukan karena bosan, tapi karena ada sebagian kebaikan Pak Harfan yang saya telah saya miliki. Tapi itu tentu tak mudah. Saya tahu kalau saya harus bekerja keras, mengumpulkan kelembutan hati di liburan Lebaran besok. Selamat berhari raya. Mohon maaf lahir dan batin.

Bidadari di Kesunyianku

Bidadari di kesunyianku.

Bidadari penyelamatku.

Terima kasih ya Allah. Dengan rahmatMu kau kirim mereka ke bumi…

Bali, Tengah Agustus 2008

Aku tak pernah memimpikan hal-hal ini. Sunset di Dreamland, parasailing di Tanjung Benoa. Tapi ternyata Ada Yang Menuliskannya… Terima kasih..  🙂 Baca lebih lanjut

Sebuah Pertemuan, Sekilas Ingatan Tentang Purworejo

Siang tadi, di sebuah seminar, sebuah pertemuan mengingatkanku pada sebagian mozaik masa lalu. “Darimana?”tanyaku. ”Purworejo.” Jawaban itu terasa lembut di telinga dan hatiku. Sungguh tak kusangka kalau di Surabaya, aku akan bertemu dengan seseorang yang akan menyebut nama kota yang pernah mengisi hari-hari masa kecil.

Akibatnya sisa hari iniku penuh dengan ingatan tentang perjalanan dari Semarang menuju Purworejo menjelang lebaran yang dulu sering kulakukan. Semata untuk menengok Simbah Putri, yang saat itu sudah begitu sepuh.

Itu adalah momen yang tak terlupakan. Karena tiap kali menuju ke sana, sering sekali Bapak menghentikan mobil tuanya, berhenti di pinggir jurang jalur Magelang-Purworejo. Tiap tahun kami tak pernah lupa, dan memang mudah sekali menemukan lokasi itu. Karena tempat itu adalah turunan paling curam sepanjang Magelang- Purworejo. Pemandangannya indah. Jauh di bawah sana tampak arus sungai mengalir deras di sela batu gunung.

Ibu, Bapak, aku dan adik lelakiku menggelar tikar, membuka bekal makanan, mengurai penat. Sungguh, aku ingin sekali bisa mengulang peristiwa itu.

Tiap lebaran tiba, saudara-saudaraku dari Jakarta sering sudah datang lebih dulu di rumah Simbah. Rumah Simbahku, seorang pensiunan pegawai PJKA, tampak tua. Tempatnya tak terlalu jauh dari alun2 dan gedung eks Sekolah Pendidikan Guru, terletak dekat dengan komplek sekolah dasar. Saudara-saudaraku dari Jakarta tampak percaya diri. Termasuk dalam menghadapi masa depan. Tapi setelah tahun2 berlalu, barulah aku tahu, bahwa tidak semuanya akan berakhir seperti yang kita ramalkan.

Malam2 di Purworejo adalah malam yang sunyi. Tapi masih lebih ramai daripada desa tempatku tinggal di masa kecil bersama Bapak dan Ibu. Kami, keturunan Martodihardjo, kadang berjalan menuju alun2 Purworejo, sesekali minum wedang ronde di bawah bintang. Pulangnya pun tetap jalan kaki. Berlari-lari di tengah jalan (jalan Pahlawan?) yang kadang terasa betul sepinya.

Habis sholat Ied di masjid besar, biasanya kami ke makam Simbah Kakung. Menabur bunga. Berdoa. Berharap malaikat tak segera menarik tangan lembutnya saat Ramadhan berakhir.
Pertemuan siang tadi mengingatkanku tentang sumirnya waktu, rapuhnya kita ditelan masa. Sekaligus indahnya masa lalu, serta masa kini yang harus betul2 kujaga.

Terima kasih pada kawanku. Juga pada semangat yang kau tunjukkan dengan datang ke pikuknya Surabaya, jauh dari Purworejo yang hening. “Semangat, itu satu-satunya yang kumiliki saat ini.” Kalimat yang bagus. Mengingatkanku pada idealisme bertahun lalu saat memulai perjalanan ini.

Tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Pasti ada alasan mengapa Allah menciptakan pertemuan itu. Terima kasih.

Baju Pramuka dan Sampah

Di satu siang yang penat aku pulang ke rumah. Berliku memasuki gang, mataku terhenti pada sosok baju coklat pramuka yang berjalan payah ke depan. Seorang anak lelaki, mungkin baru berusia 16 atau 17 tahun, tengah bekerja keras menarik sebuah gerobak penuh sampah. Keringat penuh dan basah. Bau busuk menusuk. Aku merasa kasihan pada anak lelaki berbaju pramuka yang mesti bekerja dengan ribuan bakteri di punggungnya.

Tapi mungkin rasa kasihan itu tak perlu. Saat bersitatap, kulihat ada cahaya di matanya. Senyum tipis menghiasi wajah.

Anak lelaki itu sepertinya tak menyimpan lelah dan rasa sesal. Ia menikmati hidupnya.

Sedang aku? Saat itu pula aku tengah berpikir tentang beban hidup yang belum juga lapang. Tugas2 yang menumpuk. Uang bulanan yang tak jelas. Cita-cita yang masih jauh di awang.

Senyum anak muda itu membuatku merasa sedih. Mungkinkah ia merasa terjebak dalam pekerjaannya sekarang? Atau ia bahagia?

Satu hal yang jelas, mungkin Tuhan tengah mengirim lelaki muda itu agar aku bisa berkaca pada mata dan senyumnya. Hidup tak pernah seutuhnya mudah. Tapi toh ia harus diterima. Lain itu tidak.

Dokter juga Manusia

Aku memang tak sebaik Patch Adam dalam menghadapi pasien.
Tapi aku sudah berusaha mendekatkan diri pada pasien2ku.
Menyapa, bicara, menyentuh mereka.
Menjadikanku bagian dari semesta yang menyembuhkan.
Menyembuhkan seorang manusia.
Tapi kadang itu belum cukup.
Beberapa kali aku gagal.

Hari2 ini aku juga banyak membaca tentang sejarah cardiology intervensi, terutama coronary stenting.
’Dunia elit’ dalam ilmu kardiologi ini dimulai dari Gruentzig, Palmaz, dll.
Dan ternyata sejarah ilmu kedokteran sungguh2 dimulai dari ketidaktahuan.
Para perintis itu berjalan dalam gelap.
Mencoba yang terbaik, seringkali gagal.
Dunia intervensi koroner yang saat ini begitu canggih dimulai dari hal-hal yang sangat sederhana, tertatih-tatih bahkan.
Ia menjadi besar bukan semata karena keberhasilan menyembuhkan, dan kehidupan.
Tapi juga karena ketidakberhasilan. Kesalahan. Kegagalan. Kematian.

Dokter juga manusia.
Dan untukku, mungkin sangat manusia.
Tapi, kurasa sangat tidak lazim jika seorang dokter berkata,
”Ibu, saya akan lakukan usaha terbaik untuk menolong Bapak. Demi Allah saya berjanji.
Tapi bagaimanapun saya bisa saja gagal. Bahkan saya juga bisa melakukan kesalahan, meski kesalahan itu tak mungkin saya sengaja.
Jadi Ibu, apakah Ibu masih tetap mempercayakan perawatan suami Ibu pada saya? Atau Ibu ingin Bapak ditangani oleh dokter lain?”

Ketakutan akan tuntutan malpraktek kini tengah merasuki dunia kedokteran.
Sebagian dokter bahkan mengikuti asuransi yang menjamin pembayaran jika terjadi tuntutan pada mereka. Lantas, siapa yang harus membayar preminya? Pasien mereka juga.
Dunia kedokteran modern tak lagi ramah.
Beberapa dokter melihat pasien yang masuk ruang prakteknya dengan rasa waswas. Sebaliknya, sebagian pasien memandang dokter mereka juga dengan curiga.
Mereka berkata dalam hati, ”Bagaimana jika ia melakukan kesalahan?”

(tulisan lain tentang hubungan pasien dan dokter ada di sini)