TENGAH malam, seorang lelaki muda tergolek di tempat tidur IRD RSUD dr Soetomo. “Mas barusan dari luar negeri?” Dia menggeleng. “Pernah bertemu penderita flu babi?” Dia menggeleng lagi.
Kening saya mengerut, tercenung membaca surat rujukan dari sebuah RS di pesisir utara Jawa Timur. Suspect H1N1. Terapi: Oseltamivir 2 x 1 tablet. “Saya cuma karyawan di toko komputer,” gumam lelaki itu di balik masker penutup mulut.
Kerutan saya ternyata tak beralasan. Sebab, kecurigaan dokter spesialis paru yang mengirim pasien tersebut cukup akurat. Selang tiga hari kemudian, hasil hapusan tenggorok juga positif.
Begitu luaskah penyebaran virus flu babi di masyarakat? Tanpa perlu riwayat kontak dengan penderita flu babi atau bepergian jauh pun, tiba-tiba virus H1N1 bisa hinggap?
“Ya!” jawab ahli paru RSUD dr Soetomo Surabaya dr J.F. Palilingan SpP(K). Menurut dia, virus H1N1 sudah menyebar luas di muka bumi dan beranak pinak di masyarakat.
Itulah esensi sebuah kondisi pandemi. Secara ekstrem, jika hari ini seorang manusia menderita gejala flu, tak ada yang bisa menjamin dia bebas dari H1N1. Kecuali, sudah dibuktikan dengan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) hapusan tenggorok.
Kalau begitu, bagaimana dengan jutaan manusia yang bergerak saat arus mudik? Tidakkah itu berarti mempercepat penyebaran virus H1N1 ke daerah yang semula dianggap “bersih” dari virus tersebut? Atau, haruskah kegiatan mudik ditiadakan.
“Tentu tidak,” kata dr Laksmi Wulandari SpP(K), ahli paru lain dari RSUD dr Soetomo, sembari tersenyum. Jawaban tersebut tentu melegakan para perantau yang rindu rumah, termasuk saya.
Sebab, meski virus itu mudah tersebar, angka kematian karena virus tersebut sangat rendah. Berkisar 0,4 persen. Itu sangat jauh bila dibandingkan dengan angka kematian karena flu burung yang mencapai 60-80 persen.
Sebuah artikel di New England Journal of Med edisi Juli 2009 menulis kalimat pendek yang bernas tentang kondisi pandemi influenza hari ini, “Sesungguhnya, dalam 91 tahun sejak 1918, kita selalu hidup di era pandemi.”
Dasar pernyataan itu, virus flu babi yang kini menyebar adalah keturunan virus flu yang merenggut nyawa 20 juta penduduk dunia pada 91 tahun lalu. Selama masa tidurnya, ia tak pernah sungguh-sungguh hilang. Syukurlah, meski penyebarannya makin mudah sekarang, ia makin jinak kepada induk semangnya. Tidak seperti kakek buyutnya dulu.
RSUD dr Soetomo Surabaya, sebagai RS rujukan, hingga saat ini mencatat 123 pasien yang pernah dirawat karena kecurigaan flu babi. Delapan puluh lima di antaranya positif dan emapt pasien meninggal. Secara nasional, pasien yang positif terjangkit H1N1 sebanyak 1.097 orang dengan sepuluh kasus kematian. Itu masih lebih sedikit daripada Thailand yang mencatat 14.976 kasus dengan 119 kematian atau Australia dengan 35.095 kasus dan 155 kematian.
Kondisi pandemik yang mau tak mau harus diterima itu menuntut perubahan paradigma terhadap penanganan H1N1. Terutama, bagi pakar kesehatan, pemegang kebijakan, dan klinisi. Apalagi, bagi negara dengan sumber daya terbatas seperti Indonesia.
Sebab, penyebaran H1N1 sudah begitu luas. Dengan begitu, manfaat yang didapat dari perawatan di rumah sakit dan konfirmasi positif tidaknya seseorang menderita flu babi menjadi kurang bermanfaat. Apalagi, sebagian besar kasus berhenti pada kondisi sakit ringan yang tak memerlukan perawatan di RS. Penting diketahui, biaya pemeriksaan PCR untuk memastikan diagnosis H1N1 hampir Rp 1 juta tiap kali pemeriksaan.
Karena itu, sesuai dengan pedoman dari WHO dan Departemen Kesehatan, institusi kesehatan kini dianjurkan untuk memperkuat triase atau pemilahan kasus. Mereka yang mengalami gejala ringan dapat beristirahat, lalu diisolasi di rumah. Pasien dengan gejala sedang hingga berat dirawat di rumah sakit sembari dibuktikan ada tidaknya infeksi H1N1.
Pertanyaan yang sering timbul, apa yang harus dilakukan masyarakat? Menurut Depkes RI, cara efektif untuk mencegah tertular H1N1 adalah menjaga kondisi tubuh tetap sehat dan bugar. Yakni, makan dengan gizi seimbang, beraktivitas fisik/berolahraga, istirahat cukup, dan sering mencuci tangan dengan sabun.
Bagaimana jika kita terserang gejala flu seperti batuk, pilek, nyeri tenggorok, dan demam ringan? Haruskah kita minta obat antivirus H1N1 kepada dokter? Tidak. Anjuran terbaik adalah istirahat dan mengisolasi diri di rumah, minum obat flu, serta melakukan etika batuk dan bersin yang baik agar tak menulari orang lain. Tutuplah mulut dan hidung saat batuk dan bersin. Pakailah masker penutup mulut. Sering-seringlah mencuci tangan dengan sabun. Mereka yang mengalami gejala seperti itu termasuk kategori kasus ringan yang tidak memerlukan perawatan. Juga, tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan ada tidaknya infeksi H1N1.
Lain halnya jika gejala memburuk. Pemburukan itu sering disebabkan adanya koinfeksi dengan bakteri lain yang menyerang saat daya tahan tubuh terganggu. Yang rentan adalah bayi, usia tua, wanita hamil, penderita kencing manis, gangguan jantung, kelainan ginjal, kegemukan, dan penderita asma.
Gejala pemburukan yang paling sering terjadi adalah sesak napas dan demam tinggi tak kunjung turun. Beberapa pasien mengalami batuk darah, batuk dengan riak kental kekuningan, bahkan penurunan kesadaran mendadak, dan shock. Jika gejala itu muncul, segera ke fasilitas medis terdekat.
Flu babi mencatat angka kematian tinggi di Meksiko karena keterlambatan mencari pertolongan medis. Itu tidak boleh terjadi di Indonesia.
Selagi semangat Ramadan belum hilang, mari kita berdoa dan berpikir positif agar virus itu terus bermutasi menjadi virus yang lebih jinak. Bukankah Allah SWT berfirman, “Aku menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”
Filed under: artikel termuat di JAWA POS | 2 Comments »