Flu Babi Di Tengah Arus Mudik (Jawa Pos, 27/9/09)

Artikel Flu Babi

TENGAH malam, seorang lelaki muda tergolek di tempat tidur IRD RSUD dr Soetomo. “Mas barusan dari luar negeri?” Dia menggeleng. “Pernah bertemu penderita flu babi?” Dia menggeleng lagi.

Kening saya mengerut, tercenung membaca surat rujukan dari sebuah RS di pesisir utara Jawa Timur. Suspect H1N1. Terapi: Oseltamivir 2 x 1 tablet. “Saya cuma karyawan di toko komputer,” gumam lelaki itu di balik masker penutup mulut.

Kerutan saya ternyata tak beralasan. Sebab, kecurigaan dokter spesialis paru yang mengirim pasien tersebut cukup akurat. Selang tiga hari kemudian, hasil hapusan tenggorok juga positif.

Begitu luaskah penyebaran virus flu babi di masyarakat? Tanpa perlu riwayat kontak dengan penderita flu babi atau bepergian jauh pun, tiba-tiba virus H1N1 bisa hinggap?

“Ya!” jawab ahli paru RSUD dr Soetomo Surabaya dr J.F. Palilingan SpP(K). Menurut dia, virus H1N1 sudah menyebar luas di muka bumi dan beranak pinak di masyarakat.

Itulah esensi sebuah kondisi pandemi. Secara ekstrem, jika hari ini seorang manusia menderita gejala flu, tak ada yang bisa menjamin dia bebas dari H1N1. Kecuali, sudah dibuktikan dengan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) hapusan tenggorok.

Kalau begitu, bagaimana dengan jutaan manusia yang bergerak saat arus mudik? Tidakkah itu berarti mempercepat penyebaran virus H1N1 ke daerah yang semula dianggap “bersih” dari virus tersebut? Atau, haruskah kegiatan mudik ditiadakan.

“Tentu tidak,” kata dr Laksmi Wulandari SpP(K), ahli paru lain dari RSUD dr Soetomo, sembari tersenyum. Jawaban tersebut tentu melegakan para perantau yang rindu rumah, termasuk saya.

Sebab, meski virus itu mudah tersebar, angka kematian karena virus tersebut sangat rendah. Berkisar 0,4 persen. Itu sangat jauh bila dibandingkan dengan angka kematian karena flu burung yang mencapai 60-80 persen.

Sebuah artikel di New England Journal of Med edisi Juli 2009 menulis kalimat pendek yang bernas tentang kondisi pandemi influenza hari ini, “Sesungguhnya, dalam 91 tahun sejak 1918, kita selalu hidup di era pandemi.”

Dasar pernyataan itu, virus flu babi yang kini menyebar adalah keturunan virus flu yang merenggut nyawa 20 juta penduduk dunia pada 91 tahun lalu. Selama masa tidurnya, ia tak pernah sungguh-sungguh hilang. Syukurlah, meski penyebarannya makin mudah sekarang, ia makin jinak kepada induk semangnya. Tidak seperti kakek buyutnya dulu.

RSUD dr Soetomo Surabaya, sebagai RS rujukan, hingga saat ini mencatat 123 pasien yang pernah dirawat karena kecurigaan flu babi. Delapan puluh lima di antaranya positif dan emapt pasien meninggal. Secara nasional, pasien yang positif terjangkit H1N1 sebanyak 1.097 orang dengan sepuluh kasus kematian. Itu masih lebih sedikit daripada Thailand yang mencatat 14.976 kasus dengan 119 kematian atau Australia dengan 35.095 kasus dan 155 kematian.

Kondisi pandemik yang mau tak mau harus diterima itu menuntut perubahan paradigma terhadap penanganan H1N1. Terutama, bagi pakar kesehatan, pemegang kebijakan, dan klinisi. Apalagi, bagi negara dengan sumber daya terbatas seperti Indonesia.

Sebab, penyebaran H1N1 sudah begitu luas. Dengan begitu, manfaat yang didapat dari perawatan di rumah sakit dan konfirmasi positif tidaknya seseorang menderita flu babi menjadi kurang bermanfaat. Apalagi, sebagian besar kasus berhenti pada kondisi sakit ringan yang tak memerlukan perawatan di RS. Penting diketahui, biaya pemeriksaan PCR untuk memastikan diagnosis H1N1 hampir Rp 1 juta tiap kali pemeriksaan.

Karena itu, sesuai dengan pedoman dari WHO dan Departemen Kesehatan, institusi kesehatan kini dianjurkan untuk memperkuat triase atau pemilahan kasus. Mereka yang mengalami gejala ringan dapat beristirahat, lalu diisolasi di rumah. Pasien dengan gejala sedang hingga berat dirawat di rumah sakit sembari dibuktikan ada tidaknya infeksi H1N1.

Pertanyaan yang sering timbul, apa yang harus dilakukan masyarakat? Menurut Depkes RI, cara efektif untuk mencegah tertular H1N1 adalah menjaga kondisi tubuh tetap sehat dan bugar. Yakni, makan dengan gizi seimbang, beraktivitas fisik/berolahraga, istirahat cukup, dan sering mencuci tangan dengan sabun.

Bagaimana jika kita terserang gejala flu seperti batuk, pilek, nyeri tenggorok, dan demam ringan? Haruskah kita minta obat antivirus H1N1 kepada dokter? Tidak. Anjuran terbaik adalah istirahat dan mengisolasi diri di rumah, minum obat flu, serta melakukan etika batuk dan bersin yang baik agar tak menulari orang lain. Tutuplah mulut dan hidung saat batuk dan bersin. Pakailah masker penutup mulut. Sering-seringlah mencuci tangan dengan sabun. Mereka yang mengalami gejala seperti itu termasuk kategori kasus ringan yang tidak memerlukan perawatan. Juga, tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan ada tidaknya infeksi H1N1.

Lain halnya jika gejala memburuk. Pemburukan itu sering disebabkan adanya koinfeksi dengan bakteri lain yang menyerang saat daya tahan tubuh terganggu. Yang rentan adalah bayi, usia tua, wanita hamil, penderita kencing manis, gangguan jantung, kelainan ginjal, kegemukan, dan penderita asma.

Gejala pemburukan yang paling sering terjadi adalah sesak napas dan demam tinggi tak kunjung turun. Beberapa pasien mengalami batuk darah, batuk dengan riak kental kekuningan, bahkan penurunan kesadaran mendadak, dan shock. Jika gejala itu muncul, segera ke fasilitas medis terdekat.

Flu babi mencatat angka kematian tinggi di Meksiko karena keterlambatan mencari pertolongan medis. Itu tidak boleh terjadi di Indonesia.

Selagi semangat Ramadan belum hilang, mari kita berdoa dan berpikir positif agar virus itu terus bermutasi menjadi virus yang lebih jinak. Bukankah Allah SWT berfirman, “Aku menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”

Perahu Kertas

Perahu Kertas

Perahu Kertas. Bagiku, buku ini mengingatkanku pada impian-impian masa kecil. Sesuatu yang seringkali kita lupakan. Padahal, seperti kata Keenan, “ Jalan kita mungkin berputar, tapi satu saat, entah kapan, kita pasti punya kesempatan untuk jadi diri kita sendiri.”

Kalimat itu menusukku dalam. Melihat diriku sendiri, terasa ada hal-hal yang hari ini harus aku kompromikan demi kelangsungan hidup. Demi situasi yang disebut : realita. Namun, selalu ada yang tak boleh dilupakan. Bagi Keenan itu adalah impian menjadi pelukis, bagi Kugy itu adalah cita-cita menjadi penulis dongeng. Bagiku, itu adalah cita-cita untuk menolong, memberi inspirasi, membuka  jalan, membagi semangat dan keberanian bermimpi, pada lebih banyak orang.

Perahu Kertas memang tak se‘berat’ novel Dee yang dulu. Ia lebih ‘muda’. Tapi dengan liku-likunya kita diajak berkaca pada labirin cinta yang berkabut. Pusaran energi antara Keenan, Kugy, Remi dan Luhde.

Lantas pada akhirnya, kejujuran hatilah yang menang. Mungkin menyakitkan, namun pada akhirnya lebih menentramkan. Setidaknya, agar kita tak hidup dalam kepalsuan.

Kepalsuan sebuah hubungan. Kepalsuan sebuah karir. Kepalsuan rasa bahagia. Kepalsuan hidup. Bukankah sebagian kita tenggelam di dalamnya?

Here the synopsis..

Pulang.

Masjid Agung Kendal

Pulang. Bagiku, pulang adalah langkah untuk memetakan dan memahami apa yang kulakukan hari-hari ini.

Termasuk sore kemarin, sehari sebelum Lebaran, saat aku shalat Magrib di Masjid Kendal setelah nyekar almarhum Eyang di makam Kuncen, Kalibuntu Wetan.

Sudah lebih 20 tahun berlalu. Saat-saat aku bersekolah di SMP 1 Kendal. Hari-hari ketika aku mulai belajar tentang tasawuf, dan tiap kali istirahat  siang, kubawa sarung untuk menyambanginya. Duduk dan merasakan dingin lantainya.

Ajaran Imam Ghazali begitu merasukiku. Terutama tentang seluk beluk zuhud. Aku ingat, aku pernah menulisnya di cermin. Zuhud, yang terdiri dari 3 perkara. 1. Tidak senang saat mendapat dunia. 2. Tidak sedih saat ditinggalkan dunia. 3. Tidak sibuk dengan dunia hingga lupa kepada Allah.

Kini aku telah begitu jauh. Selain nama anakku yang pertama, Zahida(perempuan yang zuhud), lelaku zuhud tak lagi berbekas dalam diriku. Dunia telah sungguh menelanku dalam-dalam.Terlalu dalam hingga kini harus berpikir dan bertanya.

Apa yang telah kulakukan selama 20 tahun ini? Benarkah telah sungguh bermakna? Bagaimana jika tidak? Akankah aku akan mendapat 20 tahun berikut?

Pulang. Sungguh aku ingin pulang…

Hujan Selalu Mengundang Rasa Sendu

hujan

Hujan selalu mengundang rasa sendu. Gerimis cinta, suamiku menyebutnya demikian. Beribu impian ditabur dari langit, tak satu tertangkap. Selain ia tentu saja. Yang kemudian berbasah-basah menjemputku di halaman kantor, sekadar menggerak-gerakkan tumpukan kangen yang lembab.

”Mas nggak berangkat?” Matahari mulai sembunyi di langit. Seharusnya suamiku ini masuk jaga sore di UGD rumah sakit swasta.

”Ada pemecatan massal. Kata Pak Direktur, rumah sakitnya rugi,”katanya pelan. Segera wajahku berubah muram. Tapi ia terlihat biasa saja. ”Nggak usah dipikirlah. Mungkin Pak Direkturnya lagi butuh duit.”

Tapi kita juga butuh duit, kataku dalam hati. Apa 210 ribu honor jasa medik PT.Askes yang ia terima tiap bulan dari rumah sakit pemerintah itu cukup? Kadang aku merasa ia terlalu yakin. ”Tulisan ada yang dimuat Mas?”

Masih menatap jalan, ia menggeleng datar. Wajah datar itu masih tetap menempel di pipi saat sepeda motor tua kesayanganmu berhasil hidup. Meski masih agak ngungun gara-gara kabar tentang pemecatanmu, aku naik juga ke boncengan.

”Berapa kali ia mogok?,”tanyaku dulu saat pertama kali naik. ”Kamu akan tahu,”. Yah, setelah hampir lima tahun bersama, setidaknya sebulan sekali kami harus mendorongnya. Tentu saja aku tak ikut berpeluh. Hanya ia yang berjuang sambil tiap kali mengumpat marah.

Perjalanan dari kantor ke rumah kontrakan yang baru ternyata begitu cepat. Rumah kecil di gang kelinci itu tampak lengang. “Anak-anak pasti sedang tidur,” gumamnya lirih.

Karena gerimis tak berhenti jua, motor naik ke teras yang tampak sempit diisi motor tua, tempat sampah, sepatu berceceran dan sapu tua di sudut.

Cinta, Lintang dan Langit, ketiganya perempuan sainganku dalam merebut perhatian suamiku, tidur di kamar, di atas kasur yang diletakkannya begitu saja di atas lantai. ”Itu membuat kita tak repot saat pindah-pindah rumah,” katanya padaku dulu. Dan sejak itu, tak pernah ia membeli tempat tidur meskipun sudah beranak-pinak seperti sekarang.

Jangan tanya tentang kursi tamu, meja, apalagi lukisan penghias dinding. Rumah cuma berisi barang-barang yang sungguh-sungguh bermakna buat hidup. Selain buku tentu saja. Bukulah harta kami satu-satunya. Ia kadang minta maaf padaku tentang hal ini, dan entah kenapa aku selalu memaafkan kebadungannya.

Padahal aku sebenarnya orang rumahan, bukan tipe yang senang jauh dari orang tua ataupun berpindah-pindah macam kucing. Tapi beginilah akhirnya jika seorang perempuan mencintai, lantas menikahi seorang dokter weng*. Ia berganti rumah dan kota sesukanya, tergantung pekerjaan dan macam hidup yang ingin dilakoninya.

Bagi diriku sendiri hidup semacam ini cukup sulit dijalani. Apalagi dengan dua anak balita dan seorang bayi yang butuh susu. Akhir-akhir ini aku sering sakit kepala, yang ia pasti akan menyebutnya psikosomatis belaka. Memang tak mudah menjadi diri sendiri. Terutama saat tercerabut dari akar yang membesarkan kita. Begitu penjelasannya suatu hari.

Dulu aku tak percaya saat ia memutuskan meninggalkan tawaran kemapanan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan malah memilih kehidupan sulit ini.

“Mas, wis dipikir tenan to?

Wis.”

“Mas lebih pilih sekolah spesialis?”

He eh.”

“Katanya lima tahun Mas?”

He eh, mungkin lebih.”

“Dapat gaji nggak?”

“Nggak. Paling honor jasa medik.”

”Lantas kita hidup dari mana?”

”Ya dari Gusti Allah to.”

Ya sudah. Sebagai istri aku tak banyak bertanya lagi. Dan akhirnya kami pun pindah dari kota kecil tempat kau menjalani PTT ke kota besar tak ramah ini, hanya gara-gara cita-cita ingin jadi spesialis. “Kita ini ibnu sabil dan musafir sekaligus. Karena sekolah spesialis itu kan fardu kifayah.”katanya suatu hari. Lha kalau ibnu sabil atau musafir, harusnya dapat bagian zakat, jawabku dalam hati.

Tapi tentu saja kami tak mungkin mendapat bagian zakat, dan akibatnya hidup rasanya jadi makin susah. Apalagi setelah kau di-DO dari UGD rumah sakit swasta itu. Kadang-kadang ia memang dapat job gantikan praktek dokter lain atau transfer honor dari tulisan yang dimuat, tapi itu insidentil.

“Kan kita masih punya tabungan?”tanyanya sok yakin. Tapi tidakkah lama kelamaan ia habis?

“Yah, setidaknya kan kamu masih punya gaji tetap,”katanya di hari yang lain. Tapi, apa itu cukup?

“Mas, susunya Langit tinggal hari ini.” Pertanyaanku tadi benar-benar terjawab. Sore itu aku benar-benar pusing karena gaji bulananku sudah habis, dan  saat itu baru tanggal 20! Ia mengangguk kecil.

“Sore iki tak golek duwit.” Darimana? tanyaku dalam hati. Ia tak cerita tentang tawaran untuk menggantikan praktek, dan sepertinya tulisannya belum ada yang dimuat lagi. Tapi aku diam. Setelah berkata itu ia pergi, entah kemana.

Menjelang isya ia pulang. Wajahnya terlihat cerah. Dicabutnya dompet dan uang seratus ribu keluar dari sana. ”Ini buat beli susu.” Di tanganku uang itu terasa panas.

”Duit darimana Mas?”

Ia terdiam. Lama. Lantas tersenyum. ”Sing penting kan entuk duit.”

”Halal?” Senyum itu makin lebar. ”Halal banget. Wong asalnya dari hape-ku kok,” katanya sambil tertawa keras. Ditunjukkannya selembar bon penjualan handphone.

Pemandangan itu menyengat saraf tawaku juga. Aku ikut tertawa. Walah, dasar suamiku weng! Senja itu kami terbahak hingga berderai air mata. Menertawakan diri sendiri, menertawakan hidup. Katrok, katrok…

Tapi dalam hati aku berdoa, semoga setelah ia lulus jadi spesialis, kegilaannya tidak berubah. Karena itulah yang membuatku mencintainya.

Dasar weng*!

*weng = ejekan akrab dalam bahasa jawa, berarti agak-agak gila.

Kunci Sukses dan Bahagia Tidak Terletak Pada Kerja Keras Semata…

Barusan membaca lagi buku Ernie J Zelinski. Ada cerita bagus yang hari2 ini terlupa, padahal kurasa itu kunci sukses sekaligus bahagia. 🙂

A wealthy entrepreneur from New York went on a two-week seaside holiday on the coast of Costa Rica. On his first day there, he was impressed with the quality and taste of the exotic fish he bought from a local fisherman. The next day, the American encountered the native Costa Rican at the dock, but he had already sold his catch. The American discovered that the fisherman had a secret fishing spot where the fish were plenty and the quality superb. However, he only caught five or six fish a day.

The New Yorker asked the local fisherman why he didn’t stay out longer at sea and catch more fish.

“But Senor,” the fisherman replied, “I sleep in late until nine or ten every morning; I play with my children; I go fishing for an hour or two; in the afternoon I take a one- or two-hour siesta; in the early evening I have a relaxing meal with my family; and later in the evening, I go to the village and drink wine, play guitar, and sing with my amigos. As you can see, I have a full, relaxed, satisfying, and happy life.”

The American replied, “You should catch a lot more fish. That way you can prepare for a prosperous future. Look, I am a businessman from New York and I can help you become a lot more successful in life. I received an MBA from Harvard and I know a lot about business and marketing.”

The American continued, “The way to prepare for the future is to get up early in the morning and spend the whole day fishing, even going back for more in the evening. In no time, with the extra money you could buy a bigger boat. Two years from now, you can have five or six boats that you can rent to other fishermen. In another five years, with all the fish you will control, you can build a fish plant and even have your own brand of fish products.”

“Then, in another six or seven years,” the American continued while the Costa Rican looked more and more bewildered, “you can leave here and move to New York or San Francisco, and have someone else run your factory while you market your products. If you work hard for fifteen or twenty years, you can become a multi-millionaire. Then you won’t have to work another day for the rest of your life.”

“What would I do then, Senor?” responded the fisherman.


Without any hesitation, the wealthy American businessman enthusiastically replied, “Then you will be able to move to a little village in some laid-back country like Mexico where you can sleep in late every day, play with the village children, take a long siesta every afternoon, eat meals while relaxing in the evening, and play guitar, sing, and drink wine with your amigos every night.”

So, kunci sukses dan bahagia tidak terletak pada kerja keras semata.  Apalagi jika kerja keras itu hanya didorong oleh hasrat mendapatkan uang.

Tetapkan tujuan hidup, lantas cari jalan paling efisien(ini biasanya adalah jalan yang paling kita kenal, kuasai dan cintai : seperti hobi) tanpa harus mengorbankan hal2 penting lain dalam hidup. Seperti waktu bercanda dengan keluarga, jemputan pertama  saat si kecil pulang sekolah, kesehatan, juga kesempatan jalan2 bersama istri tercinta.

Lantas maksimalkan waktu yang kita gunakan dengan melakukan apa yang sungguh2 kita kuasai dan  sukai, bukan untuk hal-hal yang tidak dikuasai dan tidak disukai.

Good luck!

Lazy Persons Guide