1965-1966, Hitam Putih (Surabaya Post 29/9/08)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Beberapa puluh tahun lalu seorang anak membuat ibunya menangis. Saat itu mereka tengah berziarah kubur, dan ia hanya bertanya. “Ibu, dimana makam kakek? Mengapa tiap menjelang Ramadan kita hanya mengunjungi nisan nenek Bu?” Sang Ibu terhenyak. Ia terduduk, termenung lama. Air mata menetes dalam diam.

Terkejut dengan tangis tanpa suara itu, baru beberapa tahun kemudian ia mencari tahu kembali. Beberapa orang memilih diam yang sama. Saat akhirnya seseorang menceritakan penjemputan itu. Kepergian yang tak kenal pulang.

Lebaran ini tepat 43 tahun lalu peristiwa tahun 1965 terjadi. Diawali dengan pembunuhan para jendral tanggal 30 September 1965, diikuti pemusnahan 500 ribu hingga 1 juta jiwa rakyat Indonesia dalam periode tahun 1965-1966. Inilah konflik horisontal terdahsyat dalam sejarah NKRI. Pertumpahan darah yang menempatkan tetangga, sahabat karib, bahkan saudara dalam posisi berseberang. Momen dimana seorang manusia merasa berhak membunuh manusia lain.

Lantas, apa yang terjadi setelah mereka yang hitam kita punahkan? Bukannya puas, malangnya perasaan hitam putih ini terus dipelihara oleh Orde Baru, dan kita sebagai rakyatnya ikut menumbuhkannya dalam hati. Posisi menang dan kalah menjadi sangat penting, karena dari sanalah kita menciptakan harga diri.
Akibatnya dalam skala nasional peristiwa penumpasan sejenis pemusnahan massa pro PKI dan Sukarnois tahun 1965-1966 tak kunjung berhenti. Orde Baru menghasilkan represi penguasa seperti peristiwa Tanjung Priok dan DOM di Aceh, serta konflik horisontal sejenis kerusuhan Ambon. Juga banyak penculikan dan pembunuhan orang-orang.

Era reformasi tak serta merta memperbaiki keadaan. Munir diracun orang, dan tahun lalu insiden Alastlogo terjadi. Bila kita cermati, ada satu hal yang selalu menyertai peristiwa tersebut. Yakni adanya pihak yang merasa ‘putih’, dan pihak yang dianggap berdosa alias ‘hitam’. Mirip dengan pemusnahan massal tahun 1965-1966.

Mengapa? Karena pola pikir hitam putih ini memang sekilas mempermudah segalanya. Bukankah jika semua orang sepaham dengan kita, berasas tunggal, satu arah satu tujuan, semua jadi baik-baik saja? Jika demikian, untuk mendapatkan dunia yang damai, adalah sah untuk memaksa orang mengikuti paham kita. Karena kita benar dipandang dari sudut moral dan hukum, selaras dengan nilai agama. Jadi tidaklah salah jika sesekali kita menindas mereka yang tidak sesuai hukum, tidak mengikuti kaidah moral, tidak memiliki semangat beragama yang benar. Mereka berseberangan dan karenanya menjadi ‘hitam’. Benarkah?

Seharusnya tidak. Pandangan hitam putih membuat bumi menjadi sempit. Dan itu bukanlah bumi yang secara fitrah diturunkan Tuhan kepada kita yang berbeda. Terlalu banyak lawan dan terlalu sedikit kawan. Lantas kita berubah menjadi seorang ‘pembunuh’. Jika tidak dengan tangan dan senjata, kita membunuhi mereka dengan kata-kata.

Pernahkah Anda membaca berita tentang kunjungan kerja anggota dewan ke luar negeri dengan biaya rakyat? Apa yang ada di dalam kepala Anda? Jika Anda merasa marah dan seketika menganggap semua anggota dewan adalah politikus yang mencoba memperkaya diri, maka mungkin pola pikir hitam putih masih ada di benak.

Pertama karena jelas tidak semua anggota dewan seburuk itu. Kedua, kalau toh ada yang khilaf dan saat ini berpikir ingin kaya, tidakkah itu manusiawi? Coba telusuri masa lalu Anda. Tidakkah Anda pernah berbuat kesalahan?

Saya teringat dengan deskripsi Goenawan Mohamad tentang perlawanannya terhadap Orde Baru. “Jangan memaki-maki kegelapan, tapi nyalakanlah lilin.”

Sikap beberapa anggota dewan yang nirpeka terhadap kesulitan hidup rakyatnya memang perlu kita koreksi. Tapi bukan dengan mencap mereka sebagai pendosa sedang kita adalah malaikat pembersih. Pandangan tersebut mirip dengan alasan para pelaku pemusnahan massa pro PKI dan Sukarnois tahun 1965-1966, ditambah semangat balas dendam atas pemberontakan PKI tahun 1948 dan gerakan PKI lainnya dalam sengketa tanah.

Saya membaca kembali tulisan-tulisan lama, dan terlihat di sana kalau kadang saya pun masih berpikir hitam putih. Sering saya lupa melihat isi hati para penguasa, menemui sisi manusiawi dari orang-orang yang kadang lupa dan ‘menindas’ rakyat kecil seperti saya. Ah, kalau saja saya sudah lahir di tahun 1965 dengan posisi sebagai pemenang, siapa tahu tangan saya juga ikut bersimbah darah, bergotong royong menyerbu mereka yang saya anggap berhati hitam.

Martin Aleida menulis di Malam Kelabu. Partini, Ibu dan anak-anaknya jadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi seorang komunis. Politik tak punya mata. Mereka pun hilang di tepi bengawan.(Leontin Dewangga, 2003)

Untuk menenangkan hati, saya bertanya kembali pada seseorang yang pernah membuat sang Ibu menangis di masa kecilnya. Apakah engkau mendendam? Bertahun-tahun ia tak menjawab. Tiba-tiba pagi ini ia menuliskan sepotong kalimat Paulo Coelho. Forgiveness is a two-way street. Each time we forgive someone, we are also pardoning ourselves.

Lelaki yang pernah membuat ibunya menangis itu percaya pada kata-kata ini. Ia memilih untuk memaafkan, berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan diri sendiri. Adakah pilihan yang lebih baik?

Menangisi Lebaran Bersama Laskar Pelangi

Sepanjang film Laskar Pelangi diputar mata saya basah oleh air mata. Diam-diam saya menangisi keikhlasan Bu Mus, kesungguhan Pak Harfan, ketekunan Lintang, menangisi Harun yang terbata tapi gembira.

Lebih dari itu, saya menangisi diri sendiri. Saya yang masih saja merasa kurang di tengah kecukupan, yang begitu mudah tergoda dengan iming-iming materi, yang sedikit-sedikit menyerah pada tantangan. Saya juga menangisi anak-anak saya yang tak sempat diasuh guru seperti Bu Mus, menangisi kalimat Pak Harfan yang hari-hari ini jarang sekali saya temui. “Memberi sebanyak-banyaknya. Bukan meminta sebanyak-banyaknya.” Ah, adakah yang masih memegang erat kalimat itu dalam hati?

Menonton film Laskar Pelangi membuat saya makin sadar akan kerinduan yang membuncah. Kerinduan untuk pulang pada ketulusan, keramahan, kasih sayang, kesederhanaan, dedikasi tanpa pamrih, cita-cita, impian.

Tak terasa lusa Lebaran. Seperti yang lain, saya pun akan pulang. Beberapa pertanyaan yang mengganggu antara lain, apakah saya berani menemui mereka? Tidakkah saya sudah terlalu asing dengan semua itu? Lantas, beranikah saya membawa sekeping ketulusan, keramahan, kasih sayang dan yang lain saat kembali ke Surabaya nanti?

Semoga. Setidaknya saya berharap, saat menonton kembali film Laskar Pelangi, produksi air mata saya sudah jauh berkurang. Bukan karena bosan, tapi karena ada sebagian kebaikan Pak Harfan yang saya telah saya miliki. Tapi itu tentu tak mudah. Saya tahu kalau saya harus bekerja keras, mengumpulkan kelembutan hati di liburan Lebaran besok. Selamat berhari raya. Mohon maaf lahir dan batin.

Puluhan Milyar di Balik Perda KTR (Jawa Pos 23/09/08)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Suatu pagi Prof dr Moh. Yogiarto SpJP(K), ketua Bagian Ilmu Penyakit Jantung FK Unair/RSU dr Soetomo, menguji saya. “Sudah terbukti dari berbagai penelitian bahwa perokok pasif berisiko hampir sama dengan perokok aktif untuk terkena serangan jantung. Lantas, mengapa kita masih ragu mengesahkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?”

Sebagai rakyat kecil, saya butuh beberapa hari untuk berpikir keras menjawab pertanyaan baliau. Menurut saya, keragu-raguan kita pada Perda KTR mungkin terjadi karena kita percaya bahwa warga Surabaya sudah cukup kaya untuk membuang Rp 10 miliar-Rp 100 miliar secara cuma-cuma.

Benarkah? Salah tidaknya jawaban itu bergantung pada hasil tarik ulur Perda KTR yang kini terjadi. Tapi, dari mana angka miliaran rupiah itu muncul? Baca lebih lanjut

Coldplay, Aku dan Rasa Takut

Sore menonton dvd konser Coldplay th 2003 di rumah. Sudah jadul memang, tapi sore itu aku mendapat sesuatu. Kulihat di sana Chris MArtin, memainkan pianonya(lagu Trouble, Scientist, Amsterdam, dll) begitu intense. Hampir kesurupan. Trance. Tampak sekali kalau ia begitu mencintai, begitu menghayati, begitu khusyuk dalam melakoni pekerjaannya.

Lantas aku berpikir, kenapa aku tak bisa seperti dia? Kenapa aku selalu deg-degan saat mau jaga di IRD RS? Kenapa sering takut berbuat salah dan dimarahi oleh para senior saat morning report?

Seharusnya tidak. Seharusnya menjadi PPDS kardio, jaga di IRD dan merawat banyak pasien harus menjadi bagian yang membahagiakan.

Setelah kurenungkan, mungkin karena aku belum betul2 membaca ayat ini.

“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali Imran: 175, dikutip dari  web AsSyaria’ah : Takutlah Kepada Allah)

Bidadari di Kesunyianku

Bidadari di kesunyianku.

Bidadari penyelamatku.

Terima kasih ya Allah. Dengan rahmatMu kau kirim mereka ke bumi…

Kata-Kata yang Menyembuhkan (Jawa Pos 9/9/08)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

“Pak, tidak ada yang sungguh-sungguh aman di dunia kedokteran. Resiko komplikasi, termasuk kematian selalu ada, meski cuma 0,1 %. Sayangnya, tak ada ramalan yang sungguh-sungguh akurat. Meski Bapak terlihat cukup siap, kejadian yang menimpa satu dari 1000 pasien itu bisa saja terjadi. Namun saya berjanji, saya akan melakukan yang terbaik untuk Bapak. Semua anggota tim medis di rumah sakit ini siap mendukung kelancaran prosedur itu. Bagaimana, apakah Bapak tetap bersedia?”

Kalimat itu terasa asing di sini. Entah kenapa. Mungkin itu sebabnya rumah sakit di luar negeri dipenuhi pasien Indonesia. Mungkin karena mereka di sana berbicara banyak, sedang kita terlalu sibuk dan hemat kata-kata.

Dalam kejadian komplikasi yang mengakibatkan kematian Lia, seorang pasien yang meninggal pasca sebuah prosedur di sebuah rumah sakit Pemerintah, seorang dokter senior dengan hati besar mengakui kekurangan sistem medis di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa tim medis sebenarnya wajib memberikan informasi mengenai kondisi pasien kepada keluarganya secara detail. Informasi itu harus dijelaskan dalam bahasa sederhana yang dimengerti keluarga pasien. ”Itu sudah jadi tugas tim medis ketika menangani pasien,” ucapnya. ”Di situlah letak kesenjangan informasi dalam kasus Lia.”(Jawa Pos 6/9/08)

Padahal tidak hanya sekedar informasi. Satu hari Wapres Jusuf Kalla berkomentar tentang pelayanan kesehatan di Indonesia. “Pasti bukan karena otak yang berbeda, tetapi pelayanan dan kemampuan merebut kepercayaan pasien. Kita kalah senyum dengan mereka.”(Jawa Pos 23/5/08)

Seorang dokter dari Inggris, S.G Jeffs, puluhan tahun lalu menulis hal mendasar yang seharusnya terus ditekankan para dosen di Fakultas Kedokteran pada murid-muridnya. “Nobody is another case of…… You have no cases. You have patients who are human beings with feelings and emotions who often have a greater dignity and self-respect than you possess yourself.” Kalimat yang aneh. Sebagian bahkan mungkin berpikir, harga diri yang lebih besar?! Ah, siapa pula yang masih berbicara tentang hal itu dalam dunia yang tergesa, dengan sistem kapitalisme yang tak ramah pula? Baca lebih lanjut

Puskesmas yang ‘Sakit’ (Surabaya Post 13/8/08)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Di tengah sorotan publik terhadap pelaku korupsi, beberapa waktu lalu kota Surabaya diramaikan oleh isu pungli di sebagian Puskesmas. Campur aduk isi berita tentang instansi pelayanan kesehatan primer itu. Ada keprihatinan, tersirat permakluman, tapi jelas terasa kritik yang mengiris. Lepas dari peraturan daerah yang mungkin perlu direvisi, isu pungli di Puskesmas tetaplah menyengat kalangan kesehatan di Surabaya. (Surabaya Post 5/8/08)

Bagi penulis, bekerja di Puskesmas adalah periode hidup dimana idealisme harus bertarung dengan kenyataan tentang cara menghidupi institusi. Masalah menumpuk tinggi. Hormon stres meningkat. Mulai dari tenaga honorer yang terlalu tua untuk diangkat. Pertemuan informal dukun bayi yang butuh konsumsi dan ongkos transport. Atap ruang rawat inap yang hampir runtuh. Tabung oksigen yang rusak tak kunjung diganti. Sedang dana dari Pemerintah Daerah kadang tersendat tak kunjung turun.

Tapi semua itu tak seberapa dibanding teror moral menjelang Lebaran. Belasan pasang mata menatap, bertanya, bisakah sang pemimpin memberi sedikit tambahan tunjangan hari raya?

Ah, dua ribu lima ratus rupiah yang memalukan. Coba bandingkan dengan iklan di surat kabar besar tentang klinik pengobatan Cina. Atau rumah sakit Tiongkok yang rajin menjaring pasien di Surabaya. Hampir tiap minggu mereka mematut diri di media. Besar, sepertiga halaman, menyedot perhatian. Terlihat hebat. Pelan-pelan memaksa kita jadi penonton. Inilah efek industrialisasi layanan kesehatan. Mereka kelihatan berkelas. Sedang Puskesmas kita kampungan. Cuma dua ribu lima ratus saja. Lebih murah dari semangkok mie ayam. Itupun masih diisukan pungli! Baca lebih lanjut