oleh dr. M. Yusuf Suseno
Beberapa puluh tahun lalu seorang anak membuat ibunya menangis. Saat itu mereka tengah berziarah kubur, dan ia hanya bertanya. “Ibu, dimana makam kakek? Mengapa tiap menjelang Ramadan kita hanya mengunjungi nisan nenek Bu?” Sang Ibu terhenyak. Ia terduduk, termenung lama. Air mata menetes dalam diam.
Terkejut dengan tangis tanpa suara itu, baru beberapa tahun kemudian ia mencari tahu kembali. Beberapa orang memilih diam yang sama. Saat akhirnya seseorang menceritakan penjemputan itu. Kepergian yang tak kenal pulang.
Lebaran ini tepat 43 tahun lalu peristiwa tahun 1965 terjadi. Diawali dengan pembunuhan para jendral tanggal 30 September 1965, diikuti pemusnahan 500 ribu hingga 1 juta jiwa rakyat Indonesia dalam periode tahun 1965-1966. Inilah konflik horisontal terdahsyat dalam sejarah NKRI. Pertumpahan darah yang menempatkan tetangga, sahabat karib, bahkan saudara dalam posisi berseberang. Momen dimana seorang manusia merasa berhak membunuh manusia lain.
Lantas, apa yang terjadi setelah mereka yang hitam kita punahkan? Bukannya puas, malangnya perasaan hitam putih ini terus dipelihara oleh Orde Baru, dan kita sebagai rakyatnya ikut menumbuhkannya dalam hati. Posisi menang dan kalah menjadi sangat penting, karena dari sanalah kita menciptakan harga diri.
Akibatnya dalam skala nasional peristiwa penumpasan sejenis pemusnahan massa pro PKI dan Sukarnois tahun 1965-1966 tak kunjung berhenti. Orde Baru menghasilkan represi penguasa seperti peristiwa Tanjung Priok dan DOM di Aceh, serta konflik horisontal sejenis kerusuhan Ambon. Juga banyak penculikan dan pembunuhan orang-orang.
Era reformasi tak serta merta memperbaiki keadaan. Munir diracun orang, dan tahun lalu insiden Alastlogo terjadi. Bila kita cermati, ada satu hal yang selalu menyertai peristiwa tersebut. Yakni adanya pihak yang merasa ‘putih’, dan pihak yang dianggap berdosa alias ‘hitam’. Mirip dengan pemusnahan massal tahun 1965-1966.
Mengapa? Karena pola pikir hitam putih ini memang sekilas mempermudah segalanya. Bukankah jika semua orang sepaham dengan kita, berasas tunggal, satu arah satu tujuan, semua jadi baik-baik saja? Jika demikian, untuk mendapatkan dunia yang damai, adalah sah untuk memaksa orang mengikuti paham kita. Karena kita benar dipandang dari sudut moral dan hukum, selaras dengan nilai agama. Jadi tidaklah salah jika sesekali kita menindas mereka yang tidak sesuai hukum, tidak mengikuti kaidah moral, tidak memiliki semangat beragama yang benar. Mereka berseberangan dan karenanya menjadi ‘hitam’. Benarkah?
Seharusnya tidak. Pandangan hitam putih membuat bumi menjadi sempit. Dan itu bukanlah bumi yang secara fitrah diturunkan Tuhan kepada kita yang berbeda. Terlalu banyak lawan dan terlalu sedikit kawan. Lantas kita berubah menjadi seorang ‘pembunuh’. Jika tidak dengan tangan dan senjata, kita membunuhi mereka dengan kata-kata.
Pernahkah Anda membaca berita tentang kunjungan kerja anggota dewan ke luar negeri dengan biaya rakyat? Apa yang ada di dalam kepala Anda? Jika Anda merasa marah dan seketika menganggap semua anggota dewan adalah politikus yang mencoba memperkaya diri, maka mungkin pola pikir hitam putih masih ada di benak.
Pertama karena jelas tidak semua anggota dewan seburuk itu. Kedua, kalau toh ada yang khilaf dan saat ini berpikir ingin kaya, tidakkah itu manusiawi? Coba telusuri masa lalu Anda. Tidakkah Anda pernah berbuat kesalahan?
Saya teringat dengan deskripsi Goenawan Mohamad tentang perlawanannya terhadap Orde Baru. “Jangan memaki-maki kegelapan, tapi nyalakanlah lilin.”
Sikap beberapa anggota dewan yang nirpeka terhadap kesulitan hidup rakyatnya memang perlu kita koreksi. Tapi bukan dengan mencap mereka sebagai pendosa sedang kita adalah malaikat pembersih. Pandangan tersebut mirip dengan alasan para pelaku pemusnahan massa pro PKI dan Sukarnois tahun 1965-1966, ditambah semangat balas dendam atas pemberontakan PKI tahun 1948 dan gerakan PKI lainnya dalam sengketa tanah.
Saya membaca kembali tulisan-tulisan lama, dan terlihat di sana kalau kadang saya pun masih berpikir hitam putih. Sering saya lupa melihat isi hati para penguasa, menemui sisi manusiawi dari orang-orang yang kadang lupa dan ‘menindas’ rakyat kecil seperti saya. Ah, kalau saja saya sudah lahir di tahun 1965 dengan posisi sebagai pemenang, siapa tahu tangan saya juga ikut bersimbah darah, bergotong royong menyerbu mereka yang saya anggap berhati hitam.
Martin Aleida menulis di Malam Kelabu. Partini, Ibu dan anak-anaknya jadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi seorang komunis. Politik tak punya mata. Mereka pun hilang di tepi bengawan.(Leontin Dewangga, 2003)
Untuk menenangkan hati, saya bertanya kembali pada seseorang yang pernah membuat sang Ibu menangis di masa kecilnya. Apakah engkau mendendam? Bertahun-tahun ia tak menjawab. Tiba-tiba pagi ini ia menuliskan sepotong kalimat Paulo Coelho. Forgiveness is a two-way street. Each time we forgive someone, we are also pardoning ourselves.
Lelaki yang pernah membuat ibunya menangis itu percaya pada kata-kata ini. Ia memilih untuk memaafkan, berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan diri sendiri. Adakah pilihan yang lebih baik?
Filed under: artikel termuat selain di JAWA POS/KOMPAS | Tagged: 1965-1966, G30S/PKI | 5 Comments »