Dokter juga Manusia

Aku memang tak sebaik Patch Adam dalam menghadapi pasien.
Tapi aku sudah berusaha mendekatkan diri pada pasien2ku.
Menyapa, bicara, menyentuh mereka.
Menjadikanku bagian dari semesta yang menyembuhkan.
Menyembuhkan seorang manusia.
Tapi kadang itu belum cukup.
Beberapa kali aku gagal.

Hari2 ini aku juga banyak membaca tentang sejarah cardiology intervensi, terutama coronary stenting.
’Dunia elit’ dalam ilmu kardiologi ini dimulai dari Gruentzig, Palmaz, dll.
Dan ternyata sejarah ilmu kedokteran sungguh2 dimulai dari ketidaktahuan.
Para perintis itu berjalan dalam gelap.
Mencoba yang terbaik, seringkali gagal.
Dunia intervensi koroner yang saat ini begitu canggih dimulai dari hal-hal yang sangat sederhana, tertatih-tatih bahkan.
Ia menjadi besar bukan semata karena keberhasilan menyembuhkan, dan kehidupan.
Tapi juga karena ketidakberhasilan. Kesalahan. Kegagalan. Kematian.

Dokter juga manusia.
Dan untukku, mungkin sangat manusia.
Tapi, kurasa sangat tidak lazim jika seorang dokter berkata,
”Ibu, saya akan lakukan usaha terbaik untuk menolong Bapak. Demi Allah saya berjanji.
Tapi bagaimanapun saya bisa saja gagal. Bahkan saya juga bisa melakukan kesalahan, meski kesalahan itu tak mungkin saya sengaja.
Jadi Ibu, apakah Ibu masih tetap mempercayakan perawatan suami Ibu pada saya? Atau Ibu ingin Bapak ditangani oleh dokter lain?”

Ketakutan akan tuntutan malpraktek kini tengah merasuki dunia kedokteran.
Sebagian dokter bahkan mengikuti asuransi yang menjamin pembayaran jika terjadi tuntutan pada mereka. Lantas, siapa yang harus membayar preminya? Pasien mereka juga.
Dunia kedokteran modern tak lagi ramah.
Beberapa dokter melihat pasien yang masuk ruang prakteknya dengan rasa waswas. Sebaliknya, sebagian pasien memandang dokter mereka juga dengan curiga.
Mereka berkata dalam hati, ”Bagaimana jika ia melakukan kesalahan?”

(tulisan lain tentang hubungan pasien dan dokter ada di sini)

Pilihan Hidup. Menjadi Sehat atau Sakit ya?

Pilihan hidup ada di tangan Anda. Apakah Anda memilih naik lift atau mendaki tangga, bermobil atau bersepeda, makan pecel atau hamburger. Yang jelas masih banyak dari kita yang tidak menyadari konsekuensi dari gaya hidup yang kita pilih.

Begitu pula dengan Pak Sukur, ia baru berusia 40 tahun, yang meskipun ia tetap bersyukur karena berhasil selamat dari serangan jantung yang luas, toh tetap menyesal karena ia salah pilih. ”Saya memilih rokok, makan gulai kambing dan nonton sepak bola di televisi dibanding menerima ajakan untuk main bola dengan teman-teman kantor.”

Nah, bagaimana dengan Anda?

Jujur saja, sebagian dari kita memang cenderung memilih pola makan tidak sehat, ini berarti memperbanyak karbohidrat, lemak dan gula, dibanding sayur dan buah. Ditambah dengan rokok, kurang aktifitas dan olahraga. Kehidupan di rumah dan di tempat kerja pun tak lepas dari stres yang menumpuk.

Entah kenapa, mungkin pilihan itu yang lebih mudah dinikmati. Padahal akibatnya jelas. Penyakit yang dulu tak pernah terpikirkan pun mulai datang. Hipertensi misalnya. Saat ini ia tidak lagi didominasi oleh usia tua, tapi usia muda pun rentan terhadap hipertensi.

Padahal jika tidak ditangani dengan baik, hipertensi sebagai konsekuensi dari pilihan hidup yang “salah” bisa menyebabkan banyak gangguan organ tubuh. Termasuk gagal ginjal. Betapa repotnya naik haji dengan selang terpasang di tubuh, dan harus membawa bekal obat-obatan dan cairan yang beratnya hingga 2 kwintal selama proses naik haji.

Begitu pula dengan pembunuh nomor satu di dunia saat ini, serangan jantung. Serangan jantung ternyata makin dini menyerang usia muda, bahkan saat seseorang tengah asyik meniti karir. Mungkin Anda pun beresiko mengalami serangan jantung. Tidak percaya? Coba sekarang Anda ukur lingkar pinggang Anda.

Caranya sederhana. Ambil seutas tali atau pita, lantas lingkarkan di pinggang, kurang lebih pertengahan di antara tulang rusuk dan tonjolan tulang panggul. Usahakan agar tidak terlalu ketat, dan diukur saat menghembuskan napas. Berapa lingkar pinggang Anda?

Sembilan puluh sentimeter adalah batas atas bagi pria, dan 80 cm bagi wanita. Anda lebih dari itu? Wah, sebaiknya Anda mulai waspada!

Ukuran lingkar pinggang yang lebih dari normal menunjukkan kalau Anda sudah terlibat dengan suatu sindroma yang disebut sindroma metabolik. Ini pastilah bukan sesuatu yang menyenangkan. Mengapa?

Sindroma Metabolik adalah suatu kumpulan faktor resiko untuk terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk stroke. Ia terdiri dari ukuran lingkar pinggang yang di atas normal, kadar trigliserida yang tinggi (≥150 mg/dL), kadar kolesterol HDL yang rendah(<40 mg/dl), tekanan darah > 130/85, dan kadar glukosa darah puasa ≥ 110 mg/dL. Apabila terdapat tiga dari lima kriteria dia atas, maka Anda telah terkena Sindroma Metabolik.

Ini berarti Anda memiliki resiko mendapat serangan jantung hampir 4 kali lipat dibanding seseorang tanpa Sindroma Metabolik. Baca lebih lanjut

For One More Day, Ibu…

baru saja menyelesaikan buku For One More Day-nya Mitch Albom.
buku itu mengingatkanku pada sosok ibu.

ibuku.

ah, adakah yang bisa menggantikan ibu?

bahkan ketika hariku kini telah lewat di atas 30.

beberapa keputusanku, adalah hasil dari didikannya.
sebagian pilihanku, terpengaruh oleh nilai2nya.
dan aku yakin, sebagian besar pencapaianku, terjadi karena doanya.

For One More Day mencambuk keras tentang minimnya rasa syukurku karena masih bisa bertemu ibu.

Bu,

matur nuwun sanget Bu….

Braunwald dan Patch Adams

Menjadi cardiologist tidak harus serupa Braunwald, Hurst, Grossman, Feigenbaum ataupun Topol, dewa-dewa pencipta textbook cardiology.

Patch Adams, dengan caranya sendiri, tetap memberi arti buat dunia kedokteran.

Sekali lagi, aku percaya bahwa tumbuh tidak mesti harus menjulang tinggi, tapi juga dengan mengakar, membagi daun, menyuburkan tanah sekitar rumah.

Tapi, mungkinkah kita menempuh kedua jalan itu bersamaan?

🙂

Batu Besar

kemarin ada sebuah batu yang cukup besar menghadang perjalanan.
dan layaknya batu2 karang lain dalam hidup, ia datang tiba-tiba, tak dinyana dan seringkali membuat sedih.
lantas sekali lagi aku memasrahkan segala sesuatu pada Allah.
Ia telah mengatur hidupku sedemikian rupa.
Ia telah membawaku sejauh ini.
akankah Ia mensia-siakanku? kurasa tidak.

apalagi saat aku mengingat segala hal yang sudah diberikan padaku selama ini.

nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat kaki yang kembali bisa berjalan, istri dan anak2ku, pengalaman hidup dan kasih sayang dari pasien2ku, segala yang pernah kumiliki dan kualami selama ini.

lantas memikirkan kembali teman2ku yang sudah tiada, juga almarhum pasien2ku…

sekali lagi, batu yang kini kuhadapi bukanlah apa2 dibanding itu semua…