Tentang Tasbih dan Islam yang Saya Kenal..

Ketika saya kecil, saya mengenal Islam itu sederhana. Kebetulan di Kendal sebagian besar warga NU. Jadi kami biasa bershalawat bersama menjelang shalat. Buat saya itulah Islam yang saya kenal.

Ketika SMA di Semarang, barulah saya kenal dengan beberapa teman Muhammadiyah. Saudara saya ini nggak pakai qunut saat Subuh. Dan setelah shalat tidak ada dzikir bersama. Perbedaan itu rakhmat, kata Kyai kampung saya. ‘Yang penting shalat. Yang kurang bener itu orang Islam tapi nggak Subuhan.’

Jadi sampai SMP dan SMA, Islam buat saya cuma ada dua. NU dan Muhammadiyah. Setidaknya yang riil di depan saya. Sejak SMP saya sudah banyak membaca. Salah satu favorit saya terjemahan Ihya karangan Imam Ghazali. Juga termasuk buku Fikih Sunnahnya ulama Saudi yang terkenal Sayyid Sabiq. Dari sana saya tahu kalau ternyata banyak banget perbedaan dalam fiqh. Tapi di dunia nyata saya tak melihat mereka.

Ketika kuliah dan bekerja, barulah saya melihat perbedaan2 itu. Beberapa teman memilih manhaj Salafiyyun. Saya tidak begitu mendalami, tapi yang jelas saya baik2 saja dengan mereka. Beberapa ustadz mereka yang saya kenal akhlaknya baik. Lembut dalam berdakwah. Tapi sangat semangat menuju kebaikan. Yang jelas penjelasan mereka berdasar teks Qur’an dan Hadits. Kesan saya lebih tekstual. Agak strict dalam beberapa hal.

Ketegasan mereka memang agak berbeda dengan Kyai kampung saya yang kadang lebih longgar. ‘Sing penting shalat. Yen iso ya sing khusyuk. Yen ora iso khusyuk yo ora opo2. Kowe isih shalat wae wis apik…’ Alhamdulillah..

Suatu hari saya diberi kesempatan Allah ke Mekah dan Madinah. Saya bertemu banyak saudara di sana. Dan satu hal yang mengagetkan saya adalah tentang tasbih.

Saat saya mencoba berdzikir dengan tasbih, tiba2 seorang saudara menegur saya dengan nada agak tinggi. ‘Bid’ah!’ Dan dilanjutkan kalimat bahasa Arab lain yang saya nggak mengerti. Tangannya digoyangkan kanan kiri. Intinya ingin mengatakan kalau Rasulullah tidak pernah mengajarkan memakai tasbih.


Baiklah. Saya langsung browsing dan mencari pendapat ulama tentang tasbih. Ooo. Ok. Ternyata memang sebagian ulama mengharamkan. Sebagian membolehkan. Kembali saya bertanya pada Kyai Kampung saya. ‘Lha wong kowe yen ora nyekel tasbih ora eling Gusti Allah. Dosamu bid’ah mergo nyekel tasbih kuwi luwih cilik daripada dosamu ora eling Gusti Allah.’
Alhamdulillah. Saya lega. Saya nggak terlalu buruk rupa.

Ketika menjadi dewasa, saya banyak membaca dan mendengar perdebatan antara dua kubu yang berbeda. NU dan Salafi. Buat saya keduanya baik. Saya mengambil yang baik2 saja dari mereka. Kalau ada kurangnya ya saya anggap biasa. Namanya juga manusia.

Hari2 ini saya memfollow Telegram dan IG saudara2 salafi saya yang lebih tegas. Ada di https://t.me/matanminhajj

Saking tegasnya mereka bahkan mentahdzir Ustadz Salafi lain yang umatnya sudah jutaan… Hujjahnya juga keren. Rujukannya dari ulama Saudi langsung. Juga berdasar hadits yang shahih.
Hadeh.. Tambah bingung saya. Iki endi sing bener…

Akhirnya saya kembali duduk di masjid. Mengenang Kyai Kampung saya. Rindu pada kalimatnya yang teduh…
‘Kowe isih shalat wae wis apik le…’

Purwokerto, 5 Juni 2020. Sehari menjelang hari meninggalnya almarhumah Eyang Eni… Al Fatihah…