Satu Sore di Roma

Sambil menunggu bis di halte Veneto. Dekat Hardrock Roma. Bis nomor 160. Tak kunjung tiba. Seorang perempuan Eropa memandangku dari sudut mata. Cahaya matahari sore suam-suam di kulitnya.

Bis nomor 160 datang dari kejauhan. Riuh manusia turun. Aku menunggu. Bergegas.

Di atas bis. Kulihat manusia-manusia. Asing. Tak kenal. Tak menyapa. Di balik kaca ada seorang perempuan bersepatu merah. Berbaju lusuh. Tatapan kosong. Takut. Mungkin perempuan itu merasa sendiri di sini. Atau ia takut pada kematian yang entah menunggu di mana. Menyergap diam-diam. Pengkhianat yang pasti dinanti.

Sampai dekat hotel, aku berhenti. Sebentar. Ada yang berbeda. Persis di sebelah hotel memang sebuah gereja. Dindingnya coklat. Tampak tua dan sunyi. Gereja itu bertaman tak terawat di sampingnya, bisa kulihat dari kamarku. 

Sore itu ada banyak orang di sana. Sebagian memakai pakaian hitam. Mereka merayakan sesuatu. Aku lewat dalam diam. Sungkan. 

Di kamar. Kubuka pintu balkon samping. Taman gereja yang sepi tak terawat menungguku. Lonceng berbunyi. Suara burung gagak terdengar gelisah. 

 

 

Roma dan New York.

Roma dan New York itu dekat. Dari mataku cuma sejengkal.
IMG-20160829-WA0042

Ini saat aku membaca puisi pertama buku ini di Roma. Satu pagi di akhir Agustus 2016.

Roma 2016 (bag ke-2)

Siang ini, setelah lelah menyusuri jalanan kota Vatican, aku duduk di sebuah sudut kota Roma.
Di sebuah bar yang tiap kali kulewati menuju stasiun metro Circo Massimo.
Aku duduk di sana. Dan bukan satu-satunya yang sendiri.
Ada lagi seorang yg super gemuk duduk di depanku. Laki2 Eropa.

Ia tampak tak bahagia. Entah kenapa.

Lantas sepasang laki2. Entah sepasang kekasih atau bukan di sudut lain.

Pelayan, yang gantengnya melebihi artis Indonesia mendekat. ‘Aku pesan pizza. Yang kecil saja.’ Tapi tak ada yang kecil. Semua seloyang.
Baik.
Kupikir nanti kubungkus buat makan malam. Entah dimana.
Sambil menunggu, kembali kubaca buku puisinya Aan Mansyur. Beberapa terlewat. Yang terngiang satu.  Judulnya “Ciuman Perpisahan”.

Hmm, kurasa sebenarnya aku bisa lebih baik dari dia. Lebih baik membuat puisi maksudku. Tapi kapan? Kesombongan yang tak perlu. Satu yang perlu. Bukti. Dan itu aku yang tak punya.
Hehehe. Mungkin sore ini. Kataku beralasan. Dasar.

Segera setelah paragraf ini selesai, Bar Circo Massimo jadi ramai. Dan aku tengah benci keramaian.
Entah kenapa.

Ini beberapa foto yang sempat kuambil di Roma.

Dan ini link saat aku membaca pusi Aan Manshur yang cantik, Ciuman Perpisahan dg latar belakang musik Olafur Arnalds, Film Credit.

Roma 2016

Aku tak tahu kenapa tulisan ini kuberi judul Roma 2016. Apakah akan ada Roma 2017? Entahlah.

Kota ini terasa sepi. Beda dengan Paris yang hiruk pikuk dan high tech. Roma sunyi dan sepi. Tua.

Kebetulan aku tinggal di hotel Domus Aventina. Sisi kota yang tak terlalu pikuk. Kamarku juga ada di lantai bawah. Dengan taman berbalkon yang kurang terawat. Pohon tua di samping bangunan lama tak berwarna.

20160827_080940

Tapi aku tak peduli. Aku cuma butuh ketenangan yang sunyi. Mencekam yang diam. Ditemani  Olafur Arnalds, musiknya mengiris, tak lekang dipecah kepakan burung di taman luar.

Diam-diam, lirih kubaca puisi M Aan Mansyur.

Silakan klik judul puisinya jika ingin mendengar rengeng2 saya dan aransemen Olafur Arnalds sebagai latar.. 

Ketika Ada yang Bertanya Tentang Cinta. 

Surat yang Terlambat

untuk almarhumah guruku Dr Dyah, SpJP. Al Fatihah..

Dokter..
Aku cuma ingin minta maaf.
Karena surat ini terlambat.
Seharusnya ditulis sejak dulu.
Sejak lulus kuliah spesialis dan meninggalkan Surabaya.
Tapi Dokter tahu, sangat tahu kalau muridmu ini super sibuk.
Dan Dokter pasti tak pernah berharap surat ini datang tepat waktu.
Iya, aku yang salah.
Aku yang harus membayar mahal.
Membayar mahal karena surat ini jadi terlambat.
Sangat terlambat hingga hari Izrail menjemputmu.

Dok..
Aku cuma ingin berterima kasih.
Terima kasih karena telah percaya pada muridmu ini.
Terima kasih karena telah membantu hidup keluarga kami saat kami kesusahan dulu.
Terima kasih karena membuatku bisa menyekolahkan anak2 dengan memberikan jatah menjadi tutor pengajar EKG. Meski Dokter tahu aku masih belum cukup pantas.
Tapi Dokter juga tahu aku butuh uang itu.
Agar bisa hidup cukup layak di Surabaya.

Dokter..
Terima kasih karena telah memarahiku.
Terima kasih karena telah mendidikku dengan selayaknya.
Terima kasih karena telah menginspirasiku.
Maaf kalau aku belum cerita kalau kini aku juga membuka kursus EKG. Seperti juga Dokter dulu.
Tapi yang ini kecil-kecilan. Gratis pula.
Aku pingin bisa menjadi bermakna untuk banyak orang seperti Dokter.

Coba Dokter bayangkan, berapa pasien yang bisa selamat karena murid-murid kursus EKGmu Dok?

Dok..
Sekali lagi aku minta maaf karena surat ini terlambat.
Aku minta maaf.

m.y.s

Bagi yang ingin mendengar saya membacanya. Silakan klik di sini.