Sang Musafir, Mohamad Sobary

Penyakitku kumat lagi. Bukan. Bukan ayan ataupun stress akibat terlalu banyak tugas. Tapi penyakit beli buku. Masak dalam 2 hari berturut-turut mampir ke Toga Mas terus 😦 .

Kemarin sebenarnya cuma mau beli peta kota Surabaya. Tapi malah gak jadi, karena tidakada peta yang lengkap ttg daerah Surabaya barat dan Benowo. Yo wis.

Trus pas pegang2 Eleven Minutes-nya Paulo Coelho, nggak sengaja ketemu bukunya Kang Sobary. Tinggal satu di Toga Mas. Baca sekilas, isinya menurutku bagus . Bingung mau pilih mana, nekat saja tak buka sampul plastiknya Eleven Minutes. 🙂 Maaf….

Hmm. Entah kenapa belum ada ‘chemistry’ dengan novel Coelho yang ini. Akhirnya Sang Musafirlah yang ditakdirkan Allah terbawa olehku ke kasir.

Sebelum membacanya jadi ingat kata-kata Kang Mohamad Sobary di Kompas beberapa tahun lalu. Saat itu aku masih PTT di Grabag, Magelang.  Kalo gak salah  : “Beragama tidak dengan sorban dan jubah. Tapi beragama ada di dalam hati yang tunduk.”

Hari Ini Tengah Membaca : Bilangan Fu, by Ayu Utami

Isinya agak rumit. Jujur aku lebih suka Saman. Tapi aku senang buku ini karena lakonnya seorang pemanjat tebing. Jadi ingat masa lalu, pas ikut Maladica. Ah, jadi ingat alm Anggek dan Kothe…

Hari Pertama Sekolah

Hari ini adalah hari pertama gadis kecilku sekolah.
Kupikir ia cukup tangguh untuk langsung kutinggal, karenanya aku hendak terus memutar motor ke rumah sakit. Tapi entah kenapa hatiku tak tenang.

Lantas aku pun turun. Melangkah masuk ke halaman sekolah.
Tergagap di tengah lautan manusia kecil.
Mencoba mencarinya di deretan anak-anak baru. Tak ketemu.
Beberapa menit berlalu. Dimana gadis kecilku?

Ternyata ia ada di luar barisan, berdiri sendiri, di dekatku.
Syukur Tuhan masih mempertemukan kami.
”Nduk, kenapa di sini, kelas satu kan di sana?”
”Tadi aku ditinggal Bapak.”
Jawaban itu terasa benar menusuk. Sebagian ibu-ibu anak2 baru memang berdiri di sana, mengawasi buah hati mereka.

Ah, sesungguhnya, aku tak rela memberikan sebagian waktu anakku pada sekolah.
Mereka yang berisi peraturan dan larangan, tetapi sering lupa memberi alasan.  Sekolah yang membebani, yang sering  tak membahagiakan.
Atau ini cuma rasa sedih seorang bapak karena anaknya tak lagi kecil?
Aku ingin sekali bisa menungguinya. Memastikannya tak sendiri di tengah manusia. Tapi kurasa pilihan itu pun tak bijak. Tak memandirikan. Tak mendidik.

Akhirnya dari jauh kutinggal ia. Karena mungkin ia sesungguhnya tak sendiri. Ia akan menemukan teman.

Perjalanan Dengan Kereta Barang di Surabaya(2)

Di Stasiun Wonokromo aku turun, kereta komuter terus jalan ke selatan. Tak ada tempat duduk. Semua berdiri menunggu sesuatu. Entah apa.
Sekejap dari selatan berjalan pelan kereta minyak. Tangkinya berhenti tepat di depanku.
Aku diam. Dalam pikiranku berkelebat keinginan untuk naik.
Pelan kereta minyak mulai bergerak. Aku memutuskan untuk melakukannya.

Perjalanan dimulai!
Beberapa pasang mata memperhatikan aku heran.
Bagaimanapun aku kelihatan cukup rapi, beransel, yang kalo isi ranselnya tembus pandang pasti akan makin mengundang tanya.
Membawa laptop dan stetoskop, tapi berdiri di antara sambungan kereta minyak, mendengarkan gemuruh suara lokomotif memekakkan telinga.

Angin terus menghembus. Dan disinilah aku. Berjalan menembus kota Surabaya menaiki kereta minyak.

Kereta terus jalan di sela-sela perkampungan, entah menuju kemana.
Di kanan kiriku bertaburan jemuran, kandang ayam, tempat sampah, anak-anak bermain, seorang lelaki menangis, seorang wanita tua tertawa.
Di sebuah stasiun khusus kereta barang di ujung Surabaya utara(aku lupa namanya), ia berhenti.
Aku turun, dan pulang.

Pulang dengan rasa puas karena telah melakukan sesuatu. Sesuatu yang takkan pernah terpikirkan oleh para rekan seprofesiku.  🙂

Sebuah Pertemuan, Sekilas Ingatan Tentang Purworejo

Siang tadi, di sebuah seminar, sebuah pertemuan mengingatkanku pada sebagian mozaik masa lalu. “Darimana?”tanyaku. ”Purworejo.” Jawaban itu terasa lembut di telinga dan hatiku. Sungguh tak kusangka kalau di Surabaya, aku akan bertemu dengan seseorang yang akan menyebut nama kota yang pernah mengisi hari-hari masa kecil.

Akibatnya sisa hari iniku penuh dengan ingatan tentang perjalanan dari Semarang menuju Purworejo menjelang lebaran yang dulu sering kulakukan. Semata untuk menengok Simbah Putri, yang saat itu sudah begitu sepuh.

Itu adalah momen yang tak terlupakan. Karena tiap kali menuju ke sana, sering sekali Bapak menghentikan mobil tuanya, berhenti di pinggir jurang jalur Magelang-Purworejo. Tiap tahun kami tak pernah lupa, dan memang mudah sekali menemukan lokasi itu. Karena tempat itu adalah turunan paling curam sepanjang Magelang- Purworejo. Pemandangannya indah. Jauh di bawah sana tampak arus sungai mengalir deras di sela batu gunung.

Ibu, Bapak, aku dan adik lelakiku menggelar tikar, membuka bekal makanan, mengurai penat. Sungguh, aku ingin sekali bisa mengulang peristiwa itu.

Tiap lebaran tiba, saudara-saudaraku dari Jakarta sering sudah datang lebih dulu di rumah Simbah. Rumah Simbahku, seorang pensiunan pegawai PJKA, tampak tua. Tempatnya tak terlalu jauh dari alun2 dan gedung eks Sekolah Pendidikan Guru, terletak dekat dengan komplek sekolah dasar. Saudara-saudaraku dari Jakarta tampak percaya diri. Termasuk dalam menghadapi masa depan. Tapi setelah tahun2 berlalu, barulah aku tahu, bahwa tidak semuanya akan berakhir seperti yang kita ramalkan.

Malam2 di Purworejo adalah malam yang sunyi. Tapi masih lebih ramai daripada desa tempatku tinggal di masa kecil bersama Bapak dan Ibu. Kami, keturunan Martodihardjo, kadang berjalan menuju alun2 Purworejo, sesekali minum wedang ronde di bawah bintang. Pulangnya pun tetap jalan kaki. Berlari-lari di tengah jalan (jalan Pahlawan?) yang kadang terasa betul sepinya.

Habis sholat Ied di masjid besar, biasanya kami ke makam Simbah Kakung. Menabur bunga. Berdoa. Berharap malaikat tak segera menarik tangan lembutnya saat Ramadhan berakhir.
Pertemuan siang tadi mengingatkanku tentang sumirnya waktu, rapuhnya kita ditelan masa. Sekaligus indahnya masa lalu, serta masa kini yang harus betul2 kujaga.

Terima kasih pada kawanku. Juga pada semangat yang kau tunjukkan dengan datang ke pikuknya Surabaya, jauh dari Purworejo yang hening. “Semangat, itu satu-satunya yang kumiliki saat ini.” Kalimat yang bagus. Mengingatkanku pada idealisme bertahun lalu saat memulai perjalanan ini.

Tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Pasti ada alasan mengapa Allah menciptakan pertemuan itu. Terima kasih.

Belajar Menerima ODHA, Belajar Menjadi Daun(Jawa Pos 2 Juli 2008)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Dirgo (nama samaran), seorang penderita HIV/AIDS (ODHA) stadium 4 yang ditolak pulang oleh warga seputar tempat tinggalnya di Surabaya bukan yang pertama mengalami nasib nahas itu. Mungkin juga bukan yang terakhir (Jawa Pos 29/6/08). Untuk kalangan medis pun, menghadapi dan merawat seorang penderita ODHA bukan perkara mudah.

Apalagi bagi masyarakat awam. Sebagian besar kita masih memiliki rasa enggan, mirip perasaan suci yang dimiliki seorang rahib Bani Israil, saat seorang pemuda bertanya, “Aku telah membunuh 99 manusia, masih adakah jalan bagiku untuk bertobat?”(HR Bukhari/Muslim). Tidak ada. Jawaban singkat itu mewakili kesombongan sebagian besar manusia. Seakan merekalah yang memiliki pintu-pintu surga.

Padahal, siapa tahu kalau sebenarnya pintu tertutup untuk ODHA adalah pintu Tuhan yang terbuka? Pintu terbuka yang mengajarkan ODHA memanfaatkan sisa hidup dan mengakhirinya dengan layak. Dan mungkin pintu terbuka untuk kita agar bisa berkaca, lebih rendah hati, dan akhirnya mati dengan layak pula. Kematian yang belum tentu lebih mulia dibanding mereka. Baca lebih lanjut