Siang tadi, di sebuah seminar, sebuah pertemuan mengingatkanku pada sebagian mozaik masa lalu. “Darimana?”tanyaku. ”Purworejo.” Jawaban itu terasa lembut di telinga dan hatiku. Sungguh tak kusangka kalau di Surabaya, aku akan bertemu dengan seseorang yang akan menyebut nama kota yang pernah mengisi hari-hari masa kecil.
Akibatnya sisa hari iniku penuh dengan ingatan tentang perjalanan dari Semarang menuju Purworejo menjelang lebaran yang dulu sering kulakukan. Semata untuk menengok Simbah Putri, yang saat itu sudah begitu sepuh.
Itu adalah momen yang tak terlupakan. Karena tiap kali menuju ke sana, sering sekali Bapak menghentikan mobil tuanya, berhenti di pinggir jurang jalur Magelang-Purworejo. Tiap tahun kami tak pernah lupa, dan memang mudah sekali menemukan lokasi itu. Karena tempat itu adalah turunan paling curam sepanjang Magelang- Purworejo. Pemandangannya indah. Jauh di bawah sana tampak arus sungai mengalir deras di sela batu gunung.
Ibu, Bapak, aku dan adik lelakiku menggelar tikar, membuka bekal makanan, mengurai penat. Sungguh, aku ingin sekali bisa mengulang peristiwa itu.
Tiap lebaran tiba, saudara-saudaraku dari Jakarta sering sudah datang lebih dulu di rumah Simbah. Rumah Simbahku, seorang pensiunan pegawai PJKA, tampak tua. Tempatnya tak terlalu jauh dari alun2 dan gedung eks Sekolah Pendidikan Guru, terletak dekat dengan komplek sekolah dasar. Saudara-saudaraku dari Jakarta tampak percaya diri. Termasuk dalam menghadapi masa depan. Tapi setelah tahun2 berlalu, barulah aku tahu, bahwa tidak semuanya akan berakhir seperti yang kita ramalkan.
Malam2 di Purworejo adalah malam yang sunyi. Tapi masih lebih ramai daripada desa tempatku tinggal di masa kecil bersama Bapak dan Ibu. Kami, keturunan Martodihardjo, kadang berjalan menuju alun2 Purworejo, sesekali minum wedang ronde di bawah bintang. Pulangnya pun tetap jalan kaki. Berlari-lari di tengah jalan (jalan Pahlawan?) yang kadang terasa betul sepinya.
Habis sholat Ied di masjid besar, biasanya kami ke makam Simbah Kakung. Menabur bunga. Berdoa. Berharap malaikat tak segera menarik tangan lembutnya saat Ramadhan berakhir.
Pertemuan siang tadi mengingatkanku tentang sumirnya waktu, rapuhnya kita ditelan masa. Sekaligus indahnya masa lalu, serta masa kini yang harus betul2 kujaga.
Terima kasih pada kawanku. Juga pada semangat yang kau tunjukkan dengan datang ke pikuknya Surabaya, jauh dari Purworejo yang hening. “Semangat, itu satu-satunya yang kumiliki saat ini.” Kalimat yang bagus. Mengingatkanku pada idealisme bertahun lalu saat memulai perjalanan ini.
Tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Pasti ada alasan mengapa Allah menciptakan pertemuan itu. Terima kasih.
Filed under: seputar hidupku | Tagged: Pertemuan, Purworejo | 3 Comments »