Sajak Ketika Kami Bertumbangan

Pelan-pelan.
Satu-satu.
Kami bertumbangan.

Ada yang kukenal.
Ada yang tidak.
Tapi mereka saudaraku.

Ya Allah, berilah ampunan dan keluasan kubur bagi teman-teman kami yang Kau panggil.

Kuatkan dan beri kesehatan pada kami yang ditinggalkan untuk tetap merawat makhluk-Mu yang sakit.

Tunjukilah kami jalan yang lurus..
Wafatkanlah kami sebagai seorang yang Engkau ridhai..

Ya Hayyu.. Ya Qoyyum…
Ya Hayyu.. Ya Qoyyum..
Ya Allah yang Maha Kekal dan Selalu Mengurus kami..
Ampuni kami..

Semarang, 26 Maret 2020.

Akankah Nasib Indonesia Lebih Baik, atau Lebih Buruk dari Italia?

Maaf kalau judul tulisan ini terkesan memprovokasi. Tapi terus terang saya geram bukan main. Karena sampai hari ini, masih saja banyak orang yang meremehkan wabah Covid-19. Bahkan ada beberapa orang yang meremehkan bahaya pandemi Covid-19 dengan alasan bahwa obat dari Covid-19 sudah ditemukan. Seakan dengan obat Chloroquin dan Avigan (Favipiravir) yang sebentar lagi didatangkan besar-besaran ini, ada kepastian bahwa pasien Covid-19 akan sembuh. Ah, sebagai dokter yang sayang pada pasien-pasien saya, saya sangat berharap angan-angan ini bisa terwujud. Tapi saya tahu, kalau ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi kesembuhan pasien.

Korea Selatan, sebagai salah satu negara yang terbilang berhasil mengatasi wabah Covid-19, masih belum mau menggunakan Avigan sebagai salah satu terapi untuk pasien Covid-19. Mereka masih menunggu penelitian lebih lanjut terkait efek samping Avigan pada binatang coba. Ini menunjukkan bahwa obat ini bukan segala-galanya.

Berikut adalah transkrip bebas bahasa Indonesia dari kuliah Profesor Stefano Nava, Chief of Respiratory and Critical Care Unit dari Bologna Italy dalam sebuah telekonferens yang bisa diakses di youtube( link : https://youtu.be/rMT97toZNJw). Prof Nava mulai berbicara di menit ke 21:54. Jika kita mau mendengarkan(dan ini kadang susah dilakukan oleh kita), kuliah beliau akan menyadarkan kita bahwa wabah Covid-19 ini sangatlah serius. Kasus kematian yang tinggi di Iran mungkin karena fasilitas kesehatan Iran yang terbatas akibat embargo Amerika. Tapi bagaimana dengan Italia, salah satu negara dengan fasilitas kesehatan terbaik di dunia?

Berikut terjemah bebas dari kuliah Prof Nava dengan istilah medis yang sebagian saya awamkan.

Saat pandemi mulai terjadi, kami hanya menangani, sebagian besar pasien dengan usia lanjut dengan banyak penyakit penyerta sebelumnya. Dalam 3 minggu pertama, rata-rata berusia 75 tahun. Biasanya dengan hipertensi, obesitas dan atau diabetes. Tetapi pada seminggu sampai 10 hari terakhir, gambarannya berubah. Saat ini semakin banyak pasien usia muda yang masuk dalam kondisi kritis. Di unit kami ada pasien 30 tahun yang sebelumnya sangat-sangat sehat.  Dan begitu pula saat ini makin banyak pasien kritis yang berusia 40-50 tahun. Mereka yang berusia tua tetap ada, tapi epidemiologinya sangat berubah dalam 7-10 hari.

 “Saat ini fenotipe pasien juga berubah. Pada mulanya kami masih punya waktu 2,3, sampai 4 hari untuk melihat apakah seorang pasien akan berespon baik atau tidak terhadap pengobatan. Tapi 10 hari terakhir ini tidak. Sekarang pasien memburuk sangat-sangat-sangat cepat(beliau menyebut kata ‘very’ 3 kali). Seperti seakan sebelumnya Anda melihat pasien ini masih bisa membaca surat kabar, tapi tiba-tiba dalam 3,4, sampai 5 jam kemudian tiba-tiba pasien tersebut harus dilakukan intubasi(pemasangan selang untuk mesin alat bantu napas lewat mulut). Sekarang pasien kami memburuk sangat-sangat cepat dan tak terduga. Jika 12 sd 24 jam sebelumnya pasien datang ke RS dalam kondisi stabil dengan kadar oksigen 94 %, tapi tiba-tiba saja mereka memburuk dan jatuh dalam kondisi kritis ‘gagal napas’ yang berat.

Perlu diketahui, Italia memiliki problem yang berbeda dengan China. Di Eropa, Italia memiliki kebutuhan ruang perawatan intensif yang paling sedikit dibanding negara lain. Sepersepuluhnya dibanding Amerika. Dan ini menyebabkan saat pandemi terjadi ruang rawat intensif kami segera penuh dalam waktu sangat singkat. Kami terpaksa merawat pasien di ruang UGD, ruang operasi, bangsal bedah, bangsal THT, semua tempat yang ada di RS.

Contohnya adalah di RS di tempat saya bekerja. Dengan 60 tempat tidur ICU dari 1250 tempat tidur RS, maka ICU kami sangat cepat penuh dan akhirnya kami harus merawat pasien kritis di bangsal. Di sinilah keputusan untuk melakukan intubasi, misalnya pada pasien yang sangat tua menjadi dipertanyakan. Dan kami melihat trend penurunan usia pada kebijakan “Tidak usah intubasi” pada pasien yang sebenarnya membutuhkan (yang artinya membiarkan pasien tersebut meninggal).

 Mula-mula pada batas usia 80 tahun, kemudian turun menjadi 75 tahun, dan turun lagi hingga maksimal usia 70 tahun. Ini sangat menakutkan… Kami harus memutuskan apakah seorang pasien yang dalam kondisi ‘gagal napas’ harus kami masukkan ke ICU dan dipasang ventilator (mesin alat bantu napas) atau tidak (yang akhirnya berarti membiarkan pasien tersebut meninggal) berdasar usia dan kemungkinan ia akan bertahan hidup. Ini sangat menakutkan..”

Akankah nasib Indonesia lebih baik atau lebih buruk dari Italia? Jika masyarakat kita masih menganggap enteng wabah ini, jika Pemerintah masih kurang tegas pada mereka yang melanggar aturan “social distancing”, maka bisa saja kita akan berakhir lebih buruk. Perlukah opsi “lockdown’ dilakukan di sini seperti di Italia dan negara-negara lain? Jawabannya adalah entah, dan pasti  menuai perdebatan panjang seperti di TV.

Jadi, cara paling mudah adalah dengan menghitung jumlah tenpat tidur ICU di RS terbaik di kota tempat kita tinggal. RS terbaik dengan dokter-dokter terbaik. Berapa jumlah bed ICU di sana? Mungkin ada sepuluh, bisa saja 20, atau bahkan 30 bed. Tapi apakah itu cukup? Jika bahkan di RS Prof Nava dengan 60 tempat tidur ICU saja dokter tetap harus memilih, pasien mana yang diperjuangkan dan mana yang harus dibiarkan meninggal..

Akankah kita satu hari harus merelakan paman, bibi, bahkan ayah atau ibu kita meninggal di depan mata kita tanpa pertolongan yang layak karena ICU yang penuh? Bagaimana jika ternyata bahkan kita sendiri yang terinfeksi dan tiba-tiba memburuk dalam hitungan jam sedangkan ICU penuh? Hanya waktu yang bisa menjawab…

Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh bangsa Indonesia. Semoga Allah menolong kita. Hanya saja, ingatlah wahai saudaraku, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum yang tidak berusaha mengubah apa yang ada pada diri mereka…

Dr. M. Yusuf Suseno, SpJP.

Semarang, dini hari 22 Maret 2020.

 

 

 

 

 

 

 

Surat Tentang COVID 19 Untuk Pasien2

Kepada Yth Bapak Ibu Pasien Poli Jantung RS Telogorejo Semarang, RS DKT Purwokerto, dan RS Harapan Ibu Purbalingga yang saya kasihi..

Assalamu alaikum wr wb.
Bersama tulisan ini, saya hanya bermaksud mengingatkan kepada Bapak Ibu pasien saya tentang keseriusan dari wabah virus COVID 19.

Mohon dengan sangat agar jangan menganggap remeh, salah satu analisa memperkirakan kalau wabah Covid 19 di Indonesia seperti fenomena gunung es. Dimana kelihatannya tidak banyak tapi sebenarnya banyak sekali. Dan demi Allah, virus ini tidak mengenal ras suku maupun agama. Semua orang bisa terkena.

Harus Bapak Ibu ketahui, salah satu faktor resiko yang menyebabkan komplikasi dan kematian akibat infeksi virus Covid 19 adalah pasien dengan masalah jantung sebelumnya. Selain juga diabetes, usia lanjut, dan kelainan paru.

Jadi adalah sangat sangat sangat penting bagi Bapak Ibu untuk menjaga diri agar tidak tertular virus ini.

Apapun, saya mohon tetap waspada. Karena, ingat, masa INKUBASI atau masa pertumbuhan virus dari terkena kontak sampai menimbulkan gejala antara 2 sd 14 hari!
Artinya : Bisa saja orang yang tampak sehat menjadi sumber penularan karena ia memang belum menunjukkan gejala.

Saya mohon agar Bapak Ibu sekalian melakukan langkah-langkah pencegahan terbaik yang bisa Bapak Ibu lakukan.

  1. Seringlah mencuci tangan dengan sabun. Terutama setelah keluar rumah. Setelah menyentuh barang yang bersifat ‘umum’ atau ‘bersama’. Sediakan hand sanitizers dan seringlah memakainya.
  2. Mohon menghindari kontak fisik ‘berjabat tangan’ dengan orang lain. Jika terpaksa, segera mencuci tangan setelah itu. Pikirkan keluarga kita. Siapa tahu tetangga kita tadi baru saja bersalaman dengan orang lain pembawa virus Covid 19.
  3. Jangan menyentuh area wajah Bapak Ibu kecuali dengan tangan yang sangat bersih.
  4. Pakailah masker ketika terpaksa pergi ke tempat umum. Kalau perlu tetaplah berada di rumah.
  5. Jaga jarak minimal 2 meter dengan orang lain. Agar jika ternyata orang tersebut tiba2 batuk atau bersin, virus tidak langsung mengenai kita.
  6. Usahakan shalat dengan memakai sajadah Bapak Ibu sendiri. Terutama jika Bapak Ibu memutuskan untuk tetap shalat berjamaah di masjid. Kurangi kontak dengan siapapun selama melakukan ibadah.
  7. Hindari bepergian ke tempat umum kecuali jika sangat perlu.
  8. Setelah Bapak Ibu keluar rumah, segera cuci pakaian yang dipakai.
  9. Jaga kondisi dengan banyak istirahat, gunakan waktu untuk berdoa mendekatkan diri kepada Tuhan dan tetap minum obat.

Lantas apa yang harus dilakukan jika Bapak Ibu mengalami gejala flu?
Saran saya, tetaplah konsumsi obat-obat jantung rutin Bapak Ibu, dan pakailah masker. Minum obat penurun demam untuk mengurangi gejala. Segera konsultasi dengan dokter jika kondisi memburuk terutama jika ada keluhan sesak. Jaga kesehatan, tidur cukup, minum vitamin, dan bagi yg ada diabetes, usahakan agar kadar gula benar-benar terkontrol.

Bismillah, saya berdoa semoga Allah melindungi kita semua. Semoga kita selalu dalam kondisi sehat.
Aaminn.

Wassalamu alaikum wr wb.

Dr. M Yusuf Suseno, SpJP.

Bagaimana Cara Saya Menjaga Ibu Bapak dari Pandemi COVID 19?

Ayah saya kelahiran 1940. Jadi usia beliau 80 tahun. Ibu saya usia 69 tahun dan ada kelainan jantung. Kebetulan beliau tinggal di rumah berdua saja.

Bagaimana cara saya menjaga Bapak Ibu saya dalam Pandemi Covid ini?

1. Beliau berdua saya anjurkan tetap di rumah. Tidak shalat berjamaah di masjid.

2. Tidak ada yg boleh berkunjung kecuali berbicara jarak jauh dan di halaman saja. Kemarin ada yang mengantar paket dan beliau saya anjurkan memakai sarung tangan sekali pakai dan paket disemprot dengan alkohol 70 % sebelum masuk rumah. Sebelum dan sesudah menerima paket memakai hand sanitizer.

3. Semua persediaan makanan saya supply. Jadi beliau tidak harus pergi ke toko manapun.

4. Jika saya membawa 1 bungkus telur, maka plastik telur harus disemprot dengan alkohol 70%. Dan saya sebagai pembawa harus mencuci tangan dan menggunakan hand sterilizer. Karena tidak ada yg menjamin kalau saya bukan carrier. Saat membawakan telur saya juga tidak masuk rumah.

5. Vitamin dan berbagai suplemen saya siapkan jauh2 hari.

6. Bahan makanan saya siapkan jauh2 hari supaya tidak perlu membeli barang di hari2 yang sudah terlalu banyak carrier di kota kami.

7. Saya mendoakan mereka. Semoga Allah memperpanjang usia Bapak Ibu saya dalam kesehatan yang baik agar bisa banyak beribadah kepada Allah..

Aaminn..

Semoga tulisan ini menginspirasi teman2 yang masih diberi kesempatan merawat orang tua yang lanjut usia…

M. Yusuf Suseno.