Mengambil resiko

Saya percaya pada kalimat ini.

Dengan berjalannya waktu, bukanlah kegagalan yang sungguh-sungguh kita sesali.

Tapi penyesalan itu akan menumpuk pada hal-hal yang malah tak pernah kita lakukan, padahal sesungguhnya kita menginginkannya setengah mati.

Semata karena menyerah pada rasa takut, rasa kuatir meninggalkan zona nyaman, dan tak berani mengambil resiko. Juga sering karena langkah yang hendak diambil tak sesuai dengan keinginan banyak orang di sekitar kita.

Mungkin ada baiknya kita sekali-kali duduk menyendiri dan bertanya, apakah hidup yang sekarang kujalani sudah sesuai dengan apa yang ada dalam benakku bertahun lalu?

Saat kita masih muda, saat kita masih optimis dan berani bermimpi?

Bung Karno tak pernah menyesali cita-citanya untuk menyatukan nasionalis, agama, dan komunis dalam Nasakom. Meskipun toh pada akhirnya ia terbukti gagal. Karena ia tahu, jika ia tak berusaha mewujudkan Nasakom semata karena takut dikritik, ia akan lebih menyesal.

Menyesal karena tak mendengarkan suara hatinya. Impian2nya.

Begitu juga kita.

Menurut saya, mewujudkan mimpi tak harus dimulai dari sebuah perubahan besar dan drastis. Seperti meninggalkan pekerjaan atau rumah. Tapi ia bisa dimulai dari yang kecil.

Pada diri saya, ia dimulai dari perjalanan menuju Gramedia dan membeli buku tentang cara menulis artikel yang baik. Lantas membacanya dalam diam.

Saat inipun saya masih terus berjuang mengalahkan ketakutan2 lain dalam diri saya. Dan sungguh itu tak mudah. Hasilnya sering mengecewakan malah.

Namun, setidaknya saya masih dan akan terus mencoba. Adakah cara lain selain mencoba?

Calon Penghuni Ruang Mulia

Aspirasi tetangga terekam dalam ingatan. Membuat mual. Tak penting mungkin. Tapi ngganjel. Apalagi hari-hari menjelang Pemilu 2009 ini. Ada saja suara tak jelas. Asbun.

“Saya nggak peduli siapa yang menang besok. Mau SBY, mau Mega, mau JK, terserah. Saya sudah capek cari duit. Lagi repot diutangi sama ponakan-ponakan yang mencret. Mana rumah kebanjiran padahal hujan baru sebentar.”

 Salah satu ‘asbun’ lain adalah argumen kuno tentang tahta.

Bukankah selain harta, tahta adalah salah satu sumber kesenangan bagi manusia? Jadi mbok biar saja mereka senang-senang memburu tahta selama hidup di dunia? Masalah nanti setelah ‘jadi’ ditawari korupsi, kolusi, dan nepotisme, itu kan nasib. Kalau kuat iman, alhamdulillah. Kalau nggak? Ah, itu kan belum tentu. Siapa sih yang nggak mau ‘dicoba’ dengan yang enak-enak seperti itu? Siapa tahu kuat 🙂

Mungkin akibat argumentasi semacam itulah gambar manusia terpampang di jalan-jalan. Mulut gang, atas pohon, depan warung, tepi sungai, atap rumah, kaca angkot. Beberapa terlalu banyak hingga membuat suntuk. Senyum manis. Senyum terpaksa. Waduh2, apa kota ini milik sampeyan-sampeyan saja to Cak?

Padahal kata yang empunya cerita, Narcisus akhirnya mati kehausan. Cinta yang berlebihan pada diri sendiri membunuh. Air berlimpah di telaga tak tersentuh, takut merusak bayangan wajah sendiri. Sigmund Freud, seorang pintar yang tak disukai banyak orang mendaulatnya sebagai penyakit.

Tulisan : Selamat dan Sukses atas Penunjukan Tn A sebagai calon dari partai X, terpampang di spanduk. Siapa sesungguhnya yang memberi selamat? Tidak jelas. Siapa yang mengucap sukses? Tidak jelas. Apa Tn A  tidak kuatir lama-lama terkena gejala Narcissistic Personality Disorder(NPD) alias gangguan kepribadian narsis?

Jelas tidak. Para caleg yang terhormat kan sudah diperiksa lengkap dokter. Sudah diurut bobot, bibit, bebetnya. Sudah di fit dan proper test oleh partainya. Jadi tidak pada tempatnya untuk meragukan. Lha kalau ditanyakan? Silakan saja. Mumpung bertanya belum dilarang.

Namun jika setelah mereka terpilih sebagian dari mereka  melupakan kita, jangan kaget. Baca saja sajak Gus Mus, Di Ruang Mulia.

Di ruang mulia berpendingin itu mereka ternganga-nganga atau mengigau bersama-sama menyebut-nyebut nama kita seolah-olah kita adalah keluarga mereka. Keluarga apa? Atau anak-anak asuh mereka, anak-anak asuh apa? Kitalah mata pencaharian mereka satu-satunya.

Benarkah? Semoga tidak.

Syaukani, Antara Singapura dan Ponari (Kaltim Post 27/2/09)

Mengapa keluarga Pak Syaukani Hasan Rais, mantan bupati Kutai Kartanegara, ingin membawa beliau ke Singapura?(Kaltim Post 25/2/09) Apakah dokter di RS Pusat Pertamina tidak cukup kompeten untuk menangani Pak Syaukani? Apa mereka sudah angkat tangan? Meski kurang nyaman didengar, sangat wajar bila pertanyaan itu muncul. Apalagi karena keluarga merasa kondisi mantan pejabat yang tersandung kasus korupsi tersebut tak kunjung membaik setelah berminggu-minggu perawatan di rumah sakit.

Bagaimana jika kita bawakan air dari dukun cilik Ponari Jombang? Siapa tahu sembuh? Bukankah menurut kabar burung Ponari juga ampuh? Bukankah ia dipercayai beribu manusia?

Meski berbeda tempat, Singapura dan Jombang, keduanya menunjukkan satu sisi yang sama. Penurunan tingkat kepercayaan pada dunia kedokteran di Indonesia. Juga kegagalan Pemerintah, profesi dokter dan industri kesehatan dalam meyakinkan masyarakat tentang mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan yang paripurna.

Kita harus akui itu. Bukan buruk muka cermin dibelah. Tapi muka kitalah yang mesti dipoles dan diobati jerawat batunya.

Ada beberapa jerawat yang membuat muka dunia kedokteran dan pelayanan kesehatan di negeri kita kurang nyaman dipandang pasien. Akibatnya mereka pun lari ke Singapura, Penang, atau ke ‘dunia lain’, Jombang.

Masalah pertama dan terbesar adalah komunikasi. Menurut Emanuel, ada beberapa model komunikasi antara pasien dan dokter. Tipe tertua dalam tradisi kedokteran adalah model paternalistik, satu model yang masih banyak dipakai di Indonesia. Pada model itu, interaksi antara dokter dan pasien laksana orang tua dengan anaknya. Dokter memastikan bahwa pasien mendapat terapi terbaik. Tapi, jika terjadi efek samping, hubungan dokter-pasien itu pun bisa memburuk dengan cepat. Tuduhan malpraktek sangat mudah berkembang. Isu yang makin menurunkan tingkat kepercayaan.

Saat ini, sesuai perkembangan globalisasi dan media informasi, hubungan dokter-pasien dituntut untuk berubah. Salah satu model lain yang bisa menjadi pilihan adalah model informatif yang setara. Model informatif tersebut menciptakan transaksi terapetik yang lebih terbuka antara pemberi jasa dan konsumen, meski kadang terasa dingin dan tak melibatkan pribadi.

Risiko model informatif itu adalah waktu konsultasi jadi lebih lama, satu hal yang belum didukung oleh sistem kesehatan di Indonesia. Dokter spesialis di Indonesia harus bekerja di beberapa rumah sakit, praktek dari pagi hingga dini hari agar bisa hidup layak. Keramahan dan pendekatan personal yang diajarkan oleh para guru besar di fakultas kedokteran kadang terlupa.

Begitu pula dengan teman sejawat dokter umum. Siapa yang bisa menjamin para dokter di puskesmas, dengan jumlah pasien puluhan, akan sanggup memberikan informasi lengkap serta memberikan sambutan yang ramah pada pasien-pasiennya?

Hal yang mirip terjadi pula pada profesi paramedis, terutama yang bekerja di rumah sakit milik pemerintah. Menumpuknya pasien, berjubelnya pasien yang tidur di lorong rumah sakit, semua memberi beban kerja yang tinggi. Pendekatan pribadi kadang terlupakan. Rumah sakit pun terasa kering dan tak lagi ramah.

Masalah komunikasi akibat beban kerja tinggi tersebut sangat terkait dengan problem diagnosa dan terapi. Beban tersebut menyebabkan sebagian dokter dan perawat mengalami penurunan kinerja. Diburu-buru waktu. Berpindah dari satu pasien ke pasien lain. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Akibatnya pun jelas. Beberapa pasien merasa tidak puas, dan lari ke rumah sakit di luar negeri. Atau ke rumah Ponari.

Masalah keterbatasan alat dan teknologi kedokteran juga cukup mengganggu. Kita harus mengakui bahwa peralatan di puskesmas dan rumah sakit daerah belum cukup memadai dalam penanganan beberapa kasus rumit. Sehingga pasien harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap, dengan dokter yang lebih ahli.

Sayangnya, tidak semua dokter merasa perlu membeberkan fakta tersebut. Sebagian dokter memiliki asumsi bahwa masyarakat Indonesia tidak akan sanggup membiayai pengobatan paripurna tersebut, dan mereka memang benar. Program Jamkesmas dari Pemerintah tidak menanggung biaya untuk transplantasi ginjal maupun transplantasi hati seperti yang dijalani Pak Dahlan Iskan. Namun, mulai kini ada baiknya profesi kedokteran memberikan informasi tentang penanganan maksimal yang bisa ditawarkan oleh dunia kedokteran modern. Informasi ini akan membuat masyarakat sadar bahwa bukan dokter Indonesia yang ‘kuper’, tapi memang ada keterbatasan dalam hal sarana yang terkait dana.

Sungguh, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Kualitas fakultas kedokteran kita pun cukup baik. Banyak mahasiswa Malaysia yang belajar kedokteran ke Indonesia. Alat-alat di rumah sakit rujukan pun cukup lengkap. Bahkan Amerika dan Eropa pun mengakui bahwa mereka tidak ahli dalam semua penyakit. Berbagai jenis penyakit infeksi khas dunia ketiga seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit jantung rematik berada di luar keahlian mereka. Dalam jurnal-jurnal ilmiah mereka menyatakan hal itu.

Namun kelebihan mereka adalah dalam usaha untuk menyamankan pasien dan keluarganya. Jujur saja kita kalah dalam kesadaran dan kesiapan berbisnis kesehatan dibanding Singapura dan Penang. Begitu pasien datang di bandara mereka sudah siap mengantar. Pelayanan di rumah sakit pun begitu cepat. Mereka sangat sadar bahwa rakyat Indonesia adalah pangsa pasar yang besar, dan layanan kesehatan adalah industri jasa yang menjanjikan. Tanpa orang Indonesia, rumah sakit di Singapura dan Penang akan merugi karena investasi yang tak kembali.

Bagaimana dengan Ponari? Setali tiga uang dengan jalan pikiran keluarga Pak Syaukani, para pasien Ponari pun merasakan ketidakpuasan. Hanya saja mereka tak beruang. Rumah Ponari adalah rumah sakit rujukan mereka, Mount Elizabeth dan Singapore General Hospital mereka.

Sebagian dari mereka sembuh, banyak juga yang tidak. Inilah yang disebut dengan efek placebo. Efek plasebo adalah efek yang terjadi pada terapi tanpa substansi yang sesungguhnya. Pil palsu yang berisi gula dan gandum. Operasi tanpa pisau, bahkan tanpa menyentuh kulit pasien. Seorang ahli jiwa, Shapiro, mendefinisikan plasebo sebagai terapi apapun yang menggunakan efek psikologis dan reaksi fisiologi tubuh. Di sini hubungan antara pikiran dan tubuh diuji, hasil interaksi rumit antara si penyembuh, proses terapi, dan pasien itu sendiri.

Mereka yang berbondong mencari Ponari adalah mereka yang putus asa pada dunia kedokteran modern, lantas berpaling pada ‘dunia lain’. Dan menggunungnya harapan, disertai keyakinan yang tulus membuat mereka peka pada efek plasebo sebuah batu. Sebuah efek yang terbukti pada beberapa kasus bisa menyembuhkan. Akhirnya, praktek Ponari pun memiliki gaung yang melebihi terapi kedokteran konvensional

Akankah Pak Syaukani sembuh setelah sampai di Singapura? Akankah mereka yang berduyun ke Jombang menerima manfaat dari batu Ponari? Wallahu’alam.

Penulis :

dr. M. Yusuf Suseno, tengah bertugas di RSUD Taman Husada Bontang, Kalimantan Timur.