Sebuah Pengakuan

Entah kenapa. Tiba-tiba aku ingin menulis. Sudah lama tidak. Kesibukan lain yang entah membuatku lalai dari menulis. Yakni pekerjaanku sebagai dokter jantung yang tak kenal usai.

Aku tenggelam dan menenggelamkan diri dalam ribuan pasien di Purwokerto, Purbalingga dan Semarang setiap bulannya. Di Purwokerto aku menemui minimal 600-an pasien tiap bulan, lantas 300-an pasien per bulan di Purbalingga, dan 500-an pasien di Semarang. Sebagian besar menggunakan BPJS. Dan aku tak mempermasalahkan itu. Sudah empat tahun aku membagikan waktu dan hidupku di tiga kota. Itu belum termasuk perjalanan panjang via darat pulang pergi Semarang-Purbalingga-Purwokerto yang menguras waktu dan energi setiap minggu.

Penguras energi yang lain adalah tindakan kateterisasi jantung dan pemasangan stent di Semarang. Kadang tindakannya beresiko tinggi hingga menghabiskan emosi. Ketakutan-ketakutan akan kegagalan masa lampau. Ilmu dan teknik baru yang terus memaksaku belajar dan belajar.

Beberapa kematian pasien juga membuatku terbebani beberapa hal. Kadang begitu berat hingga membuat emosiku tidak stabil. Mungkin karena aku menyayangi mereka. Dan kurasa, sebagian besar dari mereka menyayangiku.

Kematian pasien-pasien lama di Purwokerto dan Purbalingga membuatku merasa bersalah karena tak bisa menyertai mereka di saat akhir. Sebagian harus berhenti di teman lain karena aku tak ada di sana. Tiap kali berkelebat nama-nama dan wajah dari mereka. Itu membuatku sedih dan ingin menangis. Cengeng memang. Tapi itu tak bisa kuubah. Sedang kematian pasien-pasien di Semarang membuatku merasa bersalah karena kadang aku merasa seharusnya aku membuat pilihan lain yang lebih baik.

Dari kalimat di atas terlihat ada perbedaan tipe hubunganku sebagai dokter dan pasien di Purwokerto-Purbalingga dengan pasien-pasien di Semarang. Pasien-pasien Purwokerto-Purbalingga lebih dekat denganku secara emosional. Mereka lebih percaya, lebih loyal dan itu membuatku merasa lebih bahagia.

Pasien-pasien Semarang lebih berjarak dan rasional, mungkin karena pilihan dokter jantung di Semarang lebih banyak, jadi mudah saja bagi mereka untuk pindah ke dokter lain saat aku dirasa tak sesuai dengan hati mereka. Meski itu tak selalu. Karena ada juga pasien Semarang yang cukup dekat denganku secara emosional.

Tapi apapun dan bagaimanapun aku senang berbagi. Berbagi hidup. Berbagi waktu dan umur. Termasuk dengan mereka. Pasien-pasien yang mempercayakan hidupnya padaku. Seorang dokter jantung yang kadang bisa saja salah. Salah mengambil keputusan. Salah memperkirakan lawan. Dan kadang kalah. Kadang malaikat maut lebih pintar dariku. Atau sebenarnya tidak? Ia selalu lebih pintar, hanya saja bermain cantik dengan membiarkanku menang untuk beberapa waktu.

Sering di saat-saat terberat aku menjalankan profesiku, aku ingin sembunyi. Ingin tak harus menjadi dokter jantung. Ingin tak harus menjadi cardiac intervensionist yang memasukkan kawat ke pembuluh jantung koroner pasien.

Kadang aku cuma ingin tidur dan bahagia. Tapi sungguhkah aku akan bahagia jika aku berhenti bekerja? Sehari mungkin. Dua hari bisa. Tapi seminggu setelah itu aku pasti rindu. Rindu perasaan bermakna. Kangen pada perasaan berhasil melakukan sesuatu. Semacam kecanduan akut pada hormon katekolamin yang menyedot umurku. Aku tahu itu.

Dan akhirnya aku tak pernah bisa berhasil sembunyi. Walau sebenarnya aku cuma ingin tenang beberapa waktu. Masalahnya adalah karena aku juga bahagia saat bersama mereka. Para pasien yang bilang kalau hidupnya lebih baik setelah bertemu denganku. Pasien-pasien yang aku tahu suatu hari aku akan berpisah dengan mereka. Setelah kami bersama mencoba mengalahkan malaikat maut yang sengaja bermain jelek, atau pura-pura cantik. Sebenarnya aku benci dengan kalimat ini. Tapi memang benar, kadang aku merasa ia membuatku merasa menang di satu waktu, lantas kalah di ronde berikut.

Dan aku tahu, satu hari aku akan kalah selama-lamanya. Aku akan terkubur di tanah dan tak bisa menemui mereka kembali.

Ah, hidup jalan terus. Umur yang lama-lama habis. Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil.  Kita bisa memilih menjadi matahari, bintang, bulan, lampu neon, lilin, atau sekadar korek api. Sialnya, banyak orang memilih menjadi gelap. Tapi tak apa. Tanpa gelap, terang tak bisa didefinisikan.

Juga karena pada akhirnya segala sesuatunya akan dihitung. Segala sesuatunya akan ditanya.

Purwokerto-Jakarta 6 Okt 2017.