Memilih dan Menerima Takdir

pilihan

Beberapa hari lalu, aku merasa malu dengan sandal jepitku. Meskipun nyaman dipakai, ternyata ia sudah butut. Lantas masuklah aku ke Ramayana Bontang (swalayan terbesar di sini), kucari sandal baru yang menurutku, tampangnya lebih lumayan. Harganya tentu lebih mahal.

Tiga hari berlalu, ternyata sandal baru itu lebih berat dan permukaan talinya yang ‘keren’ membuat kakiku lecet.  Aku jadi mudah capek dengan sandal baru itu.

Sore ini, di depan kamar, entah kenapa mataku jatuh pada mereka berdua, lantas tersirat, bahwa Allah ingin aku berpikir. Lantas  belajar untuk menerima takdir.

Mengingatkan pada satu hal, bahwa apa-apa saja yang kita pandang baik, belum tentu baik menurut Allah.  Dan apa-apa yang dipandang jelek di sisi manusia, belum tentu jelek di sisi Allah.

Allah Maha Tahu. Kita tak tahu apa-apa.

Kata Hati

Whenever we need to make an important decision,
it is best to trust impulse and passion,
because reason usually tries to remove us from our dream,
saying that the time is not yet right.
Reason is afraid of defeat,
but intuition enjoys life and its challenges.

Kalimat Paulo Coelho  terasa menggigiti hati. Beberapa bulan ini aku sering bimbang. Banyak hal yang menjadi penyebab.  Dan Paulo benar. Sebagian besar berisi ketakutan. Terutama ketakutan pada masa depan yang belum tentu terjadi.

Hari-hari ini tengah membaca buku Ibn Athaillah. Lagi belajar untuk pasrah, sumeleh, surrender..

Frozen

You only see what your
eyes want to see
How can life be what
you want it to be
You’re frozen
When your heart’s not open

You’re so consumed with
how much you get
You waste your time with
hate and regret
You’re broken
When your heart’s not open

frozen2

Maafkan

Kurasa, Allah pula yang membawa kita kemana-mana.
Dulu aku ingat, satu hari lima tahun yang lalu, saat masih PTT, aku datang ke Surabaya. Naik bis Eka jurusan Magelang-Surabaya.
Cuma hendak bertanya2 tentang sekolah.  Ternyata, peristiwa itu adalah bagian dari rahasia Allah.

Ia bahkan  membawaku hingga sejauh ini, hingga pulau Kalimantan.
Siapa yang menyangka percakapan bertahun lalu menggiring takdirku hingga ke Bontang? Siapa menyangka dokter desa dari lereng Merapi bisa naik pesawat terbang?
Kata Ibnu Athaillah, seorang penganut tarekat Syadzilliah, segala sesuatu sudah tergaris. Lantas segala usaha manusia hanya akan mendekatkan ia pada takdirnya.

Aku tahu kalau aku jauh dari sempurna. Seperti juga kebanyakan manusia lain, tentulah tak berwarna putih. Namun kuharap, juga tak sepenuhnya hitam. Hitam dan putih, tidakkah karena tu kita disebut manusia? Sayangnya, karena ketidakputihanku itu, perjalanan hidupku kemarin2 pastilah telah melukai banyak orang. Entah sengaja ataupun tidak.  Sayangnya lagi, aku tak mungkin memutar ulang hidup.

Karenanya, melalui tulisan ini aku minta maaf jika ada teman yang pernah merasa kulukai, terganggu hidupnya, maupun kecewa.

Mulai dari Mas Margono, mas Sur, mb Tri, mb Saskia, mas Andri, mas Rio, mb Aan, mb Tutik, mb Fadilla, mb Tanti, mas Doni, Buce, mb Umira, mb Ika, mb Evy, Yusuf A, mb Peni,  dan Yusri. Juga adik2 kelasku yang lain. Jordan, mb Darti, Novita, Yusra, Lusi, Riana, Teguh, Infan, Miftah, Rahadian, mas Gusti, mas Dodit, dll..

Satu bulan ini aku di Bontang, dan karena jauh, semoga tak mengecewakan, melukai, dan mengganggu hidup. Dan semoga setelah kembali ke Surabaya pun tidak.

Kini aku tengah mencari jalan,  agar bila memang saat ini aku belum bisa mengubah diriku menjadi seseorang yang  membahagiakan sesama, tapi setidaknya aku tidak melukai, mengganggu hidup, dan mengecewakan.

Sekali lagi, maafkan.

Doakan agar aku bisa menemukan jalan itu. Mungkin tak mudah. Tapi bukankah Allah yang akan membawa kita kemana-mana?

Salam hangat dari jauh.

bontang