Empat Pertanyaan Tentang Aritmia pada Mitral Valve Prolapse (MVP)

1. Seberapa sering aritmia terjadi pada pasien MVP?
Beberapa studi menunjukkan angka prevalensi yang berbeda. Premature atrial contraction (PAC) muncul pada 35-90% pasien, Supra Ventrikel Takikardi (SVT) pada 3-32%, Premature Ventricular Contraction (PVC) pada 58-89%, sedang PVC kompleks pada 30-56% pasien.

2. Apa arti PVC pada seseorang?
PVC memiliki nilai prognostik yang sangat bervariasi. Mulai dari tak bermakna, hingga dihubungkan dengan peningkatan resiko ventrikel takikardi (VT), juga sudden cardiac death (SCD). Terutama pada pasien-pasien tertentu. Contoh adalah pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. Monomorfik VT sering dimulai dengan adanya PVC multipel. Begitu pula pada pasien paska infark miokard, kardiomiopati, serta gagal jantung. PVC memang dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya VT. Bagaimana dengan pasien normal dengan PVC? Data yang ada saling bertentangan. Satu studi menunjukkan peningkatan tingkat mortalitas, sedang studi yang lain tidak.

3. Apakah resiko Sudden Cardiac Death(SCD) pada MVP meningkat?
Hubungan antara MVP dengan SCD tidaklah jelas. Beberapa studi menunjukkan kalau MVP berhubungan dengan meningkatnya kejadian SCD. Tetapi, Ventrikel Takikardi(VT) dan SCD juga bisa muncul pada pasien tanpa kelainan jantung. Sebuah laporan pada tahun 1987 menunjukkan bahwa angka kejadian SCD pada MVP sangatlah jarang, berkisar 1.9 % per 10.000 pasien per tahun. Studi ini juga menunjukkan bahwa tingkat resiko SCD meningkat seiring beratnya mitral regurgitasi.

4. Apa yang harus dilakukan seorang pasien MVP dengan PVC?

Pertama, dengarkan kata-kata kardiologmu. Ia akan menjelaskan secara medis apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Kedua, jujurlah pada dirimu sendiri. Selalu ikuti kata hati. Bukan kata-kata orang lain. Sering-seringlah bertanya pada diri sendiri, ‘Apakah ini hidup yang sungguh2 kuinginkan?’

Ketiga, jangan ada penyesalan. Jangan takut untuk mencoba. Jangan takut untuk berkata jujur.

Keempat, tebarkanlah kasih sayang. Pada siapapun. Meskipun ia orang tak dikenal yang duduk bersama saat menunggu giliran untuk bertemu dokter.

Kelima, jalani tiap hari seakan hari ini hari terakhir. Syukuri dan nikmati tiap detikmu. Hiduplah di masa kini. Bukan kegelisahan masa depan, apalagi beban masa lalu.

Itu saja.

Calon Penghuni Ruang Mulia

Aspirasi tetangga terekam dalam ingatan. Membuat mual. Tak penting mungkin. Tapi ngganjel. Apalagi hari-hari menjelang Pemilu 2009 ini. Ada saja suara tak jelas. Asbun.

“Saya nggak peduli siapa yang menang besok. Mau SBY, mau Mega, mau JK, terserah. Saya sudah capek cari duit. Lagi repot diutangi sama ponakan-ponakan yang mencret. Mana rumah kebanjiran padahal hujan baru sebentar.”

 Salah satu ‘asbun’ lain adalah argumen kuno tentang tahta.

Bukankah selain harta, tahta adalah salah satu sumber kesenangan bagi manusia? Jadi mbok biar saja mereka senang-senang memburu tahta selama hidup di dunia? Masalah nanti setelah ‘jadi’ ditawari korupsi, kolusi, dan nepotisme, itu kan nasib. Kalau kuat iman, alhamdulillah. Kalau nggak? Ah, itu kan belum tentu. Siapa sih yang nggak mau ‘dicoba’ dengan yang enak-enak seperti itu? Siapa tahu kuat 🙂

Mungkin akibat argumentasi semacam itulah gambar manusia terpampang di jalan-jalan. Mulut gang, atas pohon, depan warung, tepi sungai, atap rumah, kaca angkot. Beberapa terlalu banyak hingga membuat suntuk. Senyum manis. Senyum terpaksa. Waduh2, apa kota ini milik sampeyan-sampeyan saja to Cak?

Padahal kata yang empunya cerita, Narcisus akhirnya mati kehausan. Cinta yang berlebihan pada diri sendiri membunuh. Air berlimpah di telaga tak tersentuh, takut merusak bayangan wajah sendiri. Sigmund Freud, seorang pintar yang tak disukai banyak orang mendaulatnya sebagai penyakit.

Tulisan : Selamat dan Sukses atas Penunjukan Tn A sebagai calon dari partai X, terpampang di spanduk. Siapa sesungguhnya yang memberi selamat? Tidak jelas. Siapa yang mengucap sukses? Tidak jelas. Apa Tn A  tidak kuatir lama-lama terkena gejala Narcissistic Personality Disorder(NPD) alias gangguan kepribadian narsis?

Jelas tidak. Para caleg yang terhormat kan sudah diperiksa lengkap dokter. Sudah diurut bobot, bibit, bebetnya. Sudah di fit dan proper test oleh partainya. Jadi tidak pada tempatnya untuk meragukan. Lha kalau ditanyakan? Silakan saja. Mumpung bertanya belum dilarang.

Namun jika setelah mereka terpilih sebagian dari mereka  melupakan kita, jangan kaget. Baca saja sajak Gus Mus, Di Ruang Mulia.

Di ruang mulia berpendingin itu mereka ternganga-nganga atau mengigau bersama-sama menyebut-nyebut nama kita seolah-olah kita adalah keluarga mereka. Keluarga apa? Atau anak-anak asuh mereka, anak-anak asuh apa? Kitalah mata pencaharian mereka satu-satunya.

Benarkah? Semoga tidak.

Syaukani, Antara Singapura dan Ponari (Kaltim Post 27/2/09)

Mengapa keluarga Pak Syaukani Hasan Rais, mantan bupati Kutai Kartanegara, ingin membawa beliau ke Singapura?(Kaltim Post 25/2/09) Apakah dokter di RS Pusat Pertamina tidak cukup kompeten untuk menangani Pak Syaukani? Apa mereka sudah angkat tangan? Meski kurang nyaman didengar, sangat wajar bila pertanyaan itu muncul. Apalagi karena keluarga merasa kondisi mantan pejabat yang tersandung kasus korupsi tersebut tak kunjung membaik setelah berminggu-minggu perawatan di rumah sakit.

Bagaimana jika kita bawakan air dari dukun cilik Ponari Jombang? Siapa tahu sembuh? Bukankah menurut kabar burung Ponari juga ampuh? Bukankah ia dipercayai beribu manusia?

Meski berbeda tempat, Singapura dan Jombang, keduanya menunjukkan satu sisi yang sama. Penurunan tingkat kepercayaan pada dunia kedokteran di Indonesia. Juga kegagalan Pemerintah, profesi dokter dan industri kesehatan dalam meyakinkan masyarakat tentang mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan yang paripurna.

Kita harus akui itu. Bukan buruk muka cermin dibelah. Tapi muka kitalah yang mesti dipoles dan diobati jerawat batunya.

Ada beberapa jerawat yang membuat muka dunia kedokteran dan pelayanan kesehatan di negeri kita kurang nyaman dipandang pasien. Akibatnya mereka pun lari ke Singapura, Penang, atau ke ‘dunia lain’, Jombang.

Masalah pertama dan terbesar adalah komunikasi. Menurut Emanuel, ada beberapa model komunikasi antara pasien dan dokter. Tipe tertua dalam tradisi kedokteran adalah model paternalistik, satu model yang masih banyak dipakai di Indonesia. Pada model itu, interaksi antara dokter dan pasien laksana orang tua dengan anaknya. Dokter memastikan bahwa pasien mendapat terapi terbaik. Tapi, jika terjadi efek samping, hubungan dokter-pasien itu pun bisa memburuk dengan cepat. Tuduhan malpraktek sangat mudah berkembang. Isu yang makin menurunkan tingkat kepercayaan.

Saat ini, sesuai perkembangan globalisasi dan media informasi, hubungan dokter-pasien dituntut untuk berubah. Salah satu model lain yang bisa menjadi pilihan adalah model informatif yang setara. Model informatif tersebut menciptakan transaksi terapetik yang lebih terbuka antara pemberi jasa dan konsumen, meski kadang terasa dingin dan tak melibatkan pribadi.

Risiko model informatif itu adalah waktu konsultasi jadi lebih lama, satu hal yang belum didukung oleh sistem kesehatan di Indonesia. Dokter spesialis di Indonesia harus bekerja di beberapa rumah sakit, praktek dari pagi hingga dini hari agar bisa hidup layak. Keramahan dan pendekatan personal yang diajarkan oleh para guru besar di fakultas kedokteran kadang terlupa.

Begitu pula dengan teman sejawat dokter umum. Siapa yang bisa menjamin para dokter di puskesmas, dengan jumlah pasien puluhan, akan sanggup memberikan informasi lengkap serta memberikan sambutan yang ramah pada pasien-pasiennya?

Hal yang mirip terjadi pula pada profesi paramedis, terutama yang bekerja di rumah sakit milik pemerintah. Menumpuknya pasien, berjubelnya pasien yang tidur di lorong rumah sakit, semua memberi beban kerja yang tinggi. Pendekatan pribadi kadang terlupakan. Rumah sakit pun terasa kering dan tak lagi ramah.

Masalah komunikasi akibat beban kerja tinggi tersebut sangat terkait dengan problem diagnosa dan terapi. Beban tersebut menyebabkan sebagian dokter dan perawat mengalami penurunan kinerja. Diburu-buru waktu. Berpindah dari satu pasien ke pasien lain. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Akibatnya pun jelas. Beberapa pasien merasa tidak puas, dan lari ke rumah sakit di luar negeri. Atau ke rumah Ponari.

Masalah keterbatasan alat dan teknologi kedokteran juga cukup mengganggu. Kita harus mengakui bahwa peralatan di puskesmas dan rumah sakit daerah belum cukup memadai dalam penanganan beberapa kasus rumit. Sehingga pasien harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap, dengan dokter yang lebih ahli.

Sayangnya, tidak semua dokter merasa perlu membeberkan fakta tersebut. Sebagian dokter memiliki asumsi bahwa masyarakat Indonesia tidak akan sanggup membiayai pengobatan paripurna tersebut, dan mereka memang benar. Program Jamkesmas dari Pemerintah tidak menanggung biaya untuk transplantasi ginjal maupun transplantasi hati seperti yang dijalani Pak Dahlan Iskan. Namun, mulai kini ada baiknya profesi kedokteran memberikan informasi tentang penanganan maksimal yang bisa ditawarkan oleh dunia kedokteran modern. Informasi ini akan membuat masyarakat sadar bahwa bukan dokter Indonesia yang ‘kuper’, tapi memang ada keterbatasan dalam hal sarana yang terkait dana.

Sungguh, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Kualitas fakultas kedokteran kita pun cukup baik. Banyak mahasiswa Malaysia yang belajar kedokteran ke Indonesia. Alat-alat di rumah sakit rujukan pun cukup lengkap. Bahkan Amerika dan Eropa pun mengakui bahwa mereka tidak ahli dalam semua penyakit. Berbagai jenis penyakit infeksi khas dunia ketiga seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit jantung rematik berada di luar keahlian mereka. Dalam jurnal-jurnal ilmiah mereka menyatakan hal itu.

Namun kelebihan mereka adalah dalam usaha untuk menyamankan pasien dan keluarganya. Jujur saja kita kalah dalam kesadaran dan kesiapan berbisnis kesehatan dibanding Singapura dan Penang. Begitu pasien datang di bandara mereka sudah siap mengantar. Pelayanan di rumah sakit pun begitu cepat. Mereka sangat sadar bahwa rakyat Indonesia adalah pangsa pasar yang besar, dan layanan kesehatan adalah industri jasa yang menjanjikan. Tanpa orang Indonesia, rumah sakit di Singapura dan Penang akan merugi karena investasi yang tak kembali.

Bagaimana dengan Ponari? Setali tiga uang dengan jalan pikiran keluarga Pak Syaukani, para pasien Ponari pun merasakan ketidakpuasan. Hanya saja mereka tak beruang. Rumah Ponari adalah rumah sakit rujukan mereka, Mount Elizabeth dan Singapore General Hospital mereka.

Sebagian dari mereka sembuh, banyak juga yang tidak. Inilah yang disebut dengan efek placebo. Efek plasebo adalah efek yang terjadi pada terapi tanpa substansi yang sesungguhnya. Pil palsu yang berisi gula dan gandum. Operasi tanpa pisau, bahkan tanpa menyentuh kulit pasien. Seorang ahli jiwa, Shapiro, mendefinisikan plasebo sebagai terapi apapun yang menggunakan efek psikologis dan reaksi fisiologi tubuh. Di sini hubungan antara pikiran dan tubuh diuji, hasil interaksi rumit antara si penyembuh, proses terapi, dan pasien itu sendiri.

Mereka yang berbondong mencari Ponari adalah mereka yang putus asa pada dunia kedokteran modern, lantas berpaling pada ‘dunia lain’. Dan menggunungnya harapan, disertai keyakinan yang tulus membuat mereka peka pada efek plasebo sebuah batu. Sebuah efek yang terbukti pada beberapa kasus bisa menyembuhkan. Akhirnya, praktek Ponari pun memiliki gaung yang melebihi terapi kedokteran konvensional

Akankah Pak Syaukani sembuh setelah sampai di Singapura? Akankah mereka yang berduyun ke Jombang menerima manfaat dari batu Ponari? Wallahu’alam.

Penulis :

dr. M. Yusuf Suseno, tengah bertugas di RSUD Taman Husada Bontang, Kalimantan Timur.

Selamat Jalan Dokter Pejuang !

lihat, bu, aku tak menangis

sebab aku bisa terbang sendiri dengan sayap ke langit

(Subagio Sastrowardojo)

Senja itu pastilah mendung, basah, dan hitam. Senja ketika dr Wendy, dr Hendy dan dr Boyke berakhir ditelan ombak. Senja saat cita-cita harus selesai. Berhenti diterjang maut. Malam berikutnya, dr Pranawa SpPD, ketua IDI Jatim menelepon saya dan bertanya, apakah kita, dokter dan rakyat Indonesia, sungguh-sungguh kehilangan mereka?

Ketiga dokter pejuang itu memang menjadi korban KM Risma Jaya yang tenggelam di Muara Kali Aswet, Kabupaten Asmat, Papua Barat 13 Januari lalu. Dr Wendyansah Sitompul, PNS lulusan FK UI adalah dokter ahli kandungan satu-satunya di Kabupaten Asmat. Juga dua rekan dokter umum, dr Hendy Prakoso dari FK Unair dan dr Boyke Mowoka dari FK Universitas Sam Ratulangi, yang tengah menjalani masa bakti sebagai dokter pegawai tidak tetap(PTT) di Kabupaten Asmat.

Jelas ada hal-hal yang tak bisa tergantikan. Bahkan dengan penghargaan Ksatria Bakti Husada Arutala dari Menkes dr. Fadillah Supari sekalipun. Rasa kehilangan bukan hanya milik keluarga dan pasien-pasien mereka di Asmat, tapi merambah hingga Jakarta, Surabaya, seluruh Indonesia.

Tentu. Dalam tataran jasad, kita sungguh kehilangan mereka. Namun seperti juga jasad dr Hendy yang sempat ditemukan dan dikubur oleh penduduk sekitar kejadian, kita juga bisa menggali kembali. Menemukan kembali. Mengembalikan pada yang berhak.

Bukan. Bukan sekadar jasad yang akan lapuk ditelan waktu. Tapi menggali semangat. Menemukan kembali jiwa suci pengabdian dan pengorbanan. Lantas mengembalikannya pada yang berhak. Rakyat Indonesia.

Jadi, jawabnya adalah tidak. Kita tak sungguh-sungguh kehilangan mereka. Mereka ada di dalam hati, menyemangati nurani.

Hati siapa, nurani siapa? Siapa pula yang masih memilikinya dan percaya? Benarkah dokter di Indonesia masih memiliki hati dan nurani? Nyatanya pemberitaan tentang kematian mereka di media toh tak sebesar berita tuduhan malpraktek pada dokter, kupas tuntas kasus hukum pada dokter yang melakukan aborsi, maupun kritik pada layanan lamban rumah sakit Pemerintah. Jawa Pos bahkan hanya mencantumkan kalimat Menkes pada kolom kutipan. “Mereka adalah aset bangsa yang sangat luar biasa. Mereka tulus mengabdikan diri pada masyarakat Asmat yang sangat jauh.”(Jawa Pos 19/1/09)

Benar, sangat jauh. Begitu jauh hingga senja luka yang berombak itu menyeret jasad mereka, mengisi paru-paru dengan air, membalikkan masa depan. Mungkin di saat yang sama sebagian besar kita tengah duduk menonton televisi, asyik melihat kontes idola cilik, tersenyum bersama artis sinetron, atau penat dihinggapi berita korupsi.

Doa-doa mereka bertiga tak terdengar oleh kita. Tak terbayang bahkan. Sungguhkah di zaman hedonis seperti ini masih ada dokter yang bertaruh nyawa, untuk masyarakat yang tak mereka kenal sama sekali sebelumnya?

Untunglah mereka ada. Banyak. Ribuan. Hanya saja tak bersuara. Tak pernah masuk dalam berita. Hingga kini, dokter adalah satu-satunya sarjana plus yang siap kirim, siap bekerja ke daerah terpencil Indonesia.

Mereka, para dokter PTT itu bertebaran di daerah terpencil. Meninggalkan sanak keluarga. Bekerja keras menolong sesama yang sakit. Tanpa pamrih. Gaji yang tersendat. Perhatian Pemerintah yang kurang. Tak ada jaminan keselamatan. Tak ada pelampung. Tak ada alat telekomunikasi. Sendiri.

Senja kemarin pastilah mendung, basah dan hitam. Dan di senja itu mereka sungguh sendiri. Berhadap-hadap dengan maut. Namun, mereka tak sungguh-sungguh pergi. Hingga kini mereka masih tetap menebar semangat. Menghidupi nurani. Terbang menembus langit hati.

Selamat jalan Dokter Pejuang!

Langit Senja dan Matahari, Musa dan Khidir

Udara penat lab cath (laboratorium kateterisasi) masih terasa dalam kepala saat kaki melangkah ke dalam angkutan kota. Aku ingin segera pulang ke rumah, meletakkan kepala dan tidur. Dua PCI kasus infark miokard akut, satu PTMC pasien mitral stenosis, dan satu kateterisasi diagnostik prolaps katup mitral dalam sehari sangatlah cukup untuk mencipta tumpukan laktat dalam ototku. Dokter Imam memang sudah masuk sebagai yuniorku di lab cath, tapi ia baru berusia 1 minggu di bagian invasif jantung. Jelas betisku masih harus bekerja keras.

Angkot yang kutumpangi kebetulan kosong, karenanya sopir menginjak gas dengan hemat, menembus senja yang meradang di langit. Akibatnya rasa kantuk menyergap.

Adzan magrib baru saja selesai saat mobil bobrok itu tiba-tiba berhenti. Dua sosok manusia, seorang perempuan dan bocah lelaki, masuk membelakangi matahari merah senja. Bau apek debu bercampur amis keringat menusuk hidung.

Perempuan itu lebih muda dariku, sekitar 30-an tahun. Namun wajahnya gelap tua, keriput menggurat dalam di kening. Sekilas matanya selelah mataku, tapi kelelahannya berasal dari jenis yang lain. Terasa ada yang kosong di sana, satu ruang hampa yang mungkin dulu berisi harapan.

Rambut ikal sebahu yang sebagian merah tak sehat jatuh di kedua pipi tirusnya. Baju kuning tua kusam, yang begitu mirip dengan baju lama yang kuberikan pada bekas pembantu di Bengkulu, robek di bagian bahu. Jemari berkuku kotor memegang erat dua lembar ribuan. Pas untuk ongkos. Mungkin satu-satunya uang yang ia punya.

Begitu mereka naik, mobil bobrok bergerak. Si bocah duduk tepat di depanku. Kakinya tak bersandal, hitam dibalut busik putih berdebu. Celana dan kaos gombrang lusuh membungkus tubuh teramat kurus. Aku tak yakin ia sekolah. Kalau ya, mungkin ia akan jadi murid terkecil di kelas satu SD. Tangannya memegang dua bungkus mi instant. Merek murahan, harga di warung cuma tujuh ratus lima puluh rupiah.

Merasa kuperhatikan, tiba-tiba bocah lelaki itu menatap mataku. Seperti gerak lambat film-film lama, bola hitam matanya terasa menembus dalam, menelan, membuatku tenggelam dalam buncah bersalah.

Belum usai dengan kejutan pertama, slow motion itu dilanjutkan dengan bunyi crik-crik pengamen mendekati kami, dilatari back light senja yang begitu jingga. Mata bocah lelaki berkelebat menjauh, mencari lamat-lamat suara cempreng di udara.

Seorang balita perempuan tiba-tiba saja nongol di pintu angkot, menyanyikan lagu usang milik Iwan Fals.
kemesraan ini, janganlah cepat berlalu…
kemesraan ini, akan kukenang selalu…
hatiku damai….

Masih tercekam dalam potongan adegan absurd itu, tanganku tak kuasa bergerak. Untuk melambaipun tidak. Lagi pula aku memang tipe rasional yang tak percaya bahwa memberi pengamen jalanan akan memperbaiki taraf hidup.

Namun tiba-tiba lagu berhenti dan keributan dimulai. Tangan perempuan itu menengadah, meminta mi instant di tangan bocah. Lelaki kecil bermata hitam menggeleng, menggumam tak jelas. Tak sabar tangan perempuan merebut tapi si bocah tak hendak mengalah. Mereka tarik menarik sepotong mi instan 750-an, seakan itu adalah harta terakhir yang paling berharga di dunia. Terdengar suara ’keretak’ patah potongan mi. Perempuan itu menang, melelehkan air mata bocah.

Adegan selanjutnya sangat menusuk hatiku. Diiringi pandangan mata basah bocah, diulurkannya sebungkus mi pada pengamen cilik itu. Satu-satunya senyum, tapi kurasa itu adalah senyum terbaiknya sepanjang hari ini, diberikannya pada gadis kecil yang bahkan bajunya jauh lebih bagus dari yang mereka pakai. Guratan keriput di dahinya sesaat menghilang, kilatan senja bahkan membuatnya hampir mirip seorang malaikat.

Tapi sesaat kemudian mata perempuan itu kembali kelam. Jemarinya mengelus lembut kepala bocah lelaki yang tersedu sedan, sembari tangan kecilnya menggenggam erat-erat mi instannya yang kini tinggal satu. Angkot berderak laju.

Otak yang tersumbat emboli membuatku tertinggal waktu. Tak menungguku bersiap, seakan untuk selamanya, tangan perempuan itu bergerak memencet bel di atap angkot. Kami bersitatap, mata lelah perempuan itu begitu hitam kelam, dilambari putih yang menghisap. Mobil berhenti, mereka bergegas turun. Dunia mapanku terguncang. Aku menggigil. Entah kenapa aku merasa kehilangan sesuatu. Seperti langit senja kehilangan matahari. Seperti Musa ditinggalkan Khidir*.

ditulis berdasar pengalaman seorang kawan, dr. Sri Hastuti.

*Khidir adalah seorang nabi, yang pernah diikuti oleh Musa dalam satu perjalanan. Tetapi Musa tidak sanggup bersabar, dan karenanya tidak lagi diijinkan mengikutinya.

(sebuah tulisan lama)

Indonesia Bertabur Laskar Pelangi

Maaf, judul di atas cuma mimpi di siang bolong. Meski demikian, bagi Anda yang telah menonton film Laskar Pelangi, lirik lagu Nidji saat film berakhir pastilah terngiang di telinga. Mengingatkan kita pada kepolosan dan optimisme masa kecil, mempertanyakan prinsip rasionalitas yang saat ini terlanjur kita percaya. Mimpi adalah kunci… Untuk kita menaklukkan dunia…

Sayangnya, mimpi dan air mata sepertinya tak cukup. Hati haru jutaan penonton Laskar Pelangi  bisa saja tak berarti apa-apa. Meski demikian, seperti juga Anda, saya pun diam-diam tetap meneteskan air mata melihat kesungguhan Bu Mus mendidik, keikhlasan Pak Harfan memberi, perjuangan Lintang memperbaiki nasib. Adegan Lintang kecil memegang sepeda tua besarnya lantas berucap, “Namaku Lintang Bu. Aku nak sekolah”, selalu menggetarkan hati.

Sepanjang film diputar saya pun masih terus menangisi diri sendiri. Mengutuki diri yang masih saja merasa kurang di tengah kecukupan, yang mudah tergoda dengan iming-iming materi, yang sedikit-sedikit menyerah pada tantangan, yang sering merasa ketakutan pada hantu masa depan. Saya juga menangisi anak-anak saya yang tak sempat diasuh Bu Mus, menangisi budi luhur Pak Harfan yang kini jarang saya temui. “Hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya. Bukan meminta sebanyak-banyaknya.” Ah, adakah yang masih memegang erat kalimat Pak Harfan itu dalam hati? Baca lebih lanjut

Hari Pertama Sekolah

Hari ini adalah hari pertama gadis kecilku sekolah.
Kupikir ia cukup tangguh untuk langsung kutinggal, karenanya aku hendak terus memutar motor ke rumah sakit. Tapi entah kenapa hatiku tak tenang.

Lantas aku pun turun. Melangkah masuk ke halaman sekolah.
Tergagap di tengah lautan manusia kecil.
Mencoba mencarinya di deretan anak-anak baru. Tak ketemu.
Beberapa menit berlalu. Dimana gadis kecilku?

Ternyata ia ada di luar barisan, berdiri sendiri, di dekatku.
Syukur Tuhan masih mempertemukan kami.
”Nduk, kenapa di sini, kelas satu kan di sana?”
”Tadi aku ditinggal Bapak.”
Jawaban itu terasa benar menusuk. Sebagian ibu-ibu anak2 baru memang berdiri di sana, mengawasi buah hati mereka.

Ah, sesungguhnya, aku tak rela memberikan sebagian waktu anakku pada sekolah.
Mereka yang berisi peraturan dan larangan, tetapi sering lupa memberi alasan.  Sekolah yang membebani, yang sering  tak membahagiakan.
Atau ini cuma rasa sedih seorang bapak karena anaknya tak lagi kecil?
Aku ingin sekali bisa menungguinya. Memastikannya tak sendiri di tengah manusia. Tapi kurasa pilihan itu pun tak bijak. Tak memandirikan. Tak mendidik.

Akhirnya dari jauh kutinggal ia. Karena mungkin ia sesungguhnya tak sendiri. Ia akan menemukan teman.

Belajar Menerima ODHA, Belajar Menjadi Daun(Jawa Pos 2 Juli 2008)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Dirgo (nama samaran), seorang penderita HIV/AIDS (ODHA) stadium 4 yang ditolak pulang oleh warga seputar tempat tinggalnya di Surabaya bukan yang pertama mengalami nasib nahas itu. Mungkin juga bukan yang terakhir (Jawa Pos 29/6/08). Untuk kalangan medis pun, menghadapi dan merawat seorang penderita ODHA bukan perkara mudah.

Apalagi bagi masyarakat awam. Sebagian besar kita masih memiliki rasa enggan, mirip perasaan suci yang dimiliki seorang rahib Bani Israil, saat seorang pemuda bertanya, “Aku telah membunuh 99 manusia, masih adakah jalan bagiku untuk bertobat?”(HR Bukhari/Muslim). Tidak ada. Jawaban singkat itu mewakili kesombongan sebagian besar manusia. Seakan merekalah yang memiliki pintu-pintu surga.

Padahal, siapa tahu kalau sebenarnya pintu tertutup untuk ODHA adalah pintu Tuhan yang terbuka? Pintu terbuka yang mengajarkan ODHA memanfaatkan sisa hidup dan mengakhirinya dengan layak. Dan mungkin pintu terbuka untuk kita agar bisa berkaca, lebih rendah hati, dan akhirnya mati dengan layak pula. Kematian yang belum tentu lebih mulia dibanding mereka. Baca lebih lanjut

Baju Pramuka dan Sampah

Di satu siang yang penat aku pulang ke rumah. Berliku memasuki gang, mataku terhenti pada sosok baju coklat pramuka yang berjalan payah ke depan. Seorang anak lelaki, mungkin baru berusia 16 atau 17 tahun, tengah bekerja keras menarik sebuah gerobak penuh sampah. Keringat penuh dan basah. Bau busuk menusuk. Aku merasa kasihan pada anak lelaki berbaju pramuka yang mesti bekerja dengan ribuan bakteri di punggungnya.

Tapi mungkin rasa kasihan itu tak perlu. Saat bersitatap, kulihat ada cahaya di matanya. Senyum tipis menghiasi wajah.

Anak lelaki itu sepertinya tak menyimpan lelah dan rasa sesal. Ia menikmati hidupnya.

Sedang aku? Saat itu pula aku tengah berpikir tentang beban hidup yang belum juga lapang. Tugas2 yang menumpuk. Uang bulanan yang tak jelas. Cita-cita yang masih jauh di awang.

Senyum anak muda itu membuatku merasa sedih. Mungkinkah ia merasa terjebak dalam pekerjaannya sekarang? Atau ia bahagia?

Satu hal yang jelas, mungkin Tuhan tengah mengirim lelaki muda itu agar aku bisa berkaca pada mata dan senyumnya. Hidup tak pernah seutuhnya mudah. Tapi toh ia harus diterima. Lain itu tidak.

“Tumbuh Berakar”

pohon.jpg

“Hidup cuma sekali, untuk itu mesti berarti.
Tapi hidup yang tumbuh tak selalu mesti menjulang tinggi.
Tumbuh dan berarti juga bisa dengan mengakar, daun rimbun melindungi.
Hidup dengan kesadaran penuh akan kini yang fana, mencintai seremeh apapun yang dikerjakan, memberi kasih sayang terluas yang bisa, dan tak lepas dari rasa syukur pada tiap tetes kehidupan yang dilimpahkan. “

‘ Itu lebih dari cukup.’

Comfort Zone. Again?!

“Often what we call procrastination, a lack of motivation or boredom is really just being trapped in the shell of our own comfort zone. Like a turtle, we pull inside and stop moving. Stop growing. Stop seeking.
We paint ourselves into a corner with our fears and inhibitions. We resist change. We avoid risk. Our senses dull. We may feel as if we are suffocating. We notice the dull ache of emptiness. We feel paralyzed by our fears, real or imagined! Pretty soon, living inside the safety and comfort of our shell, devoid of challenge or change, becomes a habit just like brushing our teeth in the morning or tying our shoes. Easy, effortless, familiar! We’ve retired from the excitement and challenge that purposeful living offers. Our comfort zone has become our liability zone!”

diambil dari : http://www.creativityforlife.com

Seruan PBB : Stop Poligami !

Hari ini di koran Surya(2/2/08) ada berita berjudul, PBB : Stop Poligami!

Isinya adalah seruan dari Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan PBB pada pemerintah Arab Saudi untuk menghentikan praktek poligami. Mereka berpendapat kalau poligami bertentangan dengan kesetaraan jender. Poin kedua, mereka juga meminta pemerintah Arab Saudi mengklarifikasi apakah mereka akan menempatkan hukum internasional lebih tinggi daripada hukum dalam negeri.

Menurut saya seruan PBB ini sudah tidak benar. Poligami menurut hukum agama Islam asalnya adalah boleh. Mubah. Itu jelas dalam Al Qur’an. Tapi menurut saya poligami akan menjadi sunnah kalau yang dinikahi adalah janda miskin yang beranak 5. 🙂 Dan menjadi haram kalau kita menikah lagi dengan maksud buruk terhadap calon istri.

Saya sendiri hingga kini sebagai seorang laki2 belum berniat berpoligami. Selain karena cinta pada istri dan anak hingga tak ingin menyakiti hati mereka, juga belum ada janda miskin beranak 5 yang meminta saya mengawininya, 🙂  selain karena tahu bahwa beban yang diminta dari berpoligami cukup berat. Tidak hanya materi, tapi juga keadilan emosional.

Tapi adalah kurang logis jika poligami, sebagai produk sah dari sebuah agama dikaitkan dengan isu kesetaraan jender. Permintaan PBB pada Pemerintah Arab Saudi untuk melarang poligami memberi isyarat kalau PBB merasa agama Islam adalah agama yang tidak sesuai dengan kesetaraan jender. Ini sangat absurd !

Ok. Poligami memang memancing pro kontra. Tapi kenapa PBB tidak menekan negara anggotanya untuk melarang pelacuran, daripada melarang poligami? Apakah Dolly, sebagai sumber penularan HIV terbesar di Surabaya sesuai dengan prinsip kesetaraan jender, karena ini berarti perempuan diberi hak untuk menentukan apa yang akan dilakukannya pada tubuhnya sendiri?

Seperti judul sinetron Deddy Mizwar, sepertinya, Kiamat memang Sudah Dekat…

Seorang Perempuan dengan Kanker Payudara

Pagi ini aku berangkat seperti biasa. Seakan hari akan berakhir rutin di sore hari. Tapi ternyata tidak. Pasien kelima kami hari ini, seorang perempuan masuk ke dalam ruang pemeriksaan ekhokardiografi. Kulihat wajahnya, masih muda. Lebih muda dariku. Di status terbaca, 29 tahun. Diagnosa : Infiltrating Ductus Carcinoma Mammae dengan Metastase  ke Paru dan KGB(kelenjar getah bening). Ini adalah stadium akhir kanker payudara, dimana sudah terjadi penyebaran ke organ lain, yakni paru-paru dan kelenjar getah bening.

Aku tercenung. Sekali lagi, hidup tak adil, kataku dalam hati.

Bagaimana mungkin seorang perempuan muda 29 tahun yang tengah menyusui bayi berusia 3 bulan harus menjalani kemoterapi? Aku menatap matanya, lantas berpikir tentang kenyataan hidup yang pahit.

Melihat diriku sendiri dan merasa malu.

Betapa tidak bersyukurnya aku.

Betapa mudahnya merasa sedih, bahkan kadang putus asa hanya karena hal2 kecil…

Tapi setelah membaca posting guruku ini, aku jadi agak lega. Mungkin hidup sebenarnya tak seburuk itu. Tuhan tak sekejam itu. Sesungguhnya, kita memang tak punya apa2. Semua milik Allah semata..

kematian begitu akrab..

Seorang laki-laki, belum 30 tahun. Berbaring di bed rumah sakit. Napasnya cepat.
-hidup tak adil- kataku dalam hati.
Ia menderita kelainan jantung katup. Sebagian katup atau pintu penghubung ruang jantungnya bocor. Ada empat pintu dalam jantung, dan semuanya bocor. Mereka tak bisa menutup rapat. Dan yang gawat, kini ia mengalami infeksi, terjadi pertumbuhan bakteri di sekitar katup, dunia medis menyebutnya vegetasi.

Kami bertemu saat aku melakukan pemeriksaan echocardiography, matanya sayu, badannya demam.
“Saya periksa ya Mas.” Ia mengangguk.
Kondisi jantungnya memang berat. Hatiku terasa pilu. Hidup tak adil. Ia masih begitu muda.
“Mas, Mas harus dzikir terus ya…” Ia mengangguk.
“Mas, Mas harus terus berdoa, percaya kalau Allah akan memberi kesembuhan. Jangan sekali-kali ragu. Yakinlah kalau Allah pasti memberi sembuh.” Ia kembali mengangguk. Aku tertegun, berharap kata-kataku benar. Tapi inilah yang kubaca dari berbagai buku. Kekuatan keyakinan. Kekuatan pikiran. Kekuatan iman.

Beberapa hari ia masih bertahan. Kondisinya memang tak membaik. Tapi setidaknya ia masih bisa tersenyum. Tiap kali lewat aku selalu menyempatkan diri untuk menghampiri dan menyapa. Terakhir bertemu aku kembali berkata, “Mas berdoa terus ya. Mas harus yakin sembuh..”
Ia tersenyum. Aku tahu ia senang ada seorang dokter yang berhenti menyapanya. Memberi semangat.
Mungkin, itulah salah satu obat yang sebenarnya ia butuhkan.

Tapi beberapa hari yang lalu tempat tidurnya kosong. Aku tak bertanya ia ada dimana. Aku tahu dimana ia kini berada.
Seorang teman mengirim sms, itu adalah qodhar dari Allah. Hak prerogratifNya. Mungkin ia benar. Mungkin sekali ia benar…

seperti sepotong sajak, kematian memang begitu akrab..

kadang terlalu akrab…

Saatnya Mengampuni Soeharto?

Hari-hari itu adalah hari yang penuh gempita. Semangat turun ke jalan. Berteriak. Melawan. Hiruk pikuk yang makin mengeras pasca penembakan Semanggi tahun 1998.

Sebagian besar mahasiswa ikut larut dalam arus. Saya sebagai komponen kecil, ikut menyebarkan pamflet, dan seperti yang lain, rapat, berbaris dan berteriak. Larut dalam kemerdekaan yang entah kenapa, seakan baru saja turun dari langit.

Sudah hampir 10 tahun kini. Soeharto, seseorang yang saat itu dicerca, tak pernah selesai diproses secara hukum. Begitu banyak hal yang menghambat. Termasuk masalah kesehatan. Beberapa teman sejawat dokter senior di Jakarta, meyakini bahwa Soeharto mengalami sakit permanen. Ia tak layak menjalani kasus pidananya lebih lanjut.

Kini sakitnya makin parah. Gagal organ multiple. Jantung, ginjal, paru-paru, semua kelelahan mengikuti irama hidup. Sudah sunnatullah sebenarnya. Mereka capek. Ingin berhenti. Pertanyaan yang ramai di berbagai surat kabar, inikah saatnya mengampuni Soeharto? Baca lebih lanjut

1965-1966, Hitam Putih

Satu hari seorang anak membuat ibunya menangis. Saat itu mereka tengah berziarah kubur, dan ia hanya bertanya. “Ibu, dimana makam kakek? Mengapa tiap menjelang Ramadan kita hanya mengunjungi nisan nenek Bu?” Sang Ibu terhenyak. Ia terduduk, termenung lama. Air mata menetes dalam diam.

Terkejut dengan tangis tanpa suara itu, baru beberapa tahun kemudian ia mencari tahu kembali. Beberapa orang memilih diam yang sama. Saat akhirnya seseorang menceritakan penjemputan itu. Kepergian yang tak kenal pulang.

Baca lebih lanjut

Aborsi, Menutup dan Membuka Pintu(Jawa Pos, 22 Juni 2007-salah satu tulisan favoritku)

oleh dr. M. Yusuf  Suseno

Berita tentang penahanan kembali seorang dokter akibat praktik aborsi ilegal di Surabaya membuat saya teringat kejadian beberapa tahun lalu. Malam itu, seorang perempuan berusia tiga puluhan tahun yang terlambat haid dua bulan datang ke ruang gawat darurat Puskesmas tempat saya bertugas sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT). Kondisinya begitu lemah dan pucat, kain kebayanya basah menghitam karena rembesan darah.

Jarak rumah sakit dari puskesmas tersebut sekitar 1 jam perjalanan memakai ambulans. Tapi. keluarga pasien menolak untuk dirujuk. Tekanan darahnya mulai turun, nadinya cepat dan tangannya dingin. Di sela-sela tetesan infus yang mengalir cepat, bisik-bisik para pengantar di belakang kepala mengatakan kalau ia adalah “sisa” seorang dukun penggugur kandungan dari sebuah desa di lereng gunung. Baca lebih lanjut

Belajar Menjadi Daun

“Saya lagi nungguin suami Dok,”ujarnya pelan. Wajah manis perempuan duapuluhan tahun itu tampak kusut dengan mata cekung bergurat lelah. Sudah hampir seminggu sang suami, seorang sarjana lulusan perguruan tinggi ternama di Surabaya tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit. Selain gadis muda itu, sebut saja dia Ida, tak ada seorangpun anggota keluarga lain yang mau menjenguk.
“Saya memang sendiri,” suaranya melirih. Matanya indahnya membasah saat bercerita tentang kondisi suaminya yang tanpa pernah mereka ketahui ternyata telah mencapai tahap akhir perjalanan AIDS.
“Dia baru saja lulus saat kami menikah 2 tahun lalu, dan saya tahu kalau dia bekas pemakai narkoba. Tapi saya mencintainya.” Kalimat terakhir itu membuatnya tersenyum.

Suami Ida tidak sendiri. Ada puluhan pasien AIDS yang juga dirawat di sebuah rumah sakit pemerintah di Surabaya, dan sebagian besar ada di tahap akhir perjalanan AIDS. “Selama ini suami saya sehat-sehat saja. Badannya memang agak kurus, dan sebulan ini sering sekali diare. Tapi tak ada keluhan lain. Seminggu yang lalu, tiba-tiba dia tak sadarkan diri di kantor, dan dari hasil scanning kepala ternyata ada infeksi toksoplasma di otak. Dokter curiga ia kena HIV. Dan hasil tesnya memang positif.” Bagaimana denganmu Ida? Perempuan 22 tahun ini menjawab dengan napas tertahan,”Saya juga positif.” Baca lebih lanjut

Gizi Buruk di Surabaya, Wajah Bopeng Kita(Jawa Pos 7 Feb 07)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Sore yang mendung. Seorang ibu berbaju lusuh bersandal jepit menggendong sosok bayi kurus di pelukan. “Siti panas Dok. Batuk pilek lagi.” Di catatan pasien tertulis kalau Siti berkali-kali datang ke klinik sosial khusus untuk kaum dhuafa pinggiran Surabaya itu dengan keluhan yang sama. Mata mungil dari wajah tirusnya menatap resah saat lepas dari gendongan sang Ibu. “Kenapa ya Dok anak saya kurus dan sering sakit?”

Jawaban pertanyaan itu sama saja dengan mengurai benang kusut kepincangan sosial di tengah masyarakat. Di satu sisi, sebagian dari kita menghabiskan malam minggu dengan antre di kedai roti untuk sepotong kue dengan harga sepuluh ribuan, atau menyeruput secangkir kopi di kafe yang kalau dirupiahkan setara dengan empat kilogram beras nomor satu. Did sisi lain seakan menjadi gambaran bagian dunia yang berbeda. Di malam yang sama, Bapaknya Siti masih mengayuh becak, berpeluh melawan kemiskinan yang menjerat untuk sekadar menghidupi kelima anaknya. Termasuk Siti, seorang gadis kecil satu tahun yang kurus dengan berat badan cuma 7 kilogram di pinggiran Surabaya. Baca lebih lanjut

Si Kecil yang Tersandera HIV(Jawa Pos, akhir Nov 2006)

Gadis kecil itu melambaikan tangan, mencoba tersenyum pada seorang teman yang datang mengantar saya. ”Dada..” dia bergumam lirih di sela bau apek dan amis yang memenuhi udara kamar.
”Halo,” saya menyapa memperkenalkan diri. Tak seperti tadi, kini tangan kecil kulit keriputnya tak mau bergerak. Mata cekungnya menatap tajam. Bening bola mata itu terasa mengiris hati. Kaki tinggal tulang dibalut celana yang kebesaran bergerak pelan di atas tempat tidur.

Dia baru 2,5 tahun. Dia sedang berjuang melawan AIDS. Jangan berpikir kalau gadis kecil itu, sebut saja Sumi, tinggal di Jakarta, Papua, atau bahkan Afrika yang dikenal sebagai daerah endemis HIV/AIDS. Sumi lahir dan hidup di Surabaya, di daerah pinggiran kota yang padat dan kumuh. Lebaran kemarin ia tak sempat pergi berlibur ke rumah neneknya seperti anak-anak lain karena Sumi begitu kecil, tergolek rapuh. Baca lebih lanjut

Yayasan Jantung Indonesia Itu Apa Dok?(Juara 3 Lomba Tulis Artikel HUT YJI ke-25 tahun 2006)

Seorang Bapak berusia 45 tahun, sebut saja Pak Sukur, memang sangat bersyukur karena berhasil bertahan dari sebuah serangan jantung yang luas. Pada hari kelima opname di sebuah rumah sakit pemerintah tempat saya belajar dan bekerja ia bertanya, “Dok, adakah orang yang bernasib sama seperti saya, dan tetap bahagia?” Pertanyaan itu menghentak hati. Membuat saya ikut bertanya, ketika ia pulang, dengan siapa ia akan berbagi?

Seorang dokter yang baik selalu ingin pasiennya sembuh. Itu tak terbantahkan. Tapi apakah masalah berhenti setelah sang pasien pulang dari rumah sakit, selamat dari serangkaian peristiwa buruk yang menghempas semangat? Tentu saja tidak. Pasien membutuhkan lingkungan dan tempat berbincang. Pasien membutuhkan tempat berteduh dari kegalauan hati. Karena ada satu hal yang tidak bisa diberikan oleh seorang dokter, perasaan senasib. Baca lebih lanjut