Aku Ingin

Aku Ingin, oleh Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..

Beberapa tahun yang lalu, seorang sahabat, seorang ibu dari lelaki kecil bernama Elan, pernah mengirimkan album ini padaku. Ia, yang tak pernah bertemu denganku secara langsung, mengirimkannya begitu saja. Tanpa pretensi apapun. Tanpa maksud apapun. Selain memberi. What a great teacher..

Sebelumnya telah pula dikirim buku-buku yang menurutnya patut kubaca. Buku-buku yang menurutnya akan menginspirasi. Dan tumbuhlah aku, hingga hari ini. Tumbuh cukup besar dan tinggi, hingga bisa pula berbagi.

Terima kasih kepada sahabat lamaku, dimanapun kau berada kini.
Terima kasih pada Pak Sapardi yang membiarkan sajaknya merasuki diri.

Terima kasih kepada Tuhan dan alam semestanya yang telah membiarkanku hidup, membiarkanku belajar, mencintai, dan berbagi. Lantas tumbuh dan belajar menjadi daun. Daun yang kuharap tetap menyuburkan tanah saat ia layu, gugur dan mati. I wish I could be that leaves..

Maafkan aku Tuhan, karena banyak yang belum bisa kulakukan. Terima kasih.

Aku ingin.

Hujan di Bandara Kota

Basah. Itu kesanku buat hari ini. Hatiku terendam banjir kenangan. Sedang di luar hujan terus turun. Lapangan terbang di Bandara Kota tak kelihatan lagi. Hujan dan angin berpilin di ruang kosong luar. Seseorang berkata di belakangku, ada kemungkinan besar pesawat ke Los Angeles ditunda.

***

Pun juga lima tahun lalu hujan tak selebat ini waktu Tante Nik turun dari pesawat. Kata ayahku, ia datang dari Amerika. Kulihat dari tempat tunggu gaunnya berkibar diterpa angin. Wajahnya cantik. Tubuhnya termasuk tinggi untuk kebanyakan perempuan, hampir menyamai ayahku. Ibuku yang tingginya pas-pasan jadi terlihat lebih pendek lagi. Setelah berpelukan sebentar dengan ayah dan ibu, ia memandang wajahku dan tiba-tiba aku berada dalam pelukannya.

“Hanif sudah besar ya? Sudah kelas berapa?” Ia bertanya sambil menciumi pipiku. Aku diam saja. Aku masih terlalu muda untuk bisa segera berakrab-akrab dengan orang asing seperti orang-orang dewasa. Diambilnya sebuah bungkusan dari dalam tas, dan tangannya terulur padaku. Bungkusnya menarik. Aku pingin segera membukanya. Ibu melirikku tajam.

Baca lebih lanjut

Blues

Kurasa, setiap manusia kadang melarikan diri dari sesuatu.

Dan sesuatu itu bisa saja pekerjaan yang menumpuk, rasa sakit fisik, nyeri relasi antar manusia, suami pencemburu, tetangga yang pemarah, dosen yang tak adil, perkawinan yang entah kenapa, kekasih yang tengah PMS, hutang menumpuk, pembunuh bayaran, penggemar rahasia yang menyebalkan, atau kesedihan karena kondisi pasien yang berprognosis buruk.

Begitu juga saya. Apapun alasannya, malam ini saya melarikan diri ke sebuah kafe, mendengarkan musik blues.

Di sana, pemain gitar sekaligus penyanyinya, selalu berhasil membuat saya terpana. Terutama jika ia memainkan lagu-lagu penuh rasa menyayat, yang membuat hati saya tertekuk-tekuk. Ia memainkan gitarnya dengan penuh penghayatan. Dengan ‘soul’!
Ah, kalau saja saya ini perempuan, saya pasti jatuh cinta padanya.

Karena mau tak mau ia membuat saya berkaca pada hidup yang saya jalani. Benarkah saya telah mengisi hidup yang saya jalani dengan ‘soul’ pula?

Bekerja dengan cinta yang berlimpah, seakan hidup kita sungguh bertumpu padanya? Bangun pagi hari, dan tak sabar melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi? Seperti seorang pemuda tanggung yang tak sabar berangkat sekolah lantaran tahu gadis pujaannya akan lewat di depan kelas?

Kurasa, tiap diri kita kadang melarikan diri dari sesuatu. Noktah masa lalu yang hendak dihapus, bayangan masa depan yang tak jelas, atau masa kini yang belum sepenuhnya dinikmati, dihayati.

Pertanyaannya adalah, kemana?

Mendengarkan dan menonton musik blues, bisa menjadi alternatif. Sungguh. Tapi tentu saja itu tergantung selera. Anda bisa saja melarikan diri dengan cara menonton film korea, bersepeda di tengah malam, bungee jumping dari pesawat terbang, atau sekadar tidur menyehatkan jantung dan hati.

Hidup memang kadang tak nyaman. Contohnya adalah bagi manusia yang harus menanggung nyawa sekian banyak orang, menemui 100 klien sehari, dan dituntut untuk berbagi empati terus menerus.

Sayangnya, musik blues cuma ada di Purwokerto tiap hari Rabu.

Tapi syukurlah, saya punya Langit, pemijat nomor satu di dunia. Bersamanya saya melarikan diri. Pergi ke rumahnya, di langit ketujuh…

Terima kasih ya nak.. Satu hari, saat banyak orang memilih menjauh, kuharap kau masih bersedia bersama. Then we’ll fight the blues..

Shangri La

Hari ini, untuk keempat kalinya aku menginap di Shangri La.

Bertahun lalu, saat memulai sekolah spesialis, ASMIHA tahun 2005 diadakan di hotel Shangri La Surabaya, sebuah hotel bintang lima yang saat itu tak terbayangkan mahalnya. Tentu saja kamar itu tidak atas namaku, namun kamar ‘sisa’ dari seorang senior yang tak bisa datang.

Hal yang sama terjadi pada 2007. Itu kali kedua aku menginap di Shangri La Surabaya, dan atas kebaikan Prof Djoko Sumantri. Masih teringat momen saat gadis2 kecilku berenang gembira di kolamnya. Sedang aku masih saja merasa minder, karena tahu aku takkan bisa membayarnya dengan uangku sendiri.

Lantas tahun 2010, di Shangri La Makati Manila, sebagai seorang resident aku tidur di sendiri di bednya yang besar. Kamar itu memang atas namaku, tapi tetap saja karena kebaikan guruku yang lain, Prof Rochmad Romdhoni, yang telah mencarikan sponsor World Conggress of Echocardiography untukku.

Hari2 ini sedikit berbeda. Aku tidur di kamar Shangri La, atas tanggung jawab yang dibebankan padaku. Ada rasa puas dan bangga, karena setidaknya, ini merupakan buah dari kerja kerasku.

Namun rasa bangga itu pupus tiba-tiba, saat aku mendengar seorang kakak kelas, ia pernah menjadi chief resident dan membimbingku, mengalami kecelakaan yang sangat fatal bersama keluarganya. Ia, yang dulu pernah mengalami nasib sama denganku saat sekolah, “tersia-sia” oleh situasi, terbaring tak berdaya. Bahkan sang istri kini tengah dibantu ventilator, dengan kesadaran yang sangat menurun. Putra mereka tiga. Sama denganku. Tiap kali mengingatnya, ada rasa pilu menghunjami hati, membasahi mata.

Mungkin karena kulihat dirinya dalam diriku. Baru beberapa tahun lulus spesialis, tengah merintis karir, tengah bergairah merancang masa depan. Dan kini tiba-tiba harus menjalani masa-masa terberat dalam hidup.

Ah, betapa hidup sangatlah rapuh. Kematian mengintai tiap saat. Hari ini, tulisan ini bisa saja menjadi tulisan terakhirku.

Lantas, apa yang akan kulakukan seandainya hari ini adalah hari terakhirku?

Kurasa aku takkan melakukan banyak hal. Cuma hal-hal terpenting saja dalam hidup. Juga mengatakan beberapa kalimat pada mereka yang kusayangi, lantas meminta maaf.

Kemudian aku ingin tidur di Shangri La yang sebenarnya. Sebuah tempat serupa surga, yang menurut beberapa tradisi Buddhis juga disebut Shambhala.

Sebuah tempat dimana yang ada hanyalah keheningan, kedamaian, kebahagiaan, kasih sayang…