oleh dr. M. Yusuf Suseno
Seorang pembaca Surya mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit Pemerintah di Surabaya. Surat pembaca itu diberi judul, ‘Sengsaranya Berobat Pakai Kartu Gakin’(Surya, 30 Oktober 2007). Di tengah carut marut dana klaim Askeskin yang tak kunjung turun, ini adalah pernyataan sungguh membuat gundah. Benarkah berobat dengan kartu gakin/Askeskin membawa kesengsaraan?
Kenyataannya adalah, berobat dengan Askeskin pada hari-hari ini memang tak senikmat dulu lagi. Sebagian pemeriksaan, obat-obatan dan biaya operasi yang dulu ditanggung oleh Pemerintah saat ini terpaksa harus dibiayai sendiri oleh pasien. Mengapa? Karena Askeskin saat ini adalah sumber badai besar masalah keuangan rumah sakit Pemerintah di seluruh Indonesia.
RS Dr Soetomo Surabaya sebagai rumah sakit terbesar di Jawa Timur bahkan menanggung hutang dari pelayanan Askeskin hingga 51 milyar(suarasurabaya.net). Ini jelas bukan jumlah yang sedikit. Siapa yang harus membayarnya? Pemerintah pusat sebagai sumber dana utama program ini belum bergeming. Sedang Pemerintah daerah yang ‘katanya’ siap membantu ternyata tak kunjung mengucurkan dana. Hal ini menyebabkan rumah sakit Pemerintah terpaksa memakai model minimalis untuk mencegah makin besarnya hutang yang luar biasa ini.
Tapi sebenarnya, apa yang menyebabkan hutang tersebut bisa membengkak dan menumpuk sedemikian rupa? Jawabannya tak jelas. Semua orang menunjuk hidung orang lain. Pihak rumah sakit yang tertimbun hutang dan PT Askes menyalahkan Pemerintah Pusat yang tak kunjung menurunkan dana. Sedang Menkes menuding oknum pelayanan dan penyelenggara sistem asuransi, serta oknum pengguna Askeskin yang mengaku ‘miskin’.
Dari semua oknum yang disinyalir oleh Menkes, maka oknum yang terakhir inilah yang sangat aneh. Biasanya manusia senang mengaku dirinya kaya, tetapi sejak adanya Askeskin banyak sekali orang Indonesia yang lebih senang disebut miskin.
Padahal menjadi miskin itu sungguh tak enak. Menurut Biro Pusat Statistik, terdapat 14 kriteria keluarga miskin. Dan hanya bila terdapat 9 di antaranyalah maka seseorang dapat disebut miskin.
Inilah contoh sebuah keluarga miskin yang sebenarnya. Pertama, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Kedua, jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Ketiga, jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa plester. Keempat, tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri sehingga harus menggunakannya bersama dengan rumah tangga lain. Kelima, sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. Keenam sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Ketujuh, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. Kedelapan, hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari. Kesembilan, tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000, seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Sebagian besar motivasi oknum yang mengaku miskin ini adalah ketakutan untuk bertambah miskin dengan sakit mereka. Ketakutan yang akhirnya memaksa mereka untuk memiskinkan diri demi mendapat pengobatan gratis.
Jiwa-jiwa miskin ini menelpon sanak saudaranya dari ruang gawat darurat dengan telepon seluler, beberapa di antaranya berkamera, dan anak-anaknya memakai baju bermerk serta sang istri mengenakan perhiasan di leher dan tangannya.
Sayangnya mereka menyodorkan surat keterangan tidak mampu(SKTM) ataupun kartu gakin dari kelurahan untuk membebaskan biaya operasi maupun obat-obatan, segala upaya untuk menghindari resiko berkurangnya harta mereka. Tidakkah mereka sadar bahwa sebenarnya mereka telah mengambil jatah saudaranya yang lebih berhak? Tidakkah mereka sadar kalau mereka makin memperparah hutang rumah sakit yang berlimpah ruah itu?
Lantas, apa yang harus dilakukan dalam kondisi terpuruk seperti saat ini? Menghentikan pelayanan Askeskin? Tentu saja tidak. Fasilitas Askeskin ini telah menyelamatkan beribu nyawa, dan menghentikannya sama saja dengan bunuh diri massal. Dalam beberapa hari saja pasien-pasien gagal ginjal kronis dengan Askeskin yang benar-benar miskin akan segera memenuhi rumah sakit di Jawa Timur. Dan dalam beberapa bulan tingkat kematian pastilah meningkat tajam.
Kata kuncinya menurut saya ada pada seleksi pasien yang ketat oleh pihak rumah sakit, skala tingkat kegawatdaruratan pasien, dan prognosa kesembuhan pasien. Dana obat-obat dan pelayanan Askeskin yang terbatas harus diberikan pada mereka yang sungguh-sungguh miskin, memiliki kondisi paling gawat darurat, tetapi mempunyai kesempatan sembuh yang paling besar dengan tingkat produktifitas tertinggi di masyarakat setelah pulang dari rumah sakit.
Nah, kembali pada pertanyaan, benarkah memakai fasilitas Askeskin akan membuat seorang pasien sengsara? Seharusnya tidak. Tapi memang ada hal-hal yang harus diperbaiki dari sistem kesehatan kita, terutama menyangkut pelayanan di rumah sakit Pemerintah.
Apalagi fasilitas pembiayaan dengan Askeskin menyebabkan kunjungan pasien ke rumah sakit Pemerintah meningkat tajam. Dan akhirnya makin timpanglah rasio jumlah perawat dan pasien, terutama di bangsal-bangsal rumah sakit. Di beberapa bagian terutama poliklinik rumah sakit Pemerintah, rasio jumlah dokter dan pasien pun tak memadai. Volume pekerjaan yang terlalu tinggi sangat mungkin berimbas pada kualitas pelayanan pada pasien. Menambah daftar keluhan di benak pasien dan keluarga mereka yang sakit.
Hubungan dokter dan pasien adalah hubungan yang unik, rumit, dan complicated. Begitu besar harapan pasien dan keluarganya pada para dokter dan rumah sakit. Sedang kemampuan rumah sakit dengan sumber daya manusia yang terbatas kadang tak mampu memenuhi harapan mereka.
Harapan masyarakat yang besar itu akan makin jauh jika dana Askeskin tak segera turun, dan kesengsaraan yang sesungguhnya bahkan tengah menunggu rumah sakit Pemerintah di Jawa Timur. Untuk itu, Pemerintah, entah Pusat ataupun Daerah seharusnya segera mencairkan dana. Dana yang akan memberikan napas baru bagi rumah sakit, napas yang diperlukan untuk menyelamatkan mereka yang sungguh-sungguh miskin.
Tapi jika dana ini turun, adalah penting bagi rumah sakit untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kesalahan yang membuat klaim Askeskin membumbung tinggi. Rumah sakit harus lebih jeli menyeleksi pasien dan membuat skala prioritas obat-obatan dan pelayanan. Selain tentu saja meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, serta memberikan pelayanan yang lebih ramah dan informatif pada konsumennya.
Bagaimana dengan masyarakat? Hanya kejujuranlah yang saat ini diminta. Askeskin adalah hak kaum dhuafa. Mereka yang sungguh-sungguh tak berpunya
Filed under: artikel termuat selain di JAWA POS/KOMPAS, askeskin | Tagged: askeskin, dhuafa, RS Dr Soetomo, Sengsara |
memang, hal yang demikian terjadi dimana-mana. ga hanya di jawa timur. ini bukanlah persolalan yang mudah diselesaikan, tetapi bukan hal yang tidak mungkin untuk diselesaikan. kuncinya adalah, bagaimana kita bisa mengambil keputusan dengan rasional bukan emosional. dan yakinlah untuk tiap persoalan pasti da jalan keluar…