Don’t Take Yourself So Seriously..

Drop the idea that you are Atlas carrying the world on your shoulders. The world would go on even without you. Don’t take yourself so seriously.

Kalimat di atas menghantuiku hari2 ini…. So, biar saja…

Taman Langit

Kebahagiaan. Pernahkah kita benar2 bisa menggenggamnya?

Ada tumpukan buku di rak. Puluhan jumlahnya. Mulai dari yang berbau agama seperti La Tahzan, sampai tulisan ilmiah Prof Daniel Gilbert dari Harvard. Stumbling on Happiness.

Tapi tak semuanya menjawab pertanyaanku tentang kebahagiaan. Dan jika aku mendengarkan versi instrument dari lagu Peter Pan, Taman Langit, maka makin lengkaplah pertanyaanku tentang kebahagiaan. Idris Sardi bermain apik. Mengiris hati. Bahagiakah dia?

Ah, adakah taman, dimana cinta dan kebahagiaan sungguh2 hadir mengisi ruang? Tak sekadar utopia?

Tebu

Di masa lalu aku pernah mencarinya. Lebih tepatnya, mencuri.

Sore itu aku berlari di sepanjang rel, mengejar kereta tua yang gemuruh. Menarik batang tebu, lantas bersama beberapa teman, termasuk sahabat kecilku Din (dimana kau sekarang Din?), menjauh dari suara teriak pengawas yang marah. Bertelanjang kaki. Wajah kecil yang beringus dan penuh keringat. Lelah namun puas karena telah menaklukkan sesuatu.
20120920-225257.jpg

Entah kenapa, ingatan akan hari-hari mencari tebu itu bermain kembali di pelupuk mataku.
Selain karena satu momen yang ditakdirkan hadir, tapi juga karena akhirnya kusadari, aku tak pernah sungguh2 berubah.
Aku masih tetap memilih untuk berlari, mencari tebu lain untuk ‘dicuri’. Meski itu bukan pertaruhan yang mudah.
Tapi, bukankah sebagian orang memang ditakdirkan untuk tak berhenti?

Dan terjebaklah aku di sini. Pelarian yang lain.

Dan bukan tanpa resiko. Termasuk bangun di kamar kos. Sendiri…

Risk Unusual

Sebagian keputusan yang kuambil memang tak biasa.
Aku tahu itu. Sebagian beresiko. Sayangnya tak hanya satu. Banyak. Tak terhitung.
Termasuk saat aku meninggalkan RS Margono, memutuskan untuk sekolah intervensi.
Budeku di Purwokerto mencandaiku, Mas Yusuf ki SpS, alias spesialis sekolah…:)
Dan sepertinya beliau benar. Aku telah dikutuk untuk tak berhenti.

Tapi seperti Jim Rohn bilang,
If you are not willing to risk unusual, you will have to settle for the ordinary.

Sayangnya resiko melihat waktu berlalu begitu saja itu lebih tak bisa kuterima.
Lantas, jika hari2 ini aku harus naik kereta tiap minggu, sekolah lagi di Surabaya daripada menjadi ‘cardiologist’ satu2nya di RS Margono dg segala attributnya, kurasa itu harus kuterima dg lapang dada.
Begitu juga dengan kamar kostku yang sempit, sepeda onthel yg mesti kukayuh tiap hari menuju Soetomo.. Persis seperti saat aku menjadi resident bertahun lalu..
Juga rasa sepi kehilangan kesempatan untuk mendidik, membagi inspirasi pada para murid.
I really miss that moment.. Berdiri dan memberikan sesuatu pada mereka..

But, anyway, let’s enjoy the ride…

20120905-063141.jpg