Kebahagiaan adalah hari ini.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Saat aku duduk di beranda belakang rumah dinas, membaui harum tanah meruap ditimpa gerimis, menghayati dingin menembus tulang.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Saat mendung menggelayut di Purwokerto, mobil tua yang kubiarkan kehujanan di luar rumah dengan AC macet dan jendela otomatis tak bergerak.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Saat anak-anak mandi menjerit-jerit tak usai, bermain sabun, mencoba mencuci celana dalam mereka sendiri.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini.  Saat rumah kosong tak berperabot. Tak bermeja tamu, ranjang, kulkas dan mesin cuci. Bahkan tak satupun kursi.

Kebahagiaan adalah hari ini. Sore ini. Mendung ini. Gerimis ini. Saat tahu engkau ada di sini bersamaku. Mencintaiku. Itu saja.

Terima kasih istriku..

Tiga Gerimis di Malam Lebaran

Tiga Gerimis di Malam Lebaran

Satu

Jalan naik ke rumah, entah mengapa, kini bertambah terjal. Padahal baru setahun aku tak menengoknya. Atau aku memang tak segagah dulu? Ah, hitam asap Jakarta benar penuh mengisi paru.

Dingin senja dan gerimis pekat. Hujan yang sama pernah kutawarkan padamu dulu saat hendak kutinggal ke ibu kota. “Pasti aku akan segera pulang, lantas membayar hutang berobat Bapak.” Kau tersenyum, menelanku dalam kabut matamu. Kau sodorkan payung. Aku hampir menolaknya. Tapi saat itu pula hatiku berjanji, aku akan membawanya kembali.

Tapi berapa banyak janji yang tak bisa kupenuhi istriku? Payung itu hilang saat aku turun dan kencing di toilet umum Pulogadung,  termasuk tas butut berisi pakaian. Kopiah pemberian Ayah pun terpaksa kutukar dengan sepiring nasi rames di warteg. Lantas setelah berbulan bertahan memulung sampah dan hidup menggelandang, berapa banyak uang yang bisa kubawa pulang untuk sekadar berlebaran?

Kau benar istriku. Sekali lagi kau benar. Pertanyaan itu tak perlu kujawab. Toh, aku pulang kini, masih saja berjalan kaki. Tak kuhiraukan tawaran tukang ojek dan kicauan sopir omprengan. Ah, biar kutelan peluh ini. Tiga kilometer ke rumah takkan lama. Hanya saja, kenapa jalanan ini bertambah terjal kini?

Dua

Berdiri di pinggir jalan, dalam gerimis pula, tak pernah membuatku senang. Bedakku sebagian luntur. Parfum murahan yang kubeli dari warung sebelah rumah tak bersisa. Tinggal bau asap motor dan selokan kota, sebagian berisi kotoran manusia.Tapi wisma masih tutup, sedang aku butuh uang. Tanpa uang tak ada obat untuk Bapak. Kartu miskin bukan segalanya. Dokter bilang, ada beberapa obat yang tetap harus kubeli. Entah bualan atau benar.

Uang. Bukankah Ramadan telah usai dan kini malam Lebaran?

Stasiun Poncol mulai sepi. Dan puluhan pasang mata lelaki terlanjur  menelanjangi. Sialan, kenapa mereka tak mau berhenti? Sapa aku hei! Jeritku dalam diam. Aku tahu kau butuh belaianku, rayuanku, tubuhku. Aku butuh uang di dompetmu. Kenapa tergesa?

Suara takbir bertalu-talu. Mataku basah. Entah kenapa. Ah, mungkin aku cuma rindu masa kecil dulu di kampung. Rindu Abah dan Emak. Rindu suara abangku mendaras Qur’an. Sedang kami berlarian di kolong langgar.

Entah kekuatan apa yang tersimpan di malam ini, tapi aku tak laku. Cuma sekali, tiga puluh ribu rupiah, harga teman dengan seorang tukang becak kesepian yang tak bisa pulang kampung. Mungkin Gusti Allah tengah marah padaku. Tapi bukankah Ia Maha Mengerti? Termasuk pada kehilangan-kehilangan yang terjadi dalam hidupku?

Entahlah.

Tiga

Tulang menonjol dari balik kulit. Lelaki tua tertatih, berjalan ke teras rumah, sekuat tenaga meraih pinggiran kursi. Hampir terjatuh.

Tempias hujan membasahi kaki keriput. Terduduk dalam diam.  Rindu masa lalu. Saat ia cukup sehat untuk bekerja dan mencari uang. Juga bebas dari nyeri yang kian tak tertahan. Dirogohnya saku, obat yang tinggal sekali minum. Di kantong tak ada lagi. Besok rumah sakit tutup. Suara takbir dari musholla kampung terdengar jauh.

Sungguh, ia rindu pada  anak lelakinya yang kini entah kemana. Setahun berlalu. Adakah ia masih hidup? Benarkah Jakarta menelan manusia? Sedang menantunya, perempuan mulia yang telah menghidupinya pastilah tengah bekerja.  Tapi, adakah toko yang bekerja selarut ini, di malam lebaran pula? Mungkinkah celoteh busuk tetangga itu benar? Kenapa bau parfum murahan itu selalu datang tiap pagi?

Lelaki tua  memandang keluar rumah. Gerimis membasahi matanya.

–selesai—

Lama aku tak menulis cerpen. Kemarin saat naik sepeda motor menjemput istri di gerimis malam lebaran, aku melihat tiga sosok. Seorang laki-laki  yang tengah berjalan kaki menembus malam, perempuan yang menjajakan diri di depan stasiun Poncol Semarang, dan seorang laki-laki tua termenung di depan rumah.  Merekalah yang telah memaksaku menulis. Aku teringat pada diriku sendiri,  bersyukur karena masih bisa menikmati Lebaran bersama keluarga. Juga berdoa agar hidup semua orang, termasuk ketiga tokohku, menjadi lebih baik. Amin.


Tulisanku 19 tahun lalu..

Menjelang Lebaran.

Seperti kebanyakan orang, hari2 ini aku pulang ke rumah. Namun entah kenapa malam ini aku naik ke kamar atas, dan melihat tumpukan buku2 lama di lemari.

Satu di antaranya terlihat sangat tua. Menguning. Halaman yang rapuh. Tulisan lama mengabur. Namun masih bisa terbaca. Mencampur aduk rasa.

Aku tak tahu aku menuliskannya dimana, tapi sepertinya di rumah dinas Ibu yang lama di Sukodono, Kendal, Jawa Tengah. Lebih 19 tahun lalu. Sepotong sumpah serapah. Sebait puisi. Saat aku masih begitu muda belia. 16 tahun.

Kamis, 4 Juli 91 di Kendal

Hari terus kulalui tanpa arti. Aku malu pada diriku sendiri, dan Tuhan. Yusuf Suseno hidup tak bersandar pada Gusti, tapi pada nafsu.

“Kemuliaan terbesar bukan pada duniawi, tapi pada jiwa yang terbebas dari nafsu duniawi”

Hidup sebagai seorang manusia sangat sulit. Lebih dari sekedar berkata-kata.

Di sini ada sedikit jeda. Ruang kosong. Lantas sepotong sajak.

Doa

Gusti,

jadikan aku seorang manusia

19 tahun kemudian, aku berkaca.

Terasa tulisan pendek itu masih saja berlaku. Sungguh. Kau benar Gusti Allahku. Kau selalu. Demi waktu, sesungguhnya manusia adalah mahluk yang merugi..

Belasan tahun telah berlalu, dan terbukti aku masih belum jadi apa-apa. Jiwaku belum hijrah. Kemuliaan itu masih sangat jauh di tanah antah berantah. Dan aku belum beranjak kemana-mana…

Ya Allah Gusti, mulai Ramadhan ini, perkenankan aku untuk berlari..

padaMu..

Amin.