Revolutionary Road dan Seven Pounds

revolutionary

Liburan 3 hari. Nonton Revolutionary Road dan Seven Pounds. Terasa ada kontinuitas di antara kedua film itu. Ada sesuatu yang ingin disampaikan Allah padaku melalui mereka.

Revolutionary Road (Leonardo Dicaprio dan Kate Winslet) mengisahkan tentang pasangan suami istri yang tengah mempertanyakan kemapanan hidup yang dimiliki, yang berujung pada kehampaan yang mengiris.

Sekali lagi, pertanyaan tentang comfort zone kembali muncul. Sungguhkah hidup yang kini kita jalani sungguh2 sesuatu yang kita inginkan? Tidakkah pilihan hidup yang kita ambil saat ini semata dipengaruhi karena rasa takut?

Frank Wheeler kecil dalam Revolutionary Road berkata, aku takkan menjadi salesman di Knox seperti ayahku. Tapi ternyata akhirnya pekerjaan itulah yang ia jalani. Dan itu pula yang terjadi di dunia nyata. Banyak dari kita menyerah pada keadaan, keterpaksaan, semata karena kita takut. Takut mengambil resiko dalam hidup. Akhirnya kita pun menjalani hari-hari tanpa senyum, sekadar rutinitas. Inikah hidup yang benar2 kuinginkan?

Persoalan yang sama kini tengah membuatku gundah. Aku melihat perjalanan hidupku, dan kusadari bahwa akhir2 ini aku beberapa kali mengambil keputusan yang aman. Tidak semata dengan hati. Tapi semata karena ketakutan, keinginan berlindung pada zona aman, maupun keengganan mengambil resiko.

seven_pounds

Dalam Seven Pounds, tokoh Tim(Will Smith), seseorang yang dihantui rasa bersalah dan karenanya memutuskan untuk mati, memberiku semacam pesan tentang cara memperlakukan hidup sebelum kematian. Ia memang ekstrim. Tim mendonorkan paru2 sebelahnya, lobus kanan hatinya, memberikan rumah, membagi sumsum tulang, dan akhirnya mati dengan membagi jantung untuk kekasihnya, selain kedua matanya untuk seorang teman.

Tim mengatakan padaku, bahwa sudah seharusnyalah kita memperlakukan hidup dengan baik, dan mempersiapkan diri menjelang mati. Karena satu2nya kepastian dalam hidup adalah : kematian.

Pengetahuan itu sudah lama ada tapi tak pernah sungguh2 disadari.

Satu saat, aku pasti mati. Sedang menjadi penulis, menjadi kaya atau miskin, masih di ambang pintu kata mungkin.

Satu2nya kebenaran, kata Komaruddin Hidayat adalah : tiap menit perjalanan waktu, makin dekatlah kita dengan kematian.

Dengan premis ini maka satu2nya hal yang perlu dipentingkan dalam hidup adalah mempersiapkan kematian yang baik. Atau dengan kata lain : membuat hidup kita sungguh2 berharga. Berharga untuk diri sendiri. Dan tentu saja di mata Allah, Tuhan yang Maha Lembut dan Bijak.

Seharusnya konflik batin akibat rasa takut mengambil resiko serta kecintaan pada kemapanan yang terjadi pada film Revolutionary Road tidak mendapat tempat dalam hidupku.  Setidaknya menurut kamus Seven Pounds.

What do you think?

Sore Terakhir

Di satu siang yang keruh, aku baru saja menyelesaikan shalatku saat lelaki tampan bersayap itu duduk di sampingku, sungguh-sungguh menatap. Matanya menelanjangi, memperkosa, mengiris, mencacah harapan hingga luntas.

”Saatnya sudah tiba. Bersiaplah.” Suara berat itu memaksa lututku jatuh, seketika merataplah aku memohon, ”Izrail, beri aku waktu. Hari ini saja.” Tangan mautnya berhenti di ujung ubun, sepersekian inci.

”Izrail, siang ini, hanya siang ini, ijinkan aku menemani anakku tidur. Memeluknya, membiarkan air mataku menyirami jiwa mungil yang sering kutinggalkan. Lantas ijinkanlah aku berbaring di dekat buah hatiku, menutup mata lelah, melupakan segala urusan kerja dan sekolah yang penat. Biarkan kami tidur pulas untuk bangun di sore hari sekadar mampir ke masjid dekat rumah, mengajari mereka berwudhu dan sholat jamaah.”

”Lantas ijinkan kami mampir ke toko depan gang buat beli es krim, dan biarkan kami menikmatinya sambil naik becak keliling kampung, merasakan angin yang mengacau halus rambutnya. Setelah itu wahai Izrail, tolong beri kami waktu untuk menatap keindahan matahari senja, membisikkan keagungan Tuanmu di telinganya. Dan saat kantuk menjelang, jadikan suaraku sebagai penutup hari, membacakan sebuah cerita sembari merasakan tangan mungilnya menyentuh pipi.”

Ia meringis. ”Sudah beratus kali kau ucapkan keinginan ini. Dan beratus kali pula kau ingkari siang, sore, senja dan malammu. Kau berikan mereka pada mahluk bernama : cita-cita, karir, dan uang!” Ia memalingkan muka. ”Ini adalah hari terakhirmu!”

Lega mendengar kata-katanya, kukemasi barang-barangku, kutitipkan pasienku pada dokter jaga di bangsal jantung, kukayuh sepeda onthel dan melaju keluar dari rumah sakit. Belum menyentuh jalan raya handphoneku berdering, seorang dokter muda berteriak di ujung sana,”Dok, pasien Dokter syok lagi!” Kembalilah aku terbirit-birit, berharap si pasien selamat.

Setelah suatu sesi tarik ulur dengan anak buah Izrail yang lain, aku berhasil.  Setidaknya untuk hari ini.  Semua selamat. Tapi saat kulihat isi dompet, ternyata uangku tinggal ribuan. Bagaimana bisa aku membeli susu untuk kekasih kecilku?

Uang. Uang. Uang. Aku butuh uang. Teringat tawaran kerja dari seorang kolega, akhirnya aku terus jalan menuju sebuah klinik, sekedar menggantikan praktek menyambung hidup. Langit makin tua saat aku pulang. Sampai depan rumah lampu gang terasa redup. Kubuka pintu kamar, buah hatiku sudah pulas bermimpi. Aku pun meletakkan tubuhku di sampingnya sambil mencoba mengingat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya kulakukan hari ini. Entah apa.

untuk kekasih kecilku. maafkan Bapak ya nak…

(juga sebuah tulisan lama)

Langit Senja dan Matahari, Musa dan Khidir

Udara penat lab cath (laboratorium kateterisasi) masih terasa dalam kepala saat kaki melangkah ke dalam angkutan kota. Aku ingin segera pulang ke rumah, meletakkan kepala dan tidur. Dua PCI kasus infark miokard akut, satu PTMC pasien mitral stenosis, dan satu kateterisasi diagnostik prolaps katup mitral dalam sehari sangatlah cukup untuk mencipta tumpukan laktat dalam ototku. Dokter Imam memang sudah masuk sebagai yuniorku di lab cath, tapi ia baru berusia 1 minggu di bagian invasif jantung. Jelas betisku masih harus bekerja keras.

Angkot yang kutumpangi kebetulan kosong, karenanya sopir menginjak gas dengan hemat, menembus senja yang meradang di langit. Akibatnya rasa kantuk menyergap.

Adzan magrib baru saja selesai saat mobil bobrok itu tiba-tiba berhenti. Dua sosok manusia, seorang perempuan dan bocah lelaki, masuk membelakangi matahari merah senja. Bau apek debu bercampur amis keringat menusuk hidung.

Perempuan itu lebih muda dariku, sekitar 30-an tahun. Namun wajahnya gelap tua, keriput menggurat dalam di kening. Sekilas matanya selelah mataku, tapi kelelahannya berasal dari jenis yang lain. Terasa ada yang kosong di sana, satu ruang hampa yang mungkin dulu berisi harapan.

Rambut ikal sebahu yang sebagian merah tak sehat jatuh di kedua pipi tirusnya. Baju kuning tua kusam, yang begitu mirip dengan baju lama yang kuberikan pada bekas pembantu di Bengkulu, robek di bagian bahu. Jemari berkuku kotor memegang erat dua lembar ribuan. Pas untuk ongkos. Mungkin satu-satunya uang yang ia punya.

Begitu mereka naik, mobil bobrok bergerak. Si bocah duduk tepat di depanku. Kakinya tak bersandal, hitam dibalut busik putih berdebu. Celana dan kaos gombrang lusuh membungkus tubuh teramat kurus. Aku tak yakin ia sekolah. Kalau ya, mungkin ia akan jadi murid terkecil di kelas satu SD. Tangannya memegang dua bungkus mi instant. Merek murahan, harga di warung cuma tujuh ratus lima puluh rupiah.

Merasa kuperhatikan, tiba-tiba bocah lelaki itu menatap mataku. Seperti gerak lambat film-film lama, bola hitam matanya terasa menembus dalam, menelan, membuatku tenggelam dalam buncah bersalah.

Belum usai dengan kejutan pertama, slow motion itu dilanjutkan dengan bunyi crik-crik pengamen mendekati kami, dilatari back light senja yang begitu jingga. Mata bocah lelaki berkelebat menjauh, mencari lamat-lamat suara cempreng di udara.

Seorang balita perempuan tiba-tiba saja nongol di pintu angkot, menyanyikan lagu usang milik Iwan Fals.
kemesraan ini, janganlah cepat berlalu…
kemesraan ini, akan kukenang selalu…
hatiku damai….

Masih tercekam dalam potongan adegan absurd itu, tanganku tak kuasa bergerak. Untuk melambaipun tidak. Lagi pula aku memang tipe rasional yang tak percaya bahwa memberi pengamen jalanan akan memperbaiki taraf hidup.

Namun tiba-tiba lagu berhenti dan keributan dimulai. Tangan perempuan itu menengadah, meminta mi instant di tangan bocah. Lelaki kecil bermata hitam menggeleng, menggumam tak jelas. Tak sabar tangan perempuan merebut tapi si bocah tak hendak mengalah. Mereka tarik menarik sepotong mi instan 750-an, seakan itu adalah harta terakhir yang paling berharga di dunia. Terdengar suara ’keretak’ patah potongan mi. Perempuan itu menang, melelehkan air mata bocah.

Adegan selanjutnya sangat menusuk hatiku. Diiringi pandangan mata basah bocah, diulurkannya sebungkus mi pada pengamen cilik itu. Satu-satunya senyum, tapi kurasa itu adalah senyum terbaiknya sepanjang hari ini, diberikannya pada gadis kecil yang bahkan bajunya jauh lebih bagus dari yang mereka pakai. Guratan keriput di dahinya sesaat menghilang, kilatan senja bahkan membuatnya hampir mirip seorang malaikat.

Tapi sesaat kemudian mata perempuan itu kembali kelam. Jemarinya mengelus lembut kepala bocah lelaki yang tersedu sedan, sembari tangan kecilnya menggenggam erat-erat mi instannya yang kini tinggal satu. Angkot berderak laju.

Otak yang tersumbat emboli membuatku tertinggal waktu. Tak menungguku bersiap, seakan untuk selamanya, tangan perempuan itu bergerak memencet bel di atap angkot. Kami bersitatap, mata lelah perempuan itu begitu hitam kelam, dilambari putih yang menghisap. Mobil berhenti, mereka bergegas turun. Dunia mapanku terguncang. Aku menggigil. Entah kenapa aku merasa kehilangan sesuatu. Seperti langit senja kehilangan matahari. Seperti Musa ditinggalkan Khidir*.

ditulis berdasar pengalaman seorang kawan, dr. Sri Hastuti.

*Khidir adalah seorang nabi, yang pernah diikuti oleh Musa dalam satu perjalanan. Tetapi Musa tidak sanggup bersabar, dan karenanya tidak lagi diijinkan mengikutinya.

(sebuah tulisan lama)