Sebelum Kucacah Jiwaku

Sebelum kucacah jiwaku, kutulis dalam blogku hari ini : aku sedang tidak ingin bercinta. Tapi terasa itu bohong belaka. Aku terdorong dalam lubang. Sekadar bergerak dalam kelam. Karena aku kangen padamu. Kangen yang tak kunjung padam.

Memang sudah jadi takdirku untuk selalu jatuh cinta tiap kali memikirkanmu. Jadi bayangkan, bagaimana payahnya jatuh cinta berkali-kali dalam sehari hanya gara-gara memikirkanmu? Dan sialnya, bukan pada siapa-siapa. Tapi cuma padamu. Cuma padamu kekasihku! Mungkin banyak orang akan bilang kalau aku cuma mengejar bayangan senja. Tapi kau adalah senja yang nyata, dan tiap saat memikirkanmu membuatku sengsara. Aku capek. Aku capek jatuh cinta padamu. Tapi, adakah yang bisa menyelamatkanku?

Saat ini aku lewat di depan kafe tempat pertama kali kita ketemu dulu, dan entah kenapa aku ingin sekali memencet nomormu, mengajakmu jalan-jalan di sore yang pasti akan membuatmu begitu mungil dalam tempias cahya. Sayangnya aku masih ingat sms-mu : mas, sore ini aku mesti menemani anakku. ini hari pertama les inggrisnya. sabar ya…

Lantas berhentilah aku di sini. Duduk di atas jembatan layang, melihat kereta gemuruh di kejauhan…

postingan ini adalah bagian pembuka dari sebuah cerpen yang sudah lama kubuat…

Sendiri

Tiba-tiba siang ini di ruang catheterisasi menggaung lagu Sherina : Sendiri. Salah seorang perawat pasti telah memutarnya. Menggeser Padi, Dewa, dkk yang biasanya terdengar saat kami tengah bekerja memperbaiki jantung manusia.

Tapi entah kenapa lagu itu terasa lekat. Mengingatkanku pada lagu Cherry Bombshell yang pernah kudengar bertahun lalu.

Sendiri. Bukankah semua manusia toh akhirnya sendiri? Bukankah tak ada perbincangan yang terjadi selamanya? Bukankah akan selalu ada perpisahan, meski itu hanya membuat senja makin temaram?

Sendiri

Link download ada di sini

Baju Pramuka dan Sampah

Di satu siang yang penat aku pulang ke rumah. Berliku memasuki gang, mataku terhenti pada sosok baju coklat pramuka yang berjalan payah ke depan. Seorang anak lelaki, mungkin baru berusia 16 atau 17 tahun, tengah bekerja keras menarik sebuah gerobak penuh sampah. Keringat penuh dan basah. Bau busuk menusuk. Aku merasa kasihan pada anak lelaki berbaju pramuka yang mesti bekerja dengan ribuan bakteri di punggungnya.

Tapi mungkin rasa kasihan itu tak perlu. Saat bersitatap, kulihat ada cahaya di matanya. Senyum tipis menghiasi wajah.

Anak lelaki itu sepertinya tak menyimpan lelah dan rasa sesal. Ia menikmati hidupnya.

Sedang aku? Saat itu pula aku tengah berpikir tentang beban hidup yang belum juga lapang. Tugas2 yang menumpuk. Uang bulanan yang tak jelas. Cita-cita yang masih jauh di awang.

Senyum anak muda itu membuatku merasa sedih. Mungkinkah ia merasa terjebak dalam pekerjaannya sekarang? Atau ia bahagia?

Satu hal yang jelas, mungkin Tuhan tengah mengirim lelaki muda itu agar aku bisa berkaca pada mata dan senyumnya. Hidup tak pernah seutuhnya mudah. Tapi toh ia harus diterima. Lain itu tidak.

Sulitnya Menjadikan Sekolah Ideal (Jawa Pos 12/6/08, judul aslinya : Robohnya Sekolah dan Otak Kami)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Salah satu ruang kelas di SDN Pacarkeling ambruk. Membaca berita itu (Jawa Pos, 10/6), barulah saya tersadar. Mengapa ada yang hilang dari otak saya? Berikutnya, saya pun mengetahui mengapa bangsa ini masih saja terpuruk? Jawabannya adalah karena pendidikan telanjur dipandang sebelah mata.

Bangunan sekolah telantar dan keropos, tiba-tiba atapnya ambruk. Alasannya lagi-lagi terkait dengan birokrasi. Tapi, masih bersyukur, tidak ada siswa yang tertimpa dan mati. Di lain SDN, kalau toh tidak rusak, banyak ruang kelas sekolah di Surabaya yang overload atau sesak siswa. Padahal, ada anggaran Rp 1.290.000.000.000 sisa anggaran APBD Surabaya 2007 yang menganggur tak terserap (Jawa Pos, 10/6). Ironis!

Sebagian orang bisa saja bertanya kritis, buat apa bersekolah? Toh, sekolah tak selalu menjanjikan masa depan. Thomas Alfa Edison berhenti sekolah pada usia 12 tahun dan dia menjadi orang besar. Apa jadinya jika dia terus bersekolah? Mungkin dia akan berhenti bertanya, mencari, dan bereksperimen, lantas mengisi otaknya dengan hafalan nama-nama menteri serta dan ibu kota negara-negara dunia. Informasi yang jarang kita perlukan dan hanya memenuhi otak. Tapi, untuk bangsa yang sakit ini, tidakkah kita tetap memerlukan institusi beratap bobrok dan sesak itu? Baca lebih lanjut