oleh dr. M. Yusuf Suseno
Suatu pagi Prof dr Moh. Yogiarto SpJP(K), ketua Bagian Ilmu Penyakit Jantung FK Unair/RSU dr Soetomo, menguji saya. “Sudah terbukti dari berbagai penelitian bahwa perokok pasif berisiko hampir sama dengan perokok aktif untuk terkena serangan jantung. Lantas, mengapa kita masih ragu mengesahkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?”
Sebagai rakyat kecil, saya butuh beberapa hari untuk berpikir keras menjawab pertanyaan baliau. Menurut saya, keragu-raguan kita pada Perda KTR mungkin terjadi karena kita percaya bahwa warga Surabaya sudah cukup kaya untuk membuang Rp 10 miliar-Rp 100 miliar secara cuma-cuma.
Benarkah? Salah tidaknya jawaban itu bergantung pada hasil tarik ulur Perda KTR yang kini terjadi. Tapi, dari mana angka miliaran rupiah itu muncul?
Sebuah artikel di majalah New England Journal of Medicine ediri Juli 2008 mengisyaratkan angka itu. Penelitian di Skotlandia menunjukkan penurunan kasus serangan jantung 17 persen dalam 10 bulan pascalarangan merokok di ruang publik dan tempat kerja.
Jika Perda KTR diterapkan di Surabaya dengan konsistensi sama seperti di Skotlandia, kita berharap hal serupa akan terjadi. Dengan jumlah pasien penyakit jantung koroner (PJK) berkisar 15.000 orang di antara 2,8 juta penduduk kota, penurunan 17 persen akan menyelamatkan lebih dari 2.000 jantung warga Surabaya.
Sekarang berapa biaya perawatan minimal yang dibutuhkan seorang penderita serangan jantung di rumah sakit? Jika kita memilih pengobatan secara konservatif yang optimal, minimal Rp 5 juta harus dihabiskan selama pasien opname di rumah sakit. Bila kita memilih terapi agresif dengan pemasangan stent, ring atau cincin di pembuluh darah jantung, biayanya bisa mencapai minimal Rp 50 juta per pasien. Bukankah ini berarti Rp 10 miliar-Rp 100 miliar harus disiapkan masyarakat Surabaya bila Perda KTR tak disetujui? Itu belum termasuk kerugian waktu dan finansial akibat hilangnya masa produktif selama dan sesudah perawatan!
Lantas, bagaimana jika Perda KTR ini disosialisasikan ke seluruh Jawa Timur? Dengan proyeksi 80-105 ribu kasus baru penyakit jantung koroner dari Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jatim, kita akan mengurangi jumlah pasien penyakit jantung koroner 14.000 pasien. Ini akan menghasilkan penghematan Rp 70 miliar hingga Rp 700 miliar per tahun. Padahal, sesuai penyampaian Menteri Keuangan, tahun ini Jawa Timur hanya memperoleh dana bagi hasil tembakau Rp 135,849 miliar.
Sebuah penelitian di Pueblo menghasilkan penurunan hingga 27 persen tingkat opname karena serangan jantung. Sedangkan di Helena, larangan merokok di tempat umum dan tempat kerja menurunkan tingkat opname di RS akibat serangan jantung hingga 40 persen. Saat pengadilan Helena membatalkan peraturan itu, tingkat masuk RS akibat serangan jantung kembali ke level semula. Penelitian di New York bahkan menunjukkan bahwa regulasi itu telah menghemat dana masyarakat hingga USD 56 juta pada 2004.
Bagaimana pemborosan jiwa manusia? WHO menyatakan, pada 2002, kematian akibat rokok mencapai 5 juta jiwa. Laporan dari Eropa menunjukkan bahwa merokok pasif menyebabkan kematian 79 ribu warga Uni Eropa. Sedangkan lebih dari 50 ribu kematian akibat penyakit jantung koroner di Amerika dihubungkan dengan perokok pasif. The California Tobacco Control Program telah berhasil mencegah 59.000 kematian akibat penyakit jantung, baik pada perokok aktif maupun pasif selama 8 tahun pelaksanaan.
Namun, mengapa menjadi perokok pasif berbahaya? Perokok pasif mendapat efek negatif pada sistem jantung dan pembuluh darah secara langsung dan tak langsung. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa efek negatif itu timbul akibat terjadinya aktivasi sel beku darah, disfungsi dan peradangan dinding pembuluh darah, peningkatan stres oksidan, penurunan metabolisme energi tubuh, gangguan fungsi otonom, dan peningkatan kekakuan dinding pembuluh darah. Bahkan, 30 menit saja menjadi perokok pasif terbukti mengganggu fungsi endotel pembuluh darah dan meningkatkan stres oksidan. Selanjutnya, ia juga akan menurunkan kadar kolesterol baik (HDL) dan mengganggu stabilitas karat lemak di dinding pembuluh darah. Semua mekanisme itu akan memicu serangan jantung. Itu belum termasuk mekanisme lain yang melibatkan organ tenggorokan, paru, dan lain-lain.
Juga kepentingan Perda KTR tidak hanya berakhir pada manusia dewasa. Perda KTR jelas akan lebih efektif dalam melindungi kelompok yang sangat rawan dari asap rokok, seperti bayi, anak-anak, dan ibu hamil. Telah lama diketahui bahwa paparan rokok pada ibu hamil bisa menyebabkan keguguran, kelahiran prematur, bayi berat lahir rendah, dan kelainan kongenital. Pada anak-anak, perokok pasif berisiko mengalami infeksi paru, infeksi telinga, asma, infeksi otak, bahkan tumor pada usia dini.
Bukan hanya itu. Perda KTR akan memberikan pesan cukup jelas pada para remaja Surabaya tentang norma merokok yang sesungguhnya. Survei Kesehatan Nasional 2001 menunjukkan bahwa 54,5 persen laki-laki Indonesia mulai merokok pada usia 10 tahun. Sedangkan data di Amerika menunjukkan 90 persen perokok dewasa mulai merokok sejak anak-anak.
Sayangnya, meredam akibat buruk pada perokok pasif tidak bisa dengan pendekatan hukum semata. Fatwa MUI, Perda KTR, semua itu bisa saja tidak bermakna. Siapa yang bisa menjamin penegakan hukum di Indonesia? Apalagi, rokok sudah berabad lamanya menjadi bagian dari budaya, terutama budaya Jawa yang paternalistik. Jika menurut Thomas Raffles, Sultan Agunglah yang dulu memelopori kebiasaan rokok. Kini, adakah tokoh yang bisa mendorong masyarakat menguranginya? Sepertinya tidak.
Dengan segala keterbatasan itu, akankah Perda KTR di Surabaya disahkan dan diberlakukan? Jika ya, apakah Perda KTR betul-betul efektif mengurangi dampak rokok pada kesehatan masyarakat Surabaya? Apakah Perda KTR bisa menghemat puluhan miliar rupiah uang masyarakat Surabaya?
Maybe yes, maybe not. Jawabannya bergantung, antara lain, pada hati dan niat baik kita.
Filed under: artikel termuat di JAWA POS | Tagged: Jawa Pos, Rokok |
Tinggalkan Balasan