oleh dr. M. Yusuf Suseno
Di tengah sorotan publik terhadap pelaku korupsi, beberapa waktu lalu kota Surabaya diramaikan oleh isu pungli di sebagian Puskesmas. Campur aduk isi berita tentang instansi pelayanan kesehatan primer itu. Ada keprihatinan, tersirat permakluman, tapi jelas terasa kritik yang mengiris. Lepas dari peraturan daerah yang mungkin perlu direvisi, isu pungli di Puskesmas tetaplah menyengat kalangan kesehatan di Surabaya. (Surabaya Post 5/8/08)
Bagi penulis, bekerja di Puskesmas adalah periode hidup dimana idealisme harus bertarung dengan kenyataan tentang cara menghidupi institusi. Masalah menumpuk tinggi. Hormon stres meningkat. Mulai dari tenaga honorer yang terlalu tua untuk diangkat. Pertemuan informal dukun bayi yang butuh konsumsi dan ongkos transport. Atap ruang rawat inap yang hampir runtuh. Tabung oksigen yang rusak tak kunjung diganti. Sedang dana dari Pemerintah Daerah kadang tersendat tak kunjung turun.
Tapi semua itu tak seberapa dibanding teror moral menjelang Lebaran. Belasan pasang mata menatap, bertanya, bisakah sang pemimpin memberi sedikit tambahan tunjangan hari raya?
Ah, dua ribu lima ratus rupiah yang memalukan. Coba bandingkan dengan iklan di surat kabar besar tentang klinik pengobatan Cina. Atau rumah sakit Tiongkok yang rajin menjaring pasien di Surabaya. Hampir tiap minggu mereka mematut diri di media. Besar, sepertiga halaman, menyedot perhatian. Terlihat hebat. Pelan-pelan memaksa kita jadi penonton. Inilah efek industrialisasi layanan kesehatan. Mereka kelihatan berkelas. Sedang Puskesmas kita kampungan. Cuma dua ribu lima ratus saja. Lebih murah dari semangkok mie ayam. Itupun masih diisukan pungli!
Makin sedih saat isu pungli di Puskesmas dihubungkan dengan berkurangnya pemasukan ke pundi-pundi Pemkot. Ini adalah pandangan yang salah kaprah! Sudah seringkali diingatkan oleh banyak pihak, kalau Puskesmas bukanlah sapi perahan Pemerintah Daerah. Jadi jangan samakan Puskesmas dengan rumah sakit.
Persepsi ini terjadi karena banyak orang lupa kalau kepanjangan Puskesmas adalah Pusat Kesehatan Masyarakat, bukan Pusat Kesakitan Masyarakat(Rachmad P, 2006). Jadi tugas utamanya adalah adalah usaha promotif(promosi) dan preventif(pencegahan). Bukan kuratif(penyembuhan) dan rehabilitatif(rehabilitasi).
Hal yang berbeda berlaku untuk balai pengobatan dan rumah sakit. Dua institusi ini memang bernuansa kuratif, dan karenanya cukup pantas jika saat ini diberi kaca mata kuda untuk sekadar mengobati orang sakit. Sedang menjadi kuda perahan, tentu saja itu lain soal!
Silakan baca Visi Indonesia Sehat 2010. Kita ingin memiliki masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Semua kalimat di sana mengandung kata sehat. Bukan sakit. Paradigma sehat, itu yang sering kita lupa, dan bukan paradigma sakit. Memilih paradigma sehat berarti menitik beratkan pada upaya penyehatan masyarakat, bukan sekadar sembuh dari sakit.
Masih ingin pendapatan Puskesmas meningkat? Ada cara gampang yang bisa dilakukan, tulis seorang ahli kesehatan masyarakat. Sebar saja virus (pilih : virus cacar air atau virus mata merah) di tengah pasar, pasti besok kunjungan ke Puskesmas membludak. Setoran Puskesmas pada Pemkot bulan ini berlipat!
Humor ini muncul karena memang banyak orang tidak menyadari kalau kesehatan bukanlah sakit yang disembuhkan. Ia bukan demam yang membaik dengan parasetamol, minum oralit saat diare, maupun rutin mengkonsumsi obat cacing setahun 2 kali. Esensi kesehatan tercermin dalam upaya 3M untuk mencegah demam berdarah, mencuci tangan sebelum makan, makan makanan yang sehat dari rumah, serta memberikan ASI pada bayi hingga 2 tahun.
Upaya menyembuhkan tentu saja bisa dilakukan oleh Puskesmas. Setidaknya untuk penyakit seperti pusing, keseleo dan masuk angin(puskesmas). Tapi bukan hanya itu tanggung jawab Puskesmas. Tugas utama Puskesmas adalah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat di sekitarnya. Ingat, meningkatkan taraf kesehatan, bukan semata menyembuhkan mereka yang sakit. Karenanya adalah masuk akal jika usaha promotif dan preventiflah yang seharusnya menjadi jargon. Sekali lagi, mengharap setoran Puskesmas ke Pemkot adalah tindakan sia-sia yang keliru.
Prof Dr. Firman Lubis dari UI pernah mengatakan bahwa menjadikan Puskesmas sebagai unit usaha daerah akan lebih banyak mendatangkan kerugian. Beliau menyatakan bahwa pemasukan yang diperoleh akan jauh lebih rendah dari kerugian yang didapat akibat rendahnya taraf kesehatan masyarakat karena kurangnya usaha promotif preventif. Mestinya, usaha promotif-preventif dilihat sebagai investasi untuk meningkatkan kualitas SDM, yang secara jangka panjang akan jauh lebih menguntungkan daerah ketimbang melakukan usaha kuratif.
Anda ingin bukti? Silakan hitung berapa dana Askeskin yang telah dihabiskan oleh rumah sakit daerah dan rujukan di Surabaya. Ratusan milyar rupiah! Bayangkan kalau sebagian kecil saja dana itu digunakan untuk promosi dan pencegahan penyakit. Bayangkan kalau total dana yang digunakan untuk merawat 10 orang anak penderita diare hingga sembuh digunakan untuk mensubsidi pembangunan jaringan PDAM di sebuah gang padat penduduk di Surabaya utara. Air bersih itu akan bisa menyelamatkan lebih banyak anak, dan bertahan hingga bertahun kemudian. Tidakkah akan lebih banyak nyawa diselamatkan?
Memang ada penyakit yang tetap tak bisa dicegah dengan usaha promotif dan preventif, misalnya thalassemia. Tetapi sebagian besar penyakit infeksi bisa dicegah dengan ketersediaan jamban, juga dengan mengubah lingkungan kumuh menjadi lingkungan yang lebih sehat. Gerakan anti rokok bisa mengurangi pasien di ruang jantung dan paru. Posyandu yang berjalan intens akan mengurangi angka balita gizi buruk di Surabaya. Begitu pula kampanye etos berlalu lintas santun akan mengurangi tingkat operasi bedah yang berbiaya tinggi.
Menurut saya, masyarakat Surabaya sebenarnya tidak terlalu membutuhkan Puskesmas plus dengan pelayanan spesialis. Sudah ada begitu banyak klinik, praktek pribadi, dan rumah sakit yang siap memberi pelayanan spesialistik. Mereka yang kurang mampu dan membutuhkan layanan spesialis pun bisa dirujuk langsung ke rumah sakit pemerintah di Surabaya.
Saat ini, yang lebih dibutuhkan masyarakat Surabaya adalah Puskesmas yang kembali kepada jati dirinya. Yakni Puskesmas yang mengutamakan usaha penyehatan daripada kesibukan menyembuhkan warga yang sakit. Dari Puskesmas ‘sejati’ inilah maka balita dengan status gizi kurang bisa terdeteksi, dan dicegah dari perburukan lebih lanjut. Puskesmas ‘sejati’ pulalah yang bisa mencegah wabah diare dan demam berdarah, satu penyakit tahunan di metropolis.
Menyerahkan sepenuhnya usaha promotif dan preventif pada masyarakat adalah tindakan yang kurang tepat. Memang, program kelurahan siaga sangat positif dan harus terus dibangkitkan. Tapi sementara perjalanan menuju kelurahan mandiri belum tercapai, tidak seharusnya Puskesmas mengendurkan tangan dan lebih memegang erat usaha kuratif. Apalagi jika kemudian usaha kuratif itu disinyalir berbau pungli. Duh, sedih rasanya!
Mari kita berdoa semoga Puskesmas yang sakit di Surabaya akan segera sembuh dari sakitnya, serta bersama yang lain kembali menemukan jati dirinya. Sungguh, tanpa Puskesmas ‘sejati’, Surabaya yang sehat hanya akan jadi impian.
Semangat!
Filed under: artikel termuat selain di JAWA POS/KOMPAS, kebijakan dunia kesehatan | Tagged: Puskesmas |
Dari kepala puskesmas diberitahukan bahwa dana hanya akan turun kalau kami bisa memenuhi jumlah kuota kunjungan dalam dan luar gedung puskesmas mencapai angka tertentu. Angka tertentu ini angka kesakitan kan? berarti tugas promotif preventifnya ngga berjalan dengan baik kan? Betul2 kehilangan arah… Ditambah lagi setoran ke kabupaten yang setiap tahun jumlahnya bertambah sementara di kecamatan itu 75% penduduknya terdata penerima jamkesmas, alias gratisan… Mau ngorek2 dari mana ya supaya bisa nyetor sebanyak itu..? Harapan saya, mudah2an puskesmas kami khususnya dan di Indonesia umumnya bisa kembali ke fungsi semula, yaitu promotif dan preventif… Amiin…
“Gerakan anti rokok bisa mengurangi pasien di ruang jantung dan paru” ==> how bout it ‘s starting from you doctor..:)
semangat!