Kata-Kata yang Menyembuhkan (Jawa Pos 9/9/08)

oleh dr. M. Yusuf Suseno

“Pak, tidak ada yang sungguh-sungguh aman di dunia kedokteran. Resiko komplikasi, termasuk kematian selalu ada, meski cuma 0,1 %. Sayangnya, tak ada ramalan yang sungguh-sungguh akurat. Meski Bapak terlihat cukup siap, kejadian yang menimpa satu dari 1000 pasien itu bisa saja terjadi. Namun saya berjanji, saya akan melakukan yang terbaik untuk Bapak. Semua anggota tim medis di rumah sakit ini siap mendukung kelancaran prosedur itu. Bagaimana, apakah Bapak tetap bersedia?”

Kalimat itu terasa asing di sini. Entah kenapa. Mungkin itu sebabnya rumah sakit di luar negeri dipenuhi pasien Indonesia. Mungkin karena mereka di sana berbicara banyak, sedang kita terlalu sibuk dan hemat kata-kata.

Dalam kejadian komplikasi yang mengakibatkan kematian Lia, seorang pasien yang meninggal pasca sebuah prosedur di sebuah rumah sakit Pemerintah, seorang dokter senior dengan hati besar mengakui kekurangan sistem medis di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa tim medis sebenarnya wajib memberikan informasi mengenai kondisi pasien kepada keluarganya secara detail. Informasi itu harus dijelaskan dalam bahasa sederhana yang dimengerti keluarga pasien. ”Itu sudah jadi tugas tim medis ketika menangani pasien,” ucapnya. ”Di situlah letak kesenjangan informasi dalam kasus Lia.”(Jawa Pos 6/9/08)

Padahal tidak hanya sekedar informasi. Satu hari Wapres Jusuf Kalla berkomentar tentang pelayanan kesehatan di Indonesia. “Pasti bukan karena otak yang berbeda, tetapi pelayanan dan kemampuan merebut kepercayaan pasien. Kita kalah senyum dengan mereka.”(Jawa Pos 23/5/08)

Seorang dokter dari Inggris, S.G Jeffs, puluhan tahun lalu menulis hal mendasar yang seharusnya terus ditekankan para dosen di Fakultas Kedokteran pada murid-muridnya. “Nobody is another case of…… You have no cases. You have patients who are human beings with feelings and emotions who often have a greater dignity and self-respect than you possess yourself.” Kalimat yang aneh. Sebagian bahkan mungkin berpikir, harga diri yang lebih besar?! Ah, siapa pula yang masih berbicara tentang hal itu dalam dunia yang tergesa, dengan sistem kapitalisme yang tak ramah pula?

Tak pelak lagi, dunia kedokteran tengah berubah. Layanan kesehatan masa kini mulai bergeser dari semata panggilan hati, menjadi satu bisnis tambang emas bagi para pemodal. Singapura adalah contoh terbaik dari produsen layanan kesehatan yang menguntungkan, dengan kemasan promosi dan cara komunikasi yang hebat.

Menurut Emanuel, ada beberapa model komunikasi antara pasien dan dokter. Tipe tertua dalam tradisi kedokteran adalah model paternalistik, satu model yang masih banyak dipakai di Indonesia. Pada model paternalistik, interaksi antara dokter dan pasien laksana orang tua dan anaknya, dimana dokter memastikan bahwa pasien mendapat terapi terbaik. Dokter dianggap memiliki kewajiban, dan sungguh dipercaya. Dokter menjadi penentu keputusan bagi pasien. Tapi jika terjadi efek samping yang tak dipahami oleh pasien dan keluarga, maka hubungan dokter pasien ini pun bisa memburuk dengan cepat.

Saat ini, sesuai perkembangan globalisasi dan media informasi, hubungan dokter dan pasien pelan-pelan dituntut untuk berubah. Salah satu model lain yang bisa menjadi pilihan adalah model informatif yang setara. Model informatif ini menciptakan transaksi terapetik antara pemberi jasa dan konsumen yang lebih terbuka, meski kadang terasa dingin dan tak melibatkan pribadi.

Pada model transaksi antara pemberi jasa dan konsumen ini, segala informasi, termasuk diagnosa sementara dan pilihan pemeriksaan penunjang dijelaskan kepada pasien. Dokter secara terbuka menyatakan keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan, maupun keterbatasan fasilitas rumah sakit. Begitu pula dengan jenis pilihan obat, tindakan operasi, serta efek samping maupun resiko-resikonya.

Akhirnya bukan lagi dokter yang menentukan pilihan terbaik, tetapi pasienlah yang menentukan pilihan terbaik bagi diri mereka sendiri. Model informatif meniadakan peran dokter dalam mempengaruhi keputusan pasien. Dokter hanya membeberkan fakta. Pasien mengontrol hampir semua keputusan.

Resiko dari model informatif ini adalah waktu konsultasi yang lebih lama. Satu hal yang belum didukung oleh sistem kesehatan di Indonesia. Siapa yang bisa menjamin para dokter di Puskesmas, dengan jumlah pasien puluhan akan sanggup memberikan informasi lengkap?

Saya rasa, Ibu Menkes pun tidak. Padahal bagi konsumen tertentu, model informatif ini akan memberikan kepuasan tersendiri. Tingkat kesalahpahaman antara dokter dan pasien bisa ditekan habis, tingkat kepuasan pasien sebagai konsumen dijunjung tinggi.

Sayangnya model informatif juga tak menjamin bahwa pasien akan selalu diuntungkan. Apalagi saat pihak pemodal dengan orientasi profitnya ikut berperan dalam pembuatan standar pelayanan di rumah sakit. Secara tak langsung mereka mempengaruhi alur pelayanan, termasuk informasi dari dokter dalam penggunaan teknologi terbaru. Teknologi yang tentu saja dibeli dengan uang, dan diharapkan akan mencapai titik impas dan memberi keuntungan.

Sebagian besar dari kita (tidak hanya profesi dokter), memang terlalu sibuk dan tak memiliki cukup waktu. Kita lupa pada kata-kata Rudyard Kipling, almarhum penyair Inggris penerima Nobel. “Words are, of course, the most powerful drug used by mankind.”

4 Tanggapan

  1. Kunjungan saya ke tulisan ini mengingatkan kembali, meskipun di puskesmas jumlah pasien yang puluhan memaksa untuk memakai model interaksi paternalistik, tetap saja saat ini harus pintar2 menggabungkan dengan model informatif. Karena seharusnya pasien juga bertanggung jawab atas kesehatannya bukan melulu menyerahkan sepenuhnya pada dokter yang merawatnya… Tulisan yang bagus sekali pak.

  2. Terima kasih…

  3. I like your last paragraph….. so true..

  4. […] miokard. Jadi, di sinilah peran anamnesa jadi sangat penting. Seperti yang pernah saya tulis di Kata-Kata yang Menyembuhkan.  […]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: