Setelah beberapa bulan tinggal di kota ini, akhirnya aku memilih. Dan itu karena Cinta, gadis kecilku yang pertama jatuh sakit. Demam.
Ia, yang secara emosionil sangat dekat dan mirip denganku adalah salah satu penghubungku dengan masa depan. Entah kenapa. Dan itu telah terbukti.
Tiap kali ayahnya menghadapi ujian hidup, tiap kali pula ia sakit. Dan sakitnya itu adalah pertanda, adalah peringatan untuk ayahnya, untuk pasrah dan meyakini bahwa segala sesuatu telah diatur, dan tidak ada gunanya merengek dan menangis. Seakan ia berkata padaku, “Pak, lakukanlah apa yang kau bisa lalu biarkan Allah yang memutuskan. Karena Allah memberi yang terbaik. Selalu.”
Dulu, persis satu hari sebelum aku ujian masuk spesialis, aku sangat gelisah. Namun Cinta tiba-tiba demam tinggi. Tanpa ba-bi-bu. Padahal waktu kami berangkat ke Surabaya ia sangat sehat. Tengah malam itu ia seakan ikut prihatin dengan suasana hati dan ujian hidup ayahnya. Tak lagi sempat belajar, aku malah begadang menjaga gadis kecilku itu. Namun, alhamdulillah aku tetap lulus. Padahal aku bukan alumni Surabaya, jadi tak kenal pada siapapun dokter senior yang mengujiku hari itu.
Kini, ujian hidup yang kuhadapi adalah tentang keberadaanku di kota ini. Sungguhkah hidupku akan lebih bermakna jika aku menetap di sini? Haruskah aku pergi?
Akhirnya, aku melakukan usaha terakhirku. Surat itu kulepaskan dan kuserahkan. Terserah apakah mereka akan memperjuangkan atau tidak. Jika Allah menghendaki, maka akan dilancarkanlah segala urusanku di kota ini. Rezeki, karir, kesehatan, kebahagiaan.
Sedang jika tidak, maka akan dialihkannya jalan hidupku ke tempat lain. Dimana Allah telah pula menyediakan segala sesuatunya.
Segala sesuatu adalah milikMu. Aku cuma ‘nunut’ saja.
Ah, kurasa sudah saatnya aku melakukan hal-hal yang benar. Kini, segalanya kukembalikan padaMu. Enam bulan hidup adalah waktu yang singkat. Bukankah Kau bilang aku harus bersiap, bergegas? RinduMu sungguh tak bisa kutebak…
Filed under: seputar hidupku |
Tinggalkan Balasan