“Kalau nggak kena kanker, saya mungkin nggak akan pernah membebaskan diri dari pagar-pagar yang saya rasakan membelenggu itu.” Ya, lelaki itu mengumpamakan kanker sebagai ‘hadiah’ Tuhan yang membuat ia lebih berani merangkul kehidupan.
Paragraf yang menyentuh. Itu adalah kalimat Hanif Arinto, 36 th, seorang pasien kanker usus besar yang terpasang stoma. (Kompas Minggu 12/6/11, Hidup Berlanjut dengan “Stoma”).
Hanif yang dulu senang fotogragi tapi tak berani memotret, kini berubah menjadi seseorang yang tak pernah melepas tiap momen hidup dari kamera. Hanif yang dulu sangat sibuk namun tak menikmati hidup, kini belajar bermain ski dan menjadi sukarelawan untuk Yayasan Kanker Indonesia. Hanif hari ini adalah Hanif yang berani menjalani hidup sepenuhnya, meski tahu sel kanker belum ia kalahkan.
Hidup Hanif berubah setelah kanker menyerangnya. Tapi, sungguhkah kita harus menunggu hingga kanker, penyakit jantung, atau kondisi kritis lain menyerang tubuh baru kita “berani merangkul kehidupan”?
Kenapa kita tidak merangkul kehidupan kita mulai kini? Kenapa kita tak melakukan hal-hal yang sungguh berarti? Kenapa kita melakukan hal-hal yang remeh hanya karena desakan ‘common sense’ dan tekanan tata sosial masyarakat?
Coba letakkan perspektif hidup kita pada posisi Hanif. Apa yang akan kita pilih jika kita tahu bahwa satu hari, dalam waktu dekat, kematian akan datang menghampiri? Anggap saja, enam atau dua belas bulan lagi…
Lagipula, adakah yang menjamin bahwa esok hari kita masih bisa menyaksikan matahari terbit? Tak siapapun.
Lantas, kenapa kita tak : membagi kasih sayang, menyatakan isi hati, meminta maaf, memaafkan, memeluk pasangan hidup, menelpon teman lama, atau sekadar menyapa seseorang padahal hati kita menginginkannya?
Kenapa kita tak merangkul kehidupan, tapi alih-alih melaluinya seperti seorang pejalan tidur?
Ini adalah kritik saya pada diri sendiri. Terima kasih pada alam semesta yang terus mengingatkan tentang arti penting sebuah pilihan hidup. Seperti seseorang bilang (mbak Riana, voicesnoises), “Tak ada yang salah dalam pilihan2 itu. Asalkan ia datang dari hatimu.”
Tulisan ini sekaligus menandai hari berkabung saya atas meninggalnya, Prof. Budi Susetyo Juwono, SpPD, SpJP. Satu-satunya guru, yang saat pendidikan spesialis pernah mengajak saya bicara tentang perlunya mendengar suara hati. Nurani.
Terima kasih Prof. Selamat jalan. Air mata dan doa kami menghantarmu menuju Sumber Rindumu..
Purwokerto, minggu sore, 12/6/11
Filed under: perjalanan |
dan Pak Hanif sekarang sudah kembali kepada-Nya pada Sabtu 23-08-14, salut atas semangat hidup dan perjuangannya dan kami rekan kerja yang ditinggalkan merasa sangat kehilangan beliau, semoga diberikan tempat yang terbaik disisi-Nya. amin