Udara penat lab cath (laboratorium kateterisasi) masih terasa dalam kepala saat kaki melangkah ke dalam angkutan kota. Aku ingin segera pulang ke rumah, meletakkan kepala dan tidur. Dua PCI kasus infark miokard akut, satu PTMC pasien mitral stenosis, dan satu kateterisasi diagnostik prolaps katup mitral dalam sehari sangatlah cukup untuk mencipta tumpukan laktat dalam ototku. Dokter Imam memang sudah masuk sebagai yuniorku di lab cath, tapi ia baru berusia 1 minggu di bagian invasif jantung. Jelas betisku masih harus bekerja keras.
Angkot yang kutumpangi kebetulan kosong, karenanya sopir menginjak gas dengan hemat, menembus senja yang meradang di langit. Akibatnya rasa kantuk menyergap.
Adzan magrib baru saja selesai saat mobil bobrok itu tiba-tiba berhenti. Dua sosok manusia, seorang perempuan dan bocah lelaki, masuk membelakangi matahari merah senja. Bau apek debu bercampur amis keringat menusuk hidung.
Perempuan itu lebih muda dariku, sekitar 30-an tahun. Namun wajahnya gelap tua, keriput menggurat dalam di kening. Sekilas matanya selelah mataku, tapi kelelahannya berasal dari jenis yang lain. Terasa ada yang kosong di sana, satu ruang hampa yang mungkin dulu berisi harapan.
Rambut ikal sebahu yang sebagian merah tak sehat jatuh di kedua pipi tirusnya. Baju kuning tua kusam, yang begitu mirip dengan baju lama yang kuberikan pada bekas pembantu di Bengkulu, robek di bagian bahu. Jemari berkuku kotor memegang erat dua lembar ribuan. Pas untuk ongkos. Mungkin satu-satunya uang yang ia punya.
Begitu mereka naik, mobil bobrok bergerak. Si bocah duduk tepat di depanku. Kakinya tak bersandal, hitam dibalut busik putih berdebu. Celana dan kaos gombrang lusuh membungkus tubuh teramat kurus. Aku tak yakin ia sekolah. Kalau ya, mungkin ia akan jadi murid terkecil di kelas satu SD. Tangannya memegang dua bungkus mi instant. Merek murahan, harga di warung cuma tujuh ratus lima puluh rupiah.
Merasa kuperhatikan, tiba-tiba bocah lelaki itu menatap mataku. Seperti gerak lambat film-film lama, bola hitam matanya terasa menembus dalam, menelan, membuatku tenggelam dalam buncah bersalah.
Belum usai dengan kejutan pertama, slow motion itu dilanjutkan dengan bunyi crik-crik pengamen mendekati kami, dilatari back light senja yang begitu jingga. Mata bocah lelaki berkelebat menjauh, mencari lamat-lamat suara cempreng di udara.
Seorang balita perempuan tiba-tiba saja nongol di pintu angkot, menyanyikan lagu usang milik Iwan Fals.
kemesraan ini, janganlah cepat berlalu…
kemesraan ini, akan kukenang selalu…
hatiku damai….
Masih tercekam dalam potongan adegan absurd itu, tanganku tak kuasa bergerak. Untuk melambaipun tidak. Lagi pula aku memang tipe rasional yang tak percaya bahwa memberi pengamen jalanan akan memperbaiki taraf hidup.
Namun tiba-tiba lagu berhenti dan keributan dimulai. Tangan perempuan itu menengadah, meminta mi instant di tangan bocah. Lelaki kecil bermata hitam menggeleng, menggumam tak jelas. Tak sabar tangan perempuan merebut tapi si bocah tak hendak mengalah. Mereka tarik menarik sepotong mi instan 750-an, seakan itu adalah harta terakhir yang paling berharga di dunia. Terdengar suara ’keretak’ patah potongan mi. Perempuan itu menang, melelehkan air mata bocah.
Adegan selanjutnya sangat menusuk hatiku. Diiringi pandangan mata basah bocah, diulurkannya sebungkus mi pada pengamen cilik itu. Satu-satunya senyum, tapi kurasa itu adalah senyum terbaiknya sepanjang hari ini, diberikannya pada gadis kecil yang bahkan bajunya jauh lebih bagus dari yang mereka pakai. Guratan keriput di dahinya sesaat menghilang, kilatan senja bahkan membuatnya hampir mirip seorang malaikat.
Tapi sesaat kemudian mata perempuan itu kembali kelam. Jemarinya mengelus lembut kepala bocah lelaki yang tersedu sedan, sembari tangan kecilnya menggenggam erat-erat mi instannya yang kini tinggal satu. Angkot berderak laju.
Otak yang tersumbat emboli membuatku tertinggal waktu. Tak menungguku bersiap, seakan untuk selamanya, tangan perempuan itu bergerak memencet bel di atap angkot. Kami bersitatap, mata lelah perempuan itu begitu hitam kelam, dilambari putih yang menghisap. Mobil berhenti, mereka bergegas turun. Dunia mapanku terguncang. Aku menggigil. Entah kenapa aku merasa kehilangan sesuatu. Seperti langit senja kehilangan matahari. Seperti Musa ditinggalkan Khidir*.
ditulis berdasar pengalaman seorang kawan, dr. Sri Hastuti.
*Khidir adalah seorang nabi, yang pernah diikuti oleh Musa dalam satu perjalanan. Tetapi Musa tidak sanggup bersabar, dan karenanya tidak lagi diijinkan mengikutinya.
(sebuah tulisan lama)
Filed under: manusia-manusia, seputar hidupku |
Subhanallah…saya bisa merasakan perasaan kawan mas Yusuf saat itu..