Layaknya siklus tahunan, sekali lagi kasus aborsi ilegal mencuat. Sepanjang 2007, ada 2 dokter di Surabaya yang terjerat hukum karena melakukan aborsi. Kini, seorang dokter kembali berkubang dalam lubang yang sama.(JP 15/11/08). Mengapa hal ini terjadi?
Salah satu jawabnya adalah karena adanya permintaan yang tinggi dari masyarakat untuk tindakan aborsi. Berdasar data organisasi kesehatan dunia WHO pada 1998, sekitar dua juta perempuan di Indonesia melakukan aborsi setiap tahunnya. Jumlah aborsi tersebut adalah yang terbesar atau lebih 70 persen dari semua kasus di Asia Tenggara.(Kompas 28/8/08).
Di satu kesempatan lain, seorang Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN mengatakan, setiap jam terjadi 300 aborsi di Indonesia, dan 700 ribu di antaranya dilakukan pada perempuan berusia kurang dari 20 tahun. Ini berarti termasuk Lina(nama samaran), gadis Surabaya berusia 15 tahun yang bersama dr YA menjadi tersangka.
Selain Lina, siapa saja yang melakukan aborsi? Ternyata sebagian besar bukanlah teman-teman-teman Lina, remaja tanggung yang hamil di luar nikah. Sebuah penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa 60 persen pelaku aborsi adalah ibu rumah tangga. Penelitian Indraswari dari Unpad juga menemukan bahwa 85 persen pelaku aborsi telah menikah. Penelitian yang diselenggarakan oleh Population Council pada tahun 1996-1997 di klinik swasta dan klinik pemerintah bahkan menunjukkan bahwa 98,8 persen klien aborsi adalah perempuan menikah dan telah punya 1-2 orang anak.
Selain hamil di luar nikah dan gagal KB, alasan lain melakukan aborsi adalah karena perkosaan dan janin yang menderita cacat berat. Intinya adalah saat seorang perempuan mengalami kehamilan yang tak diinginkan, dari sanalah aborsi tampak sebagai salah satu jalan keluar. Beberapa perempuan mencari bantuan medis, sedang yang lain memutuskan mencari pertolongan dari pihak tak berkompeten. Terjadilah komplikasi yang serius seperti perdarahan dan infeksi.
Prof Dr Gulardi SpOG mengatakan, angka kematian ibu (AKI) yang berkisar 300-an per 100.000 kelahiran hidup itu disusun oleh sekitar 11-13 persen kasus aborsi. Sumber lain malah menyatakan kalau aborsi sebenarnya menyumbang hingga 50 persen kematian ibu.
Apa yang terjadi di dunia nyata jelas berhadapan dengan hukum di Indonesia. Sumpah dokter dan kode etik melarang mereka melakukan aborsi, begitu pula dengan UU kesehatan no 23 tahun 1992. KUHP pasal 348 memberi ancaman pidana maksimal lima tahun untuk tindakan aborsi tanpa indikasi medis.
Tidak seperti hukum negara kita, agama islam sebenarnya masih memberi ruang untuk perbedaan pendapat. Sebagian ulama membolehkan aborsi yang disengaja sebelum umur kehamilan 120 hari, sedang sebagian membolehkan sebelum usia 40 hari. Yang lain mengharamkannya, kecuali atas indikasi menyelamatkan nyawa ibu. Pendapat terakhir inilah yang banyak dianut oleh ulama Indonesia.
Seorang ulama klasik, Ibnu Abidin al-Hanafi bahkan berpendapat bahwa tidak diperkenankan kepada siapapun untuk menggugurkan kandungannya meskipun khawatir akan membahayakan jiwa sang ibu. Menurut beliau, hal ini karena pada dasarnya kematian ibu tersebut hanyalah dugaan manusia semata.
Bagaimana dengan MUI? Saat ini fatwa MUI membolehkan tindakan aborsi jika kehamilan tersebut membahayakan ibu, dan juga pada kasus pemerkosaan dimana umur kehamilan belum mencapai 40 hari.(hidayatullah.com 9/11/06)
Lantas, apa yang kini harus dilakukan? Satu hal yang harus disadari bahwa kasus aborsi tidak bisa dipandang secara hitam putih. Apalagi dengan pola pikir bahwa mereka yang melakukan aborsi adalah makhluk berdosa, dan karenanya tak perlu diperhatikan, tak perlu dipikirkan nasibnya. Bila pola tersebut yang kita pakai, maka tak akan pernah ada jalan keluar. Kita laksana seorang pertapa di tengah riuhnya pasar, dan kita menutup mata terhadap dunia sekitar.
Beberapa tahun lalu, seorang ibu beranak 3 menemui saya karena gagal ber-KB, meminta agar kandungannya yang berumur 1 bulan digugurkan. Ia tampak sangat tertekan, saya tahu, perasaannya tengah terguncang. Saya membujuknya untuk membatalkan niat, berlindung di balik dalil agama, moralitas, sumpah dokter, KUHP, dan UU. “Tapi Dok, suami saya sekarang tidak bekerja, saya ini miskin. Siapa yang akan membelikan segala kebutuhan bayi ini?” Saya terdiam.
Lantas seperti sebagian besar manusia lain, saya tak tahu kemana ia pergi. Atau mungkin diam-diam, jauh di dalam hati, saya tak peduli. Mungkin ia minum jamu terlambat bulan, atau mencoba bertandang ke dukun untuk diurut perutnya, lantas dimasukkannya tangkai daun dan ramuan ke dalam rahim, yang membuatnya berdarah-darah dan mati. Atau ia pergi ke tempat praktek teman sejawat sejenis dr Edwin, dr Halim dan dr YA? Entahlah.
Menyelesaikan kasus aborsi ilegal seperti kasus Lina dan dr YA, adalah mengurai benang kusut pendidikan seks, dan masalah sosial ekonomi. Jika Anda termasuk dalam golongan yang anti legalisasi aborsi, maka Anda harus bekerja keras untuk mensejahterakan rakyat, membuat mereka lebih terdidik, menyebarluaskan alat kontrasepsi dengan angka kegagalan serendah mungkin, menekan tayangan televisi dan majalah porno, membuat remaja sekitar rumah sungguh-sungguh bertakwa, menyuluh pendidikan seksual pada para ABG, dan hal-hal lain yang mencegah masyarakat berpikir kalau aborsi adalah solusi.
Sekolahkanlah anak tetangga yang tidak mampu, bukalah lapangan pekerjaan, bagilah makanan pada tetangga, dan ajaklah anak-anak mereka berangkat ke tempat ibadah. Karena jika tidak, itu sama saja dengan membiarkan luka karena masalah aborsi itu terus membusuk. Dan kita melakukan kebijakan setengah hati, sambil tetap merasa bersih, berasa suci di tengah bau busuk itu.
Bagaimana jika hati kecil Anda menyetujui legalisasi aborsi dalam lingkup terbatas, oleh tenaga ahli dan dengan aturan yang ketat? Jika tidak bermental baja, mungkin diam lebih baik. Sebab jika Anda bersuara, maka bersiaplah untuk mendapat cemooh, dicap sekuler dan liberal, beriman kurang, bahkan tak bertakwa.
Apapun pilihan kita saat ini, mungkin tak seharusnya kita berpikir sempit dan merasa paling benar. Tak ada yang sungguh-sungguh hitam. Seperti juga tak ada yang sungguh-sungguh putih. Kyai Mustofa Bisri pernah menulis, kebenaran kita berkemungkinan salah, kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.
ditulis di Apartemen Sawo Kecik, Bontang, Kaltim
Filed under: artikel termuat di JAWA POS, kebijakan dunia kesehatan | Tagged: Aborsi, Aborsi di Indonesia, Abortion |
Tinggalkan Balasan