Gadis kecil itu melambaikan tangan, mencoba tersenyum pada seorang teman yang datang mengantar saya. ”Dada..” dia bergumam lirih di sela bau apek dan amis yang memenuhi udara kamar.
”Halo,” saya menyapa memperkenalkan diri. Tak seperti tadi, kini tangan kecil kulit keriputnya tak mau bergerak. Mata cekungnya menatap tajam. Bening bola mata itu terasa mengiris hati. Kaki tinggal tulang dibalut celana yang kebesaran bergerak pelan di atas tempat tidur.
Dia baru 2,5 tahun. Dia sedang berjuang melawan AIDS. Jangan berpikir kalau gadis kecil itu, sebut saja Sumi, tinggal di Jakarta, Papua, atau bahkan Afrika yang dikenal sebagai daerah endemis HIV/AIDS. Sumi lahir dan hidup di Surabaya, di daerah pinggiran kota yang padat dan kumuh. Lebaran kemarin ia tak sempat pergi berlibur ke rumah neneknya seperti anak-anak lain karena Sumi begitu kecil, tergolek rapuh. Berat badannya yang hanya lima kilogram, jauh di bawah berat badan normal anak seumurnya (sekitar 10 kg) memaksanya tinggal di tempat tidur atau gendongan ibunya. Sumi sesekali diare, tak mau makan, dan berbulan paru-parunya digerogoti tuberkulosa.
Anak seperti Sumi tak pernah diberi kesempatan memilih. Dia lahir dengan HIV, dipaksa hidup dengannya, dan suatu saat mungkin meninggal karena AIDS. Malangnya, Sumi masih memiliki banyak teman di dunia. Berjuta-juta. Tiap hari ada 1800 kasus HIV baru pada anak-anak, dan tiap menit seorang anak mati karena AIDS.
Bagaimana dengan Indonesia? Seorang pejabat Depkes pada suatu kesempatan memperkirakan ada 10 bayi yang lahir dengan HIV di Indonesia setiap hari. Ini berdasar data tahun 2002(Gizi.net 28/4/06). Bagaimana dengan tahun 2006? Bisa jadi jauh lebih banyak.
Tapi Sumi masih sedikit ”beruntung”. Setidaknya saat ini kedua orang tuanya masih hidup dan cukup sehat untuk merawatnya. Tapi sampai kapan? Ibunya positif HIV, dan ayahnya yang seorang pekerja kasar tidak mau menjalani tes. Padahal mungkin sekali dialah orang pertama yang membawa virus tersebut untuk anak istrinya.
Seorang gadis kecil lain, sebut saja Nana, sudah harus menelan pil pahit kehidupan di usianya yang kelima. Dia dilahirkan dengan HIV, dan dipaksa melihat kedua orang tuanya menderita dan sakit-sakitan karena AIDS. Ibunya meninggal enam bulan lalu setelah melahirkan adiknya yang mungkin juga telah terinfeksi. Beberapa bulan ini, ayahnya yang seorang mantan pengguna narkoba suntik berkali-kali masuk rumah sakit karena AIDS. Kondisi Nana membaik setelah mendapat terapi obat antiretroviral gratis dari Pemerintah.
Sumi dan Nana adalah bagian kecil dari puncak gunung es yang tampak. Di bawahnya ada beribu kasus anak dengan HIV di Indonesia. Bagaimana hingga mereka sampai tertular virus tersebut? Ibu, perempuan yang sangat mengasihi merekalah yang tanpa sengaja memilihkan jalan hidup ini. Jalan hidup yang menelusup dalam 3 kesempatan. Saat mereka di rahim ibu, saat proses dilahirkan, dan saat menyusu ibunya. Hanya dengan pemberian obat anti retroviral selama hamil, pilihan operasi sesar saat melahirkan dan mencegah pemberian ASI dari ibu yang positif terinfeksi maka penularan ini dapat ditekan serendah mungkin.
Perempuan seperti ibu Sumi dan Nana adalah perempuan biasa. Mereka istri yang baik, dan berusaha menjadi ibu yang baik pula. Tak pernah terpikir oleh mereka bahwa suatu hari HIV akan menghancurkan hidupnya. Tapi, selalu perempuan, khususnya ibu rumah tangga yang menjadi sasaran empuk virus HIV. Ini sudah terbukti di Mimika, Papua. Sebagian besar perempuan dengan HIV di Mimika adalah ibu rumah tangga, dan bukan PSK.
Salah satu penyebab mudahnya seorang ibu rumah tangga tertular HIV adalah karena secara biologis seorang perempuan lebih rentan daripada laki-laki. Penularan HIV melalui kontak seksual dari laki-laki ke perempuan delapan kali lebih besar daripada penularan dari perempuan ke laki-laki. Hal itu menyebabkan kedudukan perempuan menjadi rentan, apalagi dalam dunia yang masih didominasi oleh pria. Mereka dipaksa untuk tidak memiliki pilihan, dan itu membawa resiko fatal. Hanya karena mereka berusaha menjadi seorang istri yang baik dengan melahirkan anak untuk suaminya, perempuan malang ini secara tak sengaja menularkan HIV kepada sang bayi.
Banyak orang tidak menyadari resiko ini. Masyarakat masih berpikir bahwa HIV adalah milik pengguna narkoba suntik, PSK, lelaki hidung belang, kaum homoseksual, dan orang-orang yang bermasalah dengan moral. Padahal tidak. Sumi dan Nana, keduanya lahir dalam kondisi suci dan bersih. Mengapa kita menutup mata dan melupakan mereka?
Surabaya bukanlah kota mungil di sudut dunia. Bahkan kompleks Dolly disebut sebagai kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Ada lebih dari 9.000 PSK di Surabaya, dengan pria pemakai jasa mereka mencapai ratusan ribu. (Jawa Pos 26/11/06). HIV/AIDS benar-benar telah mengancam kita dan bukan lagi masalah kecil. Ribuan orang telah menjadi korban.
Langkah terpenting dan pertama untuk mencegah penularan kepada seorang bayi adalah dengan mendeteksi apakah seorang ibu hamil positif HIV atau tidak. Jangan pernah ragu-ragu untuk memeriksakan diri bila di masa lalu Anda atau pasangan Anda pernah memiliki resiko tertular HIV. Setiap hubungan seks bisa menularkan HIV. Setiap jarum suntik bisa menularkan HIV.
Jangan biarkan seorang bayi lahir, menderita, dan mati beberapa tahun kemudian hanya karena Anda terlalu takut atau terlalu percaya diri. RSU Dr Soetomo, RSAL Dr Ramelan, RSUD Dr Soewandhi, Puskesmas Perak Timur, dan Puskesmas Putat Jaya adalah beberapa tempat dimana voluntary conseling testing (VCT) di Surabaya. Hukum sangat menjamin kerahasiaan Anda.
Tidak ada kata terlambat, karena tiap detik kehidupan sangat berharga. Saat seorang anak menjadi korban, ini berarti sudah terlalu banyak. Padahal tak hanya seorang anak…
Filed under: artikel termuat di JAWA POS, kebijakan dunia kesehatan, manusia-manusia |
Tinggalkan Balasan