Lima Hari Pertama Sepulang Haji..

Lima Hari Pertama Sepulang Haji

Lima hari setelah kembali ke rumah, aku telah 3 kali ketinggalan shalat fardu berjamaah. Dua kali karena sibuk dengan pekerjaan. Sekali karena ketiduran. Ini berarti Arbain yang kuusahakan selama di masjid Nabi tercinta telah kukhianati.

Lima hari setelah sampai rumah, aku sudah beberapa kali membicarakan orang lain. Ghibah. Memakan bangkai saudara sendiri. Ini berarti latihan ihram yang diberikan Allah saat haji telah kulanggar dengan senang hati.

Lima hari setelah sampai rumah, halaman tadarus Al Qur’an mulai berkurang. Yang dulu sekian lembar, cuma jadi sekian baris dalam sehari. Alasannya komplit. Mulai dari sibuk kerja, keluarga yang masih kangen, tamu yang tak berhenti, atau tubuh yang masih jetlag dan kurang sehat. Ini berarti harapanku pada syafaat Al Quran di Hari Akhir mulai pudar. Aku mulai lupa pada ketakutanku pada neraka. Mulai merasa sombong berhadapan dengan apinya yang menyala-nyala.

Lima hari sepulang haji, shalat sunnahku makin pendek. Cuma yang muakkad saja, itupun tak cukup tumakninah. Tahajjud makin singkat. Kalau perlu witir 1 rakaat.
Apa arti ini semua?
Apa aku mulai menjauh lagi dariMu ya Allah? Gusti Allahku? Rabbku?

Yang kutahu, ada rasa sedih. Rasanya ingin menangis.
Aku rindu tersedu di depan Ka’bahMu. Aku rindu terisak di ArafahMu.
Aku rindu rasa tentram saat memakai ihramku.
Haji yang kuharapkan pertolongannya di Hari Akhir ternyata pelan-pelan kukhianati dan kutinggalkan.

Ya Allah..
Aku ingin kembali.
Aku ingin berihram lagi.
Aku ingin bertalbiyah lagi.
Aku ingin bisa menangis lagi.

Labbaik Allahumma labbaik.
Labbaika laa syarika laka labbaik.
Innal hamda wanni’mata laka wal mulk laa syarika lak..

Panggillah aku ya Allah…
Panggillah aku kembali…
Ya Allah..
Panggillah aku…
Panggillah aku kembali..

Ijinkan aku berihram lagi…

Semarang, 4 Sept 2019.

Kepada Simbah2 yang Sudah Percaya.

Tiba2 mendengar kabar kalau ada pasien setia yang meninggal, dan entah kenapa saya ingin tuliskan ini..

Beberapa kali, saat tubuh saya terasa sangat lelah, saya meminta didoakan oleh pasien-pasien saya. ‘Mbah, nyuwun pangapunten sampun nengga dangu.. Dalem didongakke nggih, supados sehat..’

Mereka yang sudah menunggu berjam-jam, kadang hingga tengah malam itu tersenyum. ‘Nggih Nak dokter, Simbah mesti ndonggakke Nak dokter terus.. Mugi2 Nak dokter sehat terus.. Saged ngrumat simbah terus…’ Selalu air mata saya menetes mendengar doa mereka.

Mungkin karena sebagai manusia, saya tahu dosa2 saya sangat banyak. Dan hanya doa dari mereka, orang2 kecil yang merasa terbantu dan tertolonglah maka azab Allah itu tak diturunkan pada saya. Saya percaya, bahwa saya bisa hidup, naik mobil tanpa kecelakaan, melakukan tindakan invasif tanpa komplikasi, semua karena doa pasien2 tidak mampu yang berterima kasih. Doa tulus yang didengar Gusti Allah..

Matur nuwun sanget nggih Mbah… Kula tansah kangen kalih Simbah..

#in memoriam pasien2 setia saya yang sudah meninggal, guru2 saya yang sejati, yang bahkan saat saya menulis ini, ingatan akan mereka membuat saya menangis.. Kula tansah kangen kaliyan Simbah.. Mugi2 ketemu malih nggih Mbah ting swarganipun Gusti Allah… Kula dipadosi nggih Mbah, matur Gusti Allah yen kula dereng ketingal2…

Bakda subuh, 29 Ramadhan 1440

di Masjid, di Masjid (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin..

clone tag: 890859975819132359

Yang Terampas dan Yang Putus

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

Chairil Anwar, 1949

Setelah Sekian Tahun yang Entah.

20120816-043551.jpg

Setelah sekian tahun yang entah, apa yang berubah dari diriku? Banyak. Aku makin tua. Makin sibuk. Makin sedikit waktu untuk anak-anak. Makin tak punya waktu buat diri sendiri. Makin tak sempat menulis. Hidupku ditelan ribuan pasien. Ribuan radiasi. Ribuan pikuk dunia. Inikah yang sungguh-sungguh kuinginkan? Entah.

Salah satu kalimat yang sejak lama ada di kepalaku adalah, “Hidup cuma sekali. Untuk itu mesti berarti.” Sudah berartikah hidupku? Mungkin iya kalau dilihat dari kaca mata orang lain yang kebetulan Allah menakdirkan aku membantu mereka. Tapi berartikah buat diriku sendiri? Entah.

Aku merasa begitu kecil di dunia kedokteran yang besar. Merasa begitu rapuh di hadapan maut yang tak bisa kulawan. Dan jujur, aku kangen masa-masa ketika anak-anak masih kecil, ketika mereka tak terlalu kompleks sebagai remaja.

Setelah sekian tahun yang entah, apa yang berubah dari diriku? Banyak. Tapi ada satu hal yang sama dengan 10 tahun lalu. Yakni selalu ada hasrat untuk berhenti.

Kadang saat aku bepergian dengan kereta, kulihat rumah-rumah sederhana di kota-kota kecil yang kulewati. Dan layaknya seorang pengembara, sering aku ingin berhenti, tinggal di sebuah sudut desa, dan menjadi seorang pegawai biasa. Berangkat pagi, pulang sore, tanpa tanggung jawab terhadap banyak manusia.

Tapi seperti juga 10 tahun lalu, itu tak jua kulakukan. Dan tetaplah aku di sini. Terseok-seok di tengah padang pertempuranku sendiri.

 

Tentang Buku Belajar Menjadi Daun

Beberapa tahun lalu, saat saya masih sempat mengumpulkan tulisan yang tercecer. Dan jadilah kumpulan tulisan dg judul ‘Belajar Menjadi Daun’. Beberapa buku ternyata masih tersisa di rak penerbit. Rasanya eman2..  Harga 45.000 diskon 10 % (belum termasuk ongkir). Silakan bagi yang berminat untuk WA ke nomor +6281240421158 (Mbak Tri). Semua hasil penjualan buku akan diberikan untuk membantu pasien yang kekurangan, dan untuk pengelolaan Rumah Baca Kopi Cokelat. Matur nuwun…

Ada berapa Tuhan?

Ada berapa Tuhan dalam diriku? Banyak. Tuhan dalam wujud anak2. Dalam wujud tabungan, investasi, mobil, angsuran rumah. 

Ada berapa Tuhan dalam hatiku? Banyak. Berbentuk istri. Berupa pasien2. Berwajah manusia2. Termasuk sebagian orang2 di dunia maya yang kuperTuhankan.

Ada berapa Tuhan dalam hidupku? Banyak.

Dan tiap kali kukhianati Tuhan, Ia masih saja memberi. 

Dengan menuhankan yang lain, Tuhanku yang Maha Pencemburu tetap mencintaiku.

Dan itu seharusnya membuatku malu. Seharusnya. Semestinya. Tapi kenapa aku terus mempermalukan diriku? Kemana urat maluku?

EKG = Eh Kok Gampang…

Terinspirasi oleh beberapa guru saya di alam maya. Terutama kuliah dari Dr Emmanoulis S Brilakis di youtube tentang intervensi koroner, akhirnya kuberanikan membuka sebuah channel youtube.

Saat ini isinya tentang pembelajaran pembacaan EKG alias elektrokardiografi. Harapannya sih besok2 akan lebih banyak ilmu perjantungan yg bisa aku share..
Silakan diklik nggih…
Dr MYS (youtube channel).

Jalan Pulang

Ada hal-hal yang kusesali dalam hidup.
Ada hal-hal yang harus kuterima.
Hari ini, apapun yang kudapat.
Itu lebih baik dari kematian yang dulu hampir berkali diberikan padaku.
Dan pasti. Satu hari ia akan datang juga.
Sakaratul maut itu.

Ada hal-hal yang kini harus kujalani.
Beberapa hal berubah.
Diterima saja.
Mungkin, itu semua karma masa.

Kini saatnya berpendek angan.
Sekadar menerima apa yang ada.
Menjadi pohon yang lebih besar.
Agar lebih banyak menaungi orang lain dari panas dan hujan.

Sadar, bahwa aku tidak lebih lambat dari orang lain.
Tidak pula lebih cepat.
Aku menapaki jalanku sendiri.

Bayangan adalah satu-satunya teman.
Jalan pulang adalah satu-satunya jalan kukenal.

Xi’an, China, 15 November 2017

 

Sebuah Pengakuan

Entah kenapa. Tiba-tiba aku ingin menulis. Sudah lama tidak. Kesibukan lain yang entah membuatku lalai dari menulis. Yakni pekerjaanku sebagai dokter jantung yang tak kenal usai.

Aku tenggelam dan menenggelamkan diri dalam ribuan pasien di Purwokerto, Purbalingga dan Semarang setiap bulannya. Di Purwokerto aku menemui minimal 600-an pasien tiap bulan, lantas 300-an pasien per bulan di Purbalingga, dan 500-an pasien di Semarang. Sebagian besar menggunakan BPJS. Dan aku tak mempermasalahkan itu. Sudah empat tahun aku membagikan waktu dan hidupku di tiga kota. Itu belum termasuk perjalanan panjang via darat pulang pergi Semarang-Purbalingga-Purwokerto yang menguras waktu dan energi setiap minggu.

Penguras energi yang lain adalah tindakan kateterisasi jantung dan pemasangan stent di Semarang. Kadang tindakannya beresiko tinggi hingga menghabiskan emosi. Ketakutan-ketakutan akan kegagalan masa lampau. Ilmu dan teknik baru yang terus memaksaku belajar dan belajar.

Beberapa kematian pasien juga membuatku terbebani beberapa hal. Kadang begitu berat hingga membuat emosiku tidak stabil. Mungkin karena aku menyayangi mereka. Dan kurasa, sebagian besar dari mereka menyayangiku.

Kematian pasien-pasien lama di Purwokerto dan Purbalingga membuatku merasa bersalah karena tak bisa menyertai mereka di saat akhir. Sebagian harus berhenti di teman lain karena aku tak ada di sana. Tiap kali berkelebat nama-nama dan wajah dari mereka. Itu membuatku sedih dan ingin menangis. Cengeng memang. Tapi itu tak bisa kuubah. Sedang kematian pasien-pasien di Semarang membuatku merasa bersalah karena kadang aku merasa seharusnya aku membuat pilihan lain yang lebih baik.

Dari kalimat di atas terlihat ada perbedaan tipe hubunganku sebagai dokter dan pasien di Purwokerto-Purbalingga dengan pasien-pasien di Semarang. Pasien-pasien Purwokerto-Purbalingga lebih dekat denganku secara emosional. Mereka lebih percaya, lebih loyal dan itu membuatku merasa lebih bahagia.

Pasien-pasien Semarang lebih berjarak dan rasional, mungkin karena pilihan dokter jantung di Semarang lebih banyak, jadi mudah saja bagi mereka untuk pindah ke dokter lain saat aku dirasa tak sesuai dengan hati mereka. Meski itu tak selalu. Karena ada juga pasien Semarang yang cukup dekat denganku secara emosional.

Tapi apapun dan bagaimanapun aku senang berbagi. Berbagi hidup. Berbagi waktu dan umur. Termasuk dengan mereka. Pasien-pasien yang mempercayakan hidupnya padaku. Seorang dokter jantung yang kadang bisa saja salah. Salah mengambil keputusan. Salah memperkirakan lawan. Dan kadang kalah. Kadang malaikat maut lebih pintar dariku. Atau sebenarnya tidak? Ia selalu lebih pintar, hanya saja bermain cantik dengan membiarkanku menang untuk beberapa waktu.

Sering di saat-saat terberat aku menjalankan profesiku, aku ingin sembunyi. Ingin tak harus menjadi dokter jantung. Ingin tak harus menjadi cardiac intervensionist yang memasukkan kawat ke pembuluh jantung koroner pasien.

Kadang aku cuma ingin tidur dan bahagia. Tapi sungguhkah aku akan bahagia jika aku berhenti bekerja? Sehari mungkin. Dua hari bisa. Tapi seminggu setelah itu aku pasti rindu. Rindu perasaan bermakna. Kangen pada perasaan berhasil melakukan sesuatu. Semacam kecanduan akut pada hormon katekolamin yang menyedot umurku. Aku tahu itu.

Dan akhirnya aku tak pernah bisa berhasil sembunyi. Walau sebenarnya aku cuma ingin tenang beberapa waktu. Masalahnya adalah karena aku juga bahagia saat bersama mereka. Para pasien yang bilang kalau hidupnya lebih baik setelah bertemu denganku. Pasien-pasien yang aku tahu suatu hari aku akan berpisah dengan mereka. Setelah kami bersama mencoba mengalahkan malaikat maut yang sengaja bermain jelek, atau pura-pura cantik. Sebenarnya aku benci dengan kalimat ini. Tapi memang benar, kadang aku merasa ia membuatku merasa menang di satu waktu, lantas kalah di ronde berikut.

Dan aku tahu, satu hari aku akan kalah selama-lamanya. Aku akan terkubur di tanah dan tak bisa menemui mereka kembali.

Ah, hidup jalan terus. Umur yang lama-lama habis. Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil.  Kita bisa memilih menjadi matahari, bintang, bulan, lampu neon, lilin, atau sekadar korek api. Sialnya, banyak orang memilih menjadi gelap. Tapi tak apa. Tanpa gelap, terang tak bisa didefinisikan.

Juga karena pada akhirnya segala sesuatunya akan dihitung. Segala sesuatunya akan ditanya.

Purwokerto-Jakarta 6 Okt 2017.

Jawaban atas Pertanyaan : Kenapa Aku Menjadi Cardiac Intervensionist?

Sebenarnya apa yang terjadi dalam dunia kita ini? Ketika kebenaran hanya menjadi milik sebagian orang. Dan kita terbagi menjadi dua belahan dunia. Kau dan aku. Bila tak bersamaku. Kau bersama mereka.

Pikiran tentang cuaca di tanah air itu bahkan terbawa hingga aku di sini. Di Paris EuroPCR 2017. Tempat berkumpulnya ribuan ahli jantung intervensi dari berbagai belahan dunia.

Aku bersyukur, di sini aku masih melihat banyak orang yang sangat antusias menyelamatkan nyawa manusia. Meski tetap saja ada orang-orang yang hasrat utamanya adalah mencari uang. Sedang yang lain mencari popularitas. Sebagian yang tersisa mencari hidup yang lebih berarti. Lebih bermakna.

Aku? Lantas kenapa aku menjadi cardiac intervensionist?

Aku ingat pertanyaan Prof Iwan, dokter Budi Bakti dan dokter Yudi Her sekian tahun lalu saat aku masih menjadi residen. Kenapa kau ingin menjadi seorang pemanjat Suf? Kenapa? Hmm. Jujur, mungkin semua alasan di atas itu bercampur baur dalam diriku. Berpilin.

Ada rasa senang karena aku bisa menghidupi keluargaku dari pekerjaan ini. Tapi yang lebih membahagiakan adalah ketika seorang Ibu sepuh yang pernah kupasang stent berkata sambil menahan tangis saat pamit dan menyentuh tanganku. “Dokter yang sehat ya, saya masih butuh Dokter..” Ah momen itu tak tergantikan. Terima kasih Bu.. Terima kasih sekali…

Satu hal, mungkin aku juga ingin dunia yang tak terbelah. Aku tak memandangmu sebagai Islam atau bukan. Aku tak bertanya kau mendukung Ahok atau mencercanya. Aku tak pernah bertanya kau akan membayarku dengan daun atau dengan uang.

Kalau kau sakit, semampuku aku akan menolongmu wahai saudaraku. Menyelamatkan nyawamu.

Itu janjiku.

Paris, Mei 2017

Sumber Kesedihan

​Kematian. Akhir2 ini aku sering berpikir tentang mati. Dan betapa ia sangat mudah menghampiri.

Mungkin memang dunia ini adalah sumber kesedihan. Dan akhirat lebih baik dan lebih kekal. Dan pula kata Iwan Fals, keinginan adalah sumber penderitaan.

Ah teori. Karena meski tahu semua itu, toh tetap saja aku sering membiarkan diriku sendiri sedih dan menderita..
Tapi saat aku gundah itulah aku makin sering mengingat mati. Mungkin kegundahan ada gunanya.

Aku mencoba mengingat teman2 dan pasien2ku yang lebih dulu dipanggil Allah, dan akhirnya aku kembali berpikir, bahwa apapun yang kudapatkan hari ini, itu masih sedikit lebih baik.
Setidaknya aku masih punya kesempatan memperbaiki nasib di Hari Akhir.. Aminn..

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [Ali Imran:185].

Kebahagiaan dan Keselamatan

Tidak ada kebahagiaan dan keselamatan bagimu, hingga engkau lebih mementingkan Dia daripada selainNya. 

Tidak ada kebahagiaan dan keselamatan bagimu, hingga engkau lebih mementingkan agama daripada syahwatmu, akhiratmu daripada duniamu, dan Penciptamu daripada mahluk sesamamu. 

-Syekh Abdul Qadir Al Jailani, 14 Rajab 545 H-

Ampuni Aku.

Aku mengucapkan syahadat tiap kali shalat. Laa Ilaaha Illallah. Tiada Tuhan selain Allah.

Tapi berapa berhala yang kutaruh dalam hatiku? Banyak sekali. Aku sering menyembah mereka dan melupakan Allah.

Uang, tabungan, asuransi, pasien, orang lain, istri, bos di kantor, semua sering kujadikan berhala. Semuanya sering mengalahkan Allah dalam hidup.

Berapa kali kuabaikan pangggilan adzan demi pekerjaan? Tak terhitung.

Berapa kali kutahan dompetku karena takut kekurangan? Tak terhitung.

Ya Allah. Ampuni aku menjelang hari kematianku.⁠⁠⁠⁠

Bismillah

Bismillah. Ini amanatku pada diriku dan keluargaku.

  1. Mengucapkan Bismillah setiap akan melakukan apapun. Kita tidak belajar semata agar lulus menjadi yang terbaik. Kita tidak bekerja hanya untuk mencari uang dan pengakuan. Tapi kita belajar agar menjadi orang yang berilmu dan bermanfaat untuk sesama. Kita bekerja untuk membantu dan menolong orang lain agar kita diringankan di Hari Perhitungan. Kita hidup untuk sesuatu yang lebih luhur, lebih mulia dari sekedar mencari dunia yang hina. Yang terpenting, kita akan niatkan segala sesuatu yang akan kita lakukan di dunia untuk mencari bekal hidup setelah mati yang pasti. Kita melakukan segala sesuatu karena dan untuk mencari ridha Allah.
  1. Berusaha ingat Allah sepanjang waktu. Kita selalu merasa diawasi oleh Allah. Allah Maha Tahu bahkan isi hati kita yg terdalam. Tak ada ruang untuk segala niat buruk karena kita malu pada Allah yang Maha Melihat.
  1. Sering-sering mengingat mati. Agar kita tak melakukan hal-hal yang dimurkai Allah. Agar kita tak berlebihan dalam makan, tidur, dan bicara. Agar kita banyak beramal sholeh. Maut bisa datang sewaktu-waktu. Tak menunggu tua. Tak menunggu sakit. Tak menunggu siap. Berbuat baik pada siapapun. Siapa tahu hari ini hari terakhir kita bertemu mereka.
  1. Ketika dalam posisi mengambil pilihan apapun, kita akan mengambil keputusan yang membuat hati lebih tentram di Hari Perhitungan nanti. Keputusan yang akan membuat kita sekeluarga tersenyum di hari yang sangat berat itu.
  1. Bersyukur atas segala sesuatu. Kita sudah diberi banyak hal lebih dari yang dibutuhkan. Kita akan lebih banyak bersyukur atas nikmat Allah yang tak terhitung. Dzikir ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah’ adalah kunci kebahagiaan di masa sulit. Bacalah dengan penuh rasa syukur pada Allah yang sudah memberi kita sehat di saat ada saudara kita yang tak bisa lepas dari selang oksigen. Memberi kita keluarga di saat ada orang lain hidup sebatang kara.
  1. Ketika hari terasa berat, apapun tetaplah shalat. Tetaplah berdzikir. Tetaplah mengaji Al Qur’an. Kalau suami dan ayahmu ini meninggal satu hari nanti, berdoalah untukku setiap selesai shalat 5 waktu. Pendek saja tak apa. Kalau sempat, kirimilah Al Fatihah sekali waktu, agar aku tak mengais-ngais doa dari umat muslimin.

Itu saja.

Semoga Allah memberi petunjuk dan ampunan pada keluarga kita di hari yang perhitunganNya sangat keras nanti. Aminn.

15 Maret 2016.

m.y.s.

Di Depan Kabah

Di Depan Kabah

Tuhan, kami tahu Engkau ada dimana-mana. Tapi maafkan khilaf kami karena merasa Engkau hanya ada di sini.

Maafkan dosa kami karena merasa lebih dekat denganMu di depan MultazamMu. Padahal kami tahu, Engkau ada dimana-mana..

Maafkan kebodohan kami. Ampuni kesombongan kami karena memilih bertamu ke rumahMu saat tetangga kami bingung membayar hutang, juga saat saudara kami tak punya pekerjaan.

Ampuni ketidakpedulian kami dengan tidur di hotel saat saudara-saudara kami di Suriah berceceran di reruntuhan, dibunuhi pelan-pelan.

“Kan kita capek Tuhan bertamu padaMu, kami butuh istirahat yang nyaman,” alasan kami sambil WA teman kantor, ‘Eh, hotelku cuma selemparan granat lho dari Kabah’

Tuhan, kami tahu Engkau ada dimana-mana. Tapi tolong ampuni hati kami yang sering lupa padaMu.

Ampuni hati kami yang lupa pada kepastian hari kematian kami. Ampuni lupa kami pada setumpuk kain kafan yang telah Kau siapkan di gudang toko dekat Bergota itu.

Ampuni hati kami yang hanya ingat tentang masa depan anak istri, kerja, jenjang karier, tambahan gelar, tagihan pajak, juga saldo bank penuh riba kami..

Jangan kaget ya Tuhan, dan titip ampuni Kami yang pasti lupa padaMu setelah tiba di rumah nanti. Karena selangkah keluar masjidMu pun yang kami pikirkan cuma beragam titipan oleh-oleh yang bisa kami pamerkan.

Tuhan, kami tahu Engkau ada dimana-mana. Tapi kami selalu lupa engkau lebih dekat dari detak nadi leher kami.

Tuhan, ampuni kami..
Ampuni kami..
Ampuni kami..
Ampuni kami yang ternyata masih jauh dariMu di rumahMu..

Tuhan, Aku Lupa

​Tuhan, Aku Lupa

Tuhan, aku lupa. 

Aku lupa kalau hidup ternyata hitungan mundur. Sehari lewat, seminggu entah, sebulan tak terasa. Tahun berganti, tetiba saja menua.

Tiap tarikan napas, kuhabiskan waktu terbatas.
Boleh aku tak memakainya Tuhan? Aku takut kehabisan.

Boleh aku berhenti sebentar saja? Kau tekan tombol pause itu, aku pingin tidur barang sebentar pula.
Tuhan, aku takut waktuku kadaluarsa tiba-tiba. 

Karena aku ternyata masih belum sampai kemana-mana. Masih di sini. Berliat dosa gelimang waktu tersia. 
Tuhan, maafkan aku yang sering lupa. 

Tentang jam hitung mundur yang kita sepakati dulu. Perjanjian di alam tak terperiMu. 
Tuhan, maafkan aku. Aku lupa tak membaca lampirannya. Boleh kita ganti sebagian pasalnya? 
-m.y.s-

Kebahagiaan Itu Linier

Percaya atau tidak.

Kebahagiaan kita sebenarnya bersifat linier. Datar. Sebelum dan sesudah pergi. Sebelum dan sesudah mencapai sesuatu, seseorang, apapun. Sesaat seperti bertambah dan naik. Tapi pada akhirnya grafik itu akan turun lagi. Kembali datar.

Percaya atau tidak, kebahagiaan itu linier.

Dan sebenarnya tak perlu mendaki puncak 10 gunung dan menjadi dokter spesialis jantung dengan ratusan pasien untuk bertemu pada kalimat ini.

Karena agama sudah bilang, kebahagiaan, ketenangan hati itu hanya pada ingatan akan Allah semata. Itu saja.

Bukan bersandar pada sesuatu, seseorang, atau apapun.

Silakan mendengar saya membacanya di sini.

Batas

Di Surabaya. Malam-malam. Mendengarkan Olafur Arnalds.
Tiba-tiba bungsuku Angin berkata,”Pak, baca puisi Pak. Yang New York.” Kata New York tak bisa kudengar dengan jelas. Baru kumengerti ketika kakaknya menerjemahkan untukku. Lantas diteriakinya sang kakak saat tak berhasil juga ia temukan buku itu.
“Ini Pak. Ini saja.” Disodorkannya puisi ini. Batas. Karya M Aan Manshur.
Ia duduk menggelesot di bawah meja saat aku membacanya. Silakan mendengarkannya di sini.

Pagi yang Berhujan

Pagi ini berhujan. Aku di rumah Bapak Ibu Ngaliyan. Sendiri saja. Mau ke RS rasanya entah. Aku tengah merasa asing dengan tempat kerjaku. Mungkin memang aku ini alien di tengah manusia-manusia normal.

Dan aku jadi kangen pada gunung-gunung dingin yang pernah kudaki. Gunung yang kedinginan dan kesepian. Dingin sepi yang membuat aku sadar akan rapuh fananya hidup.

Kurasa, sudah waktunya aku kembali.

Pagi ini sudah kubaca sajak M Aan Mansur. Akhirnya Kau Hilang. Sekadar menjaga kewarasanku. Ini linknya.

Mungkin Aku Capek. Entah.

Hari2 ini aku tengah tak sehat. Padahal sudah lama tidak. Sekian lama Allah memberikan nikmat kesehatan yang sering tak kupedulikan. Kata beberapa orang yang kukenal, “Kau terlalu capek.” Mungkin. Entah.

Sehabis dari Roma, yang sampainya di tanah air Kamis sore, jumat paginya aku harus melakukan 5 jam perjalanan darat ke Purbalingga dari Semarang. Dan di sana disambut 100 lebih pasien di RS Harapan Ibu. Lantas melayani mereka mulai jam 16 hingga jam 1.30 dini hari.

Esoknya, Sabtu pagi aku mulai jam 9 pagi di RS DKT Purwokerto dan sudah ditunggu sekian ratus pasien. Total 370 pasien. Dan Poli Jantung DKT pun buka sampai jam 6 Minggu pagi.

Aku sholat dhuhur, ashar, magrib, isya, dan subuh di Poli Jantung DKT.

Minggu siangnya perjalanan 6 jam ke Semarang, dan Seninnya masuk di RS Telogorejo seperti biasa. Juga dengan pasien poli yang melebihi hari-hari lain karena tutup sekian lama. Kerja di cathlab THC. Diagnostik. PCI. Terpapar radiasi. Radiasi yang membuatku bertambah tua. Juga menyelesaikan CT Scan yang tertunda. Dst. Dst. Dst…

Dan hari2 ini aku tengah tak sehat. Padahal sudah lama tidak. Mungkin aku capek. Entah.

Satu Sore di Roma

Sambil menunggu bis di halte Veneto. Dekat Hardrock Roma. Bis nomor 160. Tak kunjung tiba. Seorang perempuan Eropa memandangku dari sudut mata. Cahaya matahari sore suam-suam di kulitnya.

Bis nomor 160 datang dari kejauhan. Riuh manusia turun. Aku menunggu. Bergegas.

Di atas bis. Kulihat manusia-manusia. Asing. Tak kenal. Tak menyapa. Di balik kaca ada seorang perempuan bersepatu merah. Berbaju lusuh. Tatapan kosong. Takut. Mungkin perempuan itu merasa sendiri di sini. Atau ia takut pada kematian yang entah menunggu di mana. Menyergap diam-diam. Pengkhianat yang pasti dinanti.

Sampai dekat hotel, aku berhenti. Sebentar. Ada yang berbeda. Persis di sebelah hotel memang sebuah gereja. Dindingnya coklat. Tampak tua dan sunyi. Gereja itu bertaman tak terawat di sampingnya, bisa kulihat dari kamarku. 

Sore itu ada banyak orang di sana. Sebagian memakai pakaian hitam. Mereka merayakan sesuatu. Aku lewat dalam diam. Sungkan. 

Di kamar. Kubuka pintu balkon samping. Taman gereja yang sepi tak terawat menungguku. Lonceng berbunyi. Suara burung gagak terdengar gelisah. 

 

 

Roma dan New York.

Roma dan New York itu dekat. Dari mataku cuma sejengkal.
IMG-20160829-WA0042

Ini saat aku membaca puisi pertama buku ini di Roma. Satu pagi di akhir Agustus 2016.

Roma 2016 (bag ke-2)

Siang ini, setelah lelah menyusuri jalanan kota Vatican, aku duduk di sebuah sudut kota Roma.
Di sebuah bar yang tiap kali kulewati menuju stasiun metro Circo Massimo.
Aku duduk di sana. Dan bukan satu-satunya yang sendiri.
Ada lagi seorang yg super gemuk duduk di depanku. Laki2 Eropa.

Ia tampak tak bahagia. Entah kenapa.

Lantas sepasang laki2. Entah sepasang kekasih atau bukan di sudut lain.

Pelayan, yang gantengnya melebihi artis Indonesia mendekat. ‘Aku pesan pizza. Yang kecil saja.’ Tapi tak ada yang kecil. Semua seloyang.
Baik.
Kupikir nanti kubungkus buat makan malam. Entah dimana.
Sambil menunggu, kembali kubaca buku puisinya Aan Mansyur. Beberapa terlewat. Yang terngiang satu.  Judulnya “Ciuman Perpisahan”.

Hmm, kurasa sebenarnya aku bisa lebih baik dari dia. Lebih baik membuat puisi maksudku. Tapi kapan? Kesombongan yang tak perlu. Satu yang perlu. Bukti. Dan itu aku yang tak punya.
Hehehe. Mungkin sore ini. Kataku beralasan. Dasar.

Segera setelah paragraf ini selesai, Bar Circo Massimo jadi ramai. Dan aku tengah benci keramaian.
Entah kenapa.

Ini beberapa foto yang sempat kuambil di Roma.

Dan ini link saat aku membaca pusi Aan Manshur yang cantik, Ciuman Perpisahan dg latar belakang musik Olafur Arnalds, Film Credit.

Roma 2016

Aku tak tahu kenapa tulisan ini kuberi judul Roma 2016. Apakah akan ada Roma 2017? Entahlah.

Kota ini terasa sepi. Beda dengan Paris yang hiruk pikuk dan high tech. Roma sunyi dan sepi. Tua.

Kebetulan aku tinggal di hotel Domus Aventina. Sisi kota yang tak terlalu pikuk. Kamarku juga ada di lantai bawah. Dengan taman berbalkon yang kurang terawat. Pohon tua di samping bangunan lama tak berwarna.

20160827_080940

Tapi aku tak peduli. Aku cuma butuh ketenangan yang sunyi. Mencekam yang diam. Ditemani  Olafur Arnalds, musiknya mengiris, tak lekang dipecah kepakan burung di taman luar.

Diam-diam, lirih kubaca puisi M Aan Mansyur.

Silakan klik judul puisinya jika ingin mendengar rengeng2 saya dan aransemen Olafur Arnalds sebagai latar.. 

Ketika Ada yang Bertanya Tentang Cinta. 

Surat yang Terlambat

untuk almarhumah guruku Dr Dyah, SpJP. Al Fatihah..

Dokter..
Aku cuma ingin minta maaf.
Karena surat ini terlambat.
Seharusnya ditulis sejak dulu.
Sejak lulus kuliah spesialis dan meninggalkan Surabaya.
Tapi Dokter tahu, sangat tahu kalau muridmu ini super sibuk.
Dan Dokter pasti tak pernah berharap surat ini datang tepat waktu.
Iya, aku yang salah.
Aku yang harus membayar mahal.
Membayar mahal karena surat ini jadi terlambat.
Sangat terlambat hingga hari Izrail menjemputmu.

Dok..
Aku cuma ingin berterima kasih.
Terima kasih karena telah percaya pada muridmu ini.
Terima kasih karena telah membantu hidup keluarga kami saat kami kesusahan dulu.
Terima kasih karena membuatku bisa menyekolahkan anak2 dengan memberikan jatah menjadi tutor pengajar EKG. Meski Dokter tahu aku masih belum cukup pantas.
Tapi Dokter juga tahu aku butuh uang itu.
Agar bisa hidup cukup layak di Surabaya.

Dokter..
Terima kasih karena telah memarahiku.
Terima kasih karena telah mendidikku dengan selayaknya.
Terima kasih karena telah menginspirasiku.
Maaf kalau aku belum cerita kalau kini aku juga membuka kursus EKG. Seperti juga Dokter dulu.
Tapi yang ini kecil-kecilan. Gratis pula.
Aku pingin bisa menjadi bermakna untuk banyak orang seperti Dokter.

Coba Dokter bayangkan, berapa pasien yang bisa selamat karena murid-murid kursus EKGmu Dok?

Dok..
Sekali lagi aku minta maaf karena surat ini terlambat.
Aku minta maaf.

m.y.s

Bagi yang ingin mendengar saya membacanya. Silakan klik di sini.

Hidup Hanya 3 Hari.

2016/03/img_7068.jpg

Buku Belajar Menjadi Daun

Akhirnya buku Belajar Menjadi Daun sudah terbit.. Ada di toko buku Gramedia terdekat atau pesan via email ke ksatriacahaya@gmail.com

2015/05/img_3537.jpg

Irisan dan Doa. Ya Allah kabulkanlah..

Satu hal yang mengiris tiap kali berbincang dengan pasien yang sakit adalah karena kadang saya melihat diri saya di sana. Apalagi sebagai dokter yang hampir 75 % mereka yang datang dan percaya pada saya adalah lansia. Saya melihat hidup yang rapuh. Masa jaya yang akhirnya harus mengalah pada proses degeneratif. Tapi terkadang proses ‘melihat’ masa depan itu tak terlalu sakit.

Tapi ketika datang hari bersejarah saat satu hari saya harus merawat hampir 300 pasien poli jantung dalam 20 jam, maka irisan itupun sangat terasa.

Adalah salah saya karena memilih menutup praktek minggu kemarin dan minggu depan. Dan jadilah Sabtu 28 Maret 2015 ini saya diberi Allah ujian harus membuka poli sejak jam 8 pagi hingga jam 21 malam di RS DKT Purwokerto, lantas melanjutkan jam 22 hingga jam 4 pagi minggu dini hari tadi di RS Harapan Ibu Purbalingga. Betapa Allah sangat sayang pada saya dengan memberikan irisan itu.. Mengingatkan saya pada hidup yang tak abadi. Sekaligus terharu karena kesetiaan puluhan lansia yang tersenyum lega saat nama mereka dipanggil. Juga seruan, ‘Alhamdulillah..’ ketika mereka memasuki ruang praktek, lantas doa mereka, ‘Mugi2 Pak dokter diparingi sehat..’ saat melihat mata saya yang kadang sayu.

Saya selalu ingin menangis saat mendengar ucapan itu..

Matur nuwun sanget pada Ibu2 dan Bapak2 sepuh yang rela menunggu berjam-jam, menghabiskan siang atau malamnya untuk sekadar 5 menit bertemu saya.. Matur nuwun sudah merasa sayang pada saya..

Semoga Allah memberikan kesehatan pada Ibu2 dan Bapak2 semua.. Amin ya rabbal alamiin…

Kabulkanlah doa kami ya Allah, dan sehatkanlah saya agar dengan cara ini bisa Kau ringankan beban hamba di akhirat nanti..

Hidup yang Biasa Saja..

Semakin dikejar, semakin menjauh. Semakin dicari, semakin entah kemana. Itu prinsip kebahagiaan. Jadi mungkin seharusnya kita hidup yg biasa saja. Asal manfaat. Toh sebentar lagi kita mati.
Mungkin prinsip dasarnya seharusnya kita hidup cuma belajar menjadi daun. As simple as that. Daun yang selama hidup menyejukkan, membagi oksigen. Dan saat mati, kering dan layu, ia jatuh ke tanah, membusuk, menjadi kompos bagi orang lain. Itu saja cukup.

Hujan dan Surat Kecil Mengetuk Jendela

Satu hari, seorang perawat menyodorkan amplop kecil.
“Dari keluarga almarhum pasien Dok.”
Terlintas di kepala tentang complain dari keluarga pasien pada dokter lain karena pasien mereka meninggal.
Membuat saya enggan membuka saat itu juga.
Saya tersenyum, berterimakasih, lupa. Atau sengaja lupa.
Bersembunyilah amplop putih itu di dalam tas. Berhari-hari.

Hingga datang hari lelah itu.
Hari dimana saya hampir-hampir membenci diri saya sendiri.
Hari saat saya merasa tidak cukup baik menjadi dokter.
Hari dimana saya berpikir untuk membuka toko kelontong saja.
Ah, mungkin ini saatnya saya mendapat hukuman.
Amplop putih itu.

Ternyata isinya sepucuk surat kecil.
Yang menjadi hujan deras di siang terik.
Butir-butir hujan yang mengetuk, memukul, menempel di dinding jendela.

Ah, betapa saya membutuhkannya.
Terima kasih..
IMG_2936