Dua hari yang lalu, tepatnya Jumat, 6 September 2019, saya kembali praktek di RS Harapan Ibu Purbalingga, Jawa Tengah.
Dan seperti diduga, pasien melimpah ruah. Ada 250 lebih. Tepatnya 259 pasien. Akibatnya saya harus bekerja mulai jam 9 pagi hingga pukul 2 dini hari. Tentu saja dipotong waktu shalat dan istirahat.
Dengan tubuh yang masih flu berat dan fisik tak bersahabat, perjalanan hampir 17 jam bersama 259 pasien terasa lambat. Ada beberapa saat saya harus berhenti praktek karena batuk-batuk tak tertahankan, istirahat minum obat, sampai minta ijin 10 menit untuk menutup mata karena pengaruh obat flu. Tentu saja saya tak pernah berhasil tidur. Terutama karena hati saya tidak tega pada simbah-simbah yang lama menunggu di luar.
Salah satu pasien simbah-simbah itu adalah Mbah Djuri. Kalau di status sih beliau kelahiran 1946. Jadi masih berusia 73 tahun.
Mbah Djuri sudah menjadi pasien saya selama 2 tahun lebih. Dulu beliau pertama kali ke Poli Jantung HI awal tahun 2017. Saat itu beliau terlihat sesak dan sakit. Dan ketika pertama kali bertemu, kalimat Mbah Djuri yang paling berkesan adalah, “Aduh Pak Dokter, kulo sampun madosi Pak Dokter meh sekawan tahun. Riyin kulo ke RS P tahun 2013 dan ternyata Pak Dokter sampun mboten wonten.. Insha Allah setelah ketemu Pak Dokter di sini, saya pasti sembuh!” Nada bahasa campuran khas Purbalingga itu sangat hangat dan ramah.
Saat itu saya kira pernyataan Mbah Djuri cuma basa-basi saja. Memang sejak tahun 2012, karena pengangkatan PNS yang tidak kunjung berhasil setelah dua kali periode pendaftaran, saya memutuskan resign dari RS P dan sekolah lagi. Jadi beliau salah satu pasien yang kecelik.
Tapi ternyata ucapan beliau bukan basa-basi. Wajah Mbah Djuri selalu bertambah sumringah setiap kali hadir ke Poli. Dan meski dengan kondisi jantung yang cukup berat, alhamdulillah kondisinya berangsur membaik.
Ada beberapa hipotesa mengapa beliau cepat pulih. Pertama, kebetulan komposisi obat-obat saya bisa ‘klik’ dengan kebutuhan tubuh beliau. Kedua, karena ternyata beliau sungguh-sungguh percaya dengan ucapannya, bahwa ada keyakinan akan kesembuhan setelah bertemu saya. Apapun itu, tentu saja perbaikan kondisi Mbah Djuri terjadi karena Allah Azza wa Jalla memutuskan demikian.
Di hari Jumat itu kondisi Mbah Djuri sebenarnya tidak terlalu bagus. Beliau harus menunggu hampir 12 jam sejak pagi hari, dan baru masuk menjelang shalat Isya. Dengan gangguan irama jantung dan pompa jantung yang tidak terlalu bagus, beliau harus berjalan perlahan untuk masuk ke ruang praktek. Setelah pemeriksaan selesai, Mbah Djuri tersenyum dan menjabat tangan saya, mengucapkan sederet doa agar haji saya kemarin menjadi haji mabrur. Aaminn.. Aaminn ya Rabbal alamiin..
Tapi yang tak saya sangka adalah kalimat terakhir selangkah sebelum keluar dari pintu praktek. “Pak Dokter, saat Pak Dokter haji kemarin, saya terussss wiriddd buat Pak Dokter..” Tangannya memperagakan gerakan memutar tasbih berulang-ulang. “Alhamdulillah kalau semuanya lancar.. Alhamdulillah… Alhamdulillah…..” Sambil mengucap itu beliau berjalan tertatih, dan pintu praktek menutup perlahan.
Terhenyak di kursi, tak terasa ada air mata menggenang di sudut mata saya. Sore itu saya baru tahu, bahwa ternyata ada doa banyak orang di balik haji saya kemarin. Allah mungkin bisa saja memberi cobaan yang berat karena dosa-dosa saya yang bertumpuk. Tapi mungkin karena doa-doa merekalah saya diringankan dan dimudahkan.
Mungkin secara wadag kemarin saya mengembarai Mekah dan Madinah selama 25 hari tanpa keluarga. Seakan semua saya putuskan dan lakoni sendiri. Mulai dari keputusan berat untuk memilih haji Ifrad dan berihram selama 8 hari, keputusan untuk bolak-balik ke Masjidil Haram selama menunggu hari Arafah, keputusan untuk Tawaf Ifadah sendiri karena takut akan maut. Dan banyak yang hal lain yang kadang terasa berat dilakukan.
Satu hal yang sangat saya takutkan adalah jika Allah tidak mau menerima haji saya. Selama delapan hari berihram saya selalu dihantui oleh kisah seorang yang berhaji dan bertalbiyah, tapi talbiyahnya tak disambut oleh para malaikat. “Hartamu haram, niatmu riya’ dan hajimu tak mungkin diterima!”ujar para malaikat. Saya sangat takut ada bagian dari harta dan niat saya untuk berhaji yang tak baik dan akibatnya para malaikat tak mau menyambut.
Tapi kini saya merasa lebih tenang. Sepertinya saja kemarin saya berhaji sendiri, tapi sebenarnya saya tak sendiri. Ada tangan lain yang menengadah, menyentuh pintu langit. Memohonkan ampun agar saya tak diazab di Tanah Suci. Memohonkan ampun agar haji saya dimaafkan atas segala kekurang tulusan niat dan tercampurnya harta syubhat dan mungkin haram.
Ternyata selain doa dari Bapak Ibu, keluarga, teman, dan kerabat, ada doa dari pasien-pasien yang kasihan pada saya. Salah satunya adalah wirid Mbah Djuri yang saya yakin lebih bisa menembus pintu-pintu rahmat di langit daripada wirid saya.
Labbaik Allahumma labbaik… Mungkinkah malaikat yang mau menolak saya terhenyak karena melihat kesungguhan Mbah Djuri memutar biji-biji tasbihnya di tengah malam untuk saya?
Air mata itu menderas di pipi saya.
Matur nuwun Mbah. Matur nuwun sanget….
Bersama Mbah Djuri, Jumat, 4 Oktober 2019. Semoga kita semua sehat dan bahagia dunia dan akhirat..
Filed under: perjalanan |
Tinggalkan Balasan