Di hotel Fortune Select Excalibur, aku sekamar dengan seorang fellow dari India. Namanya Ahmad. Ia muslim.
Dan ia bertanya banyak hal.
Ahmed lebih muda dariku. Awal 30-an tahun. Anaknya 2. Laki dan perempuan. Tapi seperti kebanyakan lelaki India, ia agak gemuk.
Tapi jelas ia cukup cerdas. Dan ia berusaha menunjukkan padaku. That’s fine. Itu memang sudah kutahu tentang beberapa ilmuwan India.
Mereka sangat percaya diri. Sometimes intimidatif. Sorry I have to say that..
Hotel tempat konferensi, Oberoi Gurgaon, sangat mewah. Lebih mewah dari Shang Ri La Surabaya kurasa.
Juga RS Medanta yang mensponsori konferensi, punya dokter2 yang pintar. Mereka sudah melakukan hybrid operation di cath lab.
Di saat bersamaan mereka melakukan pemasangan LIMA ke LAD, kemudian merevaskularisasi pembuluh darah lain yang buntu.
Something yang belum bisa dilakukan di Surabaya. Aku tak tahu dengan Harapan Kita atau RSCM.
Tapi di sebelah hotel Fortune, tempatku menginap, berdiri tenda-tenda tempat kaum papa hidup.
Dan ternyata mereka berada di seluruh penjuru India.
Di India, semua ada. Semua mungkin.
Dokter2 pintar, orang2 kaya(orang kaya no-6 sedunia adalah warga negara India).
Juga manusia2 miskin yang sangat-sangat kumuh. Lebih kumuh dari manusia waras Surabaya yang pernah kulihat(at least di Surabaya mereka terlihat pernah mandi meski entah kapan).
Di jalan raya kota Agra dan Delhi kulihat sapi dan anjing yang berkeliaran. Sementara sedan mewah di sampingnya harus berjalan pelan.
Tukang becak yang sangat kumuh. Berpadu dengan lelaki perlente yang menjadi guideku.
Taj Mahal yang sangat cantik.
Di luar tamannya tergeletak gelandangan, tenda mereka yang tak berumah, sampah dan banyak hal yang kurasa tak ada di sekitar Borobudur, icon budaya Indonesia.
India tak bisa lepas dari kitaran manusia-manusia terpinggirkan.
That’s India Sir. Everything is possible here, kata penjaga hotel M House, Agra.
You must be careful during your journey at India. We can be a liar, also a holy man with Cobra at our hand..
Kurasa kalimat yang sama bisa terjadi di Indonesia. Hanya saja mungkin tak seekstrim India. Tak ada orang Indonesia yang jadi nomor 6 paling kaya sedunia. Tapi juga, aku bersyukur masih bisa melihat terminal yang cukup bersih seperti Bungurasih.
Terminal bus Sara Karai Khan, tempatku bertolak ke Agra sangat kumuh. Tak pantas rasanya melihat ia berada di kota New Delhi, ibu kota India.
That’s India. Paradoks India. Tempat dimana mereka yang cantik dan kumuh berpadu. Mereka yang kaya dan buruk lupa menari bersama. Tarian kehidupan yang majemuk dan kaya. Menggairahkan kadang. Tapi sekaligus menyedihkan.
Membuatku bertanya. Siapa di antara kita yang bisa memilih ibu dengan rahimnya tempat kita tumbuh?
Memilih keluarga dimana ia akan dibesarkan, hingga menjadi Dr Praven Chandra, seorang intervensionist India yang sangat handal, atau sim salabim!
Jadilah kau bakal tukang becak kurus yang terbatuk saat membawa turis !
Kenapa ini terjadi? Is it fair?
Siapa yang berani bertanya pada Tuhan tentang hal ini?
That’s India. Paradoks India.
Filed under: perjalanan |
Tulisannya kontemplatif, as always… :). Like it much.
Btw, Iri poll aku rek dg foto ini….kilau lembut di kubah cantik sekali…
Tak doakan sering2 conference di tempat2 bagus yg jauh, spy bs ikut menikmati oleh2 cerita serunya :).
Mantap tulisan mas yusuf.. Jadi bisa bayangin suasana di sana.. Doain aja mas biar kapan2 bisa ngikuti jejak mas yusuf.
dokter…saya suka ( tulisan2 ) anda…really…