Hujan di Bandara Kota

Basah. Itu kesanku buat hari ini. Hatiku terendam banjir kenangan. Sedang di luar hujan terus turun. Lapangan terbang di Bandara Kota tak kelihatan lagi. Hujan dan angin berpilin di ruang kosong luar. Seseorang berkata di belakangku, ada kemungkinan besar pesawat ke Los Angeles ditunda.

***

Pun juga lima tahun lalu hujan tak selebat ini waktu Tante Nik turun dari pesawat. Kata ayahku, ia datang dari Amerika. Kulihat dari tempat tunggu gaunnya berkibar diterpa angin. Wajahnya cantik. Tubuhnya termasuk tinggi untuk kebanyakan perempuan, hampir menyamai ayahku. Ibuku yang tingginya pas-pasan jadi terlihat lebih pendek lagi. Setelah berpelukan sebentar dengan ayah dan ibu, ia memandang wajahku dan tiba-tiba aku berada dalam pelukannya.

“Hanif sudah besar ya? Sudah kelas berapa?” Ia bertanya sambil menciumi pipiku. Aku diam saja. Aku masih terlalu muda untuk bisa segera berakrab-akrab dengan orang asing seperti orang-orang dewasa. Diambilnya sebuah bungkusan dari dalam tas, dan tangannya terulur padaku. Bungkusnya menarik. Aku pingin segera membukanya. Ibu melirikku tajam.

Hadiah itu masih kukenakan sampai kini. Isinya adalah sebuah jam tangan, yang kata orang-orang terlalu bagus untuk anak kelas tiga SMP. Kata ayahku jam itu berharga hampir seratus dollar. Dan bukan karena harganya kalau aku terus memakainya. Tapi karena aku benar-benar menyukainya.

Di luar bandara hujan turun dengan lebat. Tante Nik memelukku di jok belakang. Meski sedikit risi, aku diam saja. Aku memang terlalu kecil dan kurus untuk usiaku. Orang orang selalu menganggapku masih kecil. Tangannya yang putih dan kurus merogoh rokok dan menyulut api. Ibuku tak bereaksi apa-apa. Padahal aku tahu ibu tak suka jika ayah merokok.

“Langsung ke rumah ya Nik?”tanya ayah setengah meminta. Ayahku pasti lama sekali tak bertemu dengan Tante Nik. Tapi aneh, kulihat wajah ibu sedikit muram. “Nggak usah Mas. Aku sudah pesan kamar di hotel.” Habis itu sepi. Kulihat ibu bernapas lega sedang ayahku tak menunjukkan reaksi apapun. Kami mengantarnya ke sebuah hotel kecil yang nyaman di pinggir kota. Yang kuingat, tentang hotel itu adalah taman yang luas dan kamar yang luas pula.

Aku bermain di sana satu hari sehabis pulang sekolah. Tante senang sekali melihatku datang. Saat itu ia barusan mandi dan bau tubuhnya wangi. Aku menyukainya. “Hanip habis ini jalan-jalan sama tante ya?” Tentu saja aku mengangguk.

Siang itu Tante Nik mengenakan gaun yang sama potongannya dengan gaun yang dikenakannya waktu datang kemari. Warnanya yang ungu gelap membuat kulitnya yang putih makin menonjol. Ia begitu cantik. Hampir semua lelaki yang ada di supermarket mencoba mencuri pandang padanya. Dan ia makin cantik karena membelikan semua yang
kuinginkan. Sejak itu aku sering berjalan-jalan dengannya.

Sampai suatu hari Tante Nik pulang dari rumah sesudah makan malam bersama. Ibu menyuruhku pergi ke kamar. Padahal TV masih menyiarkan film kesukaanku. Ayahku yang biasanya mengerti aku tampak berwajah kelam. Ia tak berkata apa-apa. Sebelum aku
sampai di kamar, mereka sudah bertengkar.
“Pokoknya aku nggak suka dengan caranya itu. Adikmu itu memang keterlaluan. Hanip dibelikan macam-macam. Bagaimana kalau nanti besar jadi anak manja. Aku tahu kalau dia banyak duit. Tapi tidak semestinya dia seperti ini.” Ibuku melampiaskan kekesalannya.
“Nduk, sudahlah. Tak usah berpikir yang tidak-tidak. Wajar kan kalau Nik pingin membelikan baju dan mainan buat Hanip. Dia itu kan keponakannya.”
“Keponakan apa. Dia toh bukan adik kandungmu. Kamu saja yang mengaku-aku sebagai adik.”
“Ma, berapa kali kukatakan supaya tidak mengungkit-ungkit hal itu. Selamanya ia adalah adikku. Bukankah sebelum kita kawin kau tak pernah protes?”
“Ya. Tapi dia toh tetap bukan adikmu. Sedang aku adalah istrimu Mas.”
“Ya. Kau memang kau istriku. Aku suamimu. Hanip anakku. Nik adalah adikku. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.” Terdengar suara benda pecah di lantai. Pintu kamar kututup. Aku tak ingin mendengarnya.

Semalaman aku berpikir. Kata-kata ibu terngiang di telingaku. Kalau Tante Nik bukan adik ayahku, lantas siapa dia? Kenapa ia begitu baik padaku? Akankah ia terus baik padaku? Bagaimana kalau aku tidak boleh bertemu lagi dengannya?

Sejak malam itu aku tak bersemangat mengerjakan PR. Dan tak punya niat untuk tidur. Tengah malam aku keluar kamar, vas bunga di meja tengah tak ada lagi. Ayah tidur di sofa ruang tamu. Di depannya asbak penuh dengan puntung rokok. Cangkir kosong berisi kopi sisa semalam. Televisi masih menyala. Kumatikan, aku masuk kembali ke kamar. Tidur.

Seminggu setelah peristiwa itu aku baru bertemu lagi dengan Tante Nik. Ia menjemputku sepulang sekolah. Matanya sedikit merah dan dan bau mulutnya tak enak.

Belakangan baru aku tahu kalau itu bau alkohol. Tapi entah kenapa, ia tetap cantik di mataku. Mobilnya baru. Buatan Jerman.
“Hanip ke rumah Tante yang baru ya?”Meski sedikit kaku, aku mengiyakan. Saat itu aku belum bisa membiasakan dengan pengetahuan baru yang kudapat malam itu. Bahwa ia bukan adik ayahku. Beberapa kali kupergoki Tante Nik memandang wajahku lama. Aku jadi takut kalau kalau ia tak kosentrasi menyetir. Mulutnya beberapa kali komat-kamit. Antara lain yang sempat kudengar jelas, “Ya, aku salah Mas. Tak seharusnya dulu aku menolak.” Aku tak tahu
apa maksud kalimat itu. Rumahnya agak berantakan. Ada botol minuman di meja tamu. Seperti asbak di rumahku malam itu, ia penuh dengan puntung rokok.
“Bagaimana Nip, kamu suka dengan rumah Tante?” Aku mengangguk. Rumah ini lebih kecil dari rumah ayah, tapi kupikir pantas untuk Tante Nik yang hidup sendiri.
“Nip, kamu suka nggak dengan oleh-oleh Tante dulu?”
“Suka.”
“Kalau Tante nanti kembali ke luar negeri, Hanip pingin apa?” Mulutku tak sabar lagi buat berkata,”Mobil.” Tante Nik tersenyum geli.
“Kan Hanip belum bisa nyetir.”
“Kan Tante yang mau ngajarin.”
“Kalau gitu Hanip ikut Tante ke luar negeri dong.” Aku terdiam.

Sesungguhnya aku pingin sekali pergi. Tapi pengetahuan baruku mencegah kepalaku buat mengangguk. Mulutku malah berucap,” Nggak, Hanip nggak pingin pergi ke luar negeri.” Wajahnya sedikit kaget lantas berubah muram.

“Apa Mama yang melarangmu?” Tante berbisik lirih. Aku menggeleng kuat. Bukan. Bukan Mama yang melarangku.
“Kenapa Nip?”Ia meraihku. Tubuhnya yang wangi tak bisa menutupi bau rokok dan alkohol. Aku diam tak bergeming.
Tante menghela napas dalam. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. Waktu itu baru bisa kulihat garis-garis di sekitar matanya. Wajahnya yang putih kehilangan sinarnya. Sedikit terbata-bata aku mengeluarkan suara. “Tante, benarkah Tante bukan adik kandung ayah?” Pertanyaan itu adalah awal dari segalanya. Wajah Tante Nik yang semula
merah mulai memucat. Ada yang pudar dalam sinar matanya. Sesudah termenung beberapa lama, Tante Nik meneteskan air mata.

“Tante, Tante.” Aku menggoncang-goncangkan tangannya. Bisa kurasakan sampai kini tangan itu kurus sekali. Ia memelukku erat. Erat sekali. Dadanya yang terisak, air mata membasahi rambutku.
“Benar Nip,”jawabnya pelan. Aku merasa bersalah. Perasaan itu makin kuat karena Tante lantas mengajakku pulang. Langkahnya tersaruk-saruk menuju mobil. Ia memacu mobil sangat pelan. Seakan tak ingin kehilangan waktu bersamaku. Kadang, dipegangnya tanganku, diciumnya rambutku.
Sejak itu Tante tak pernah lagi datang ke rumah. Kata ayah, Tante Nik kembali ke luar negeri. Cuma ayah yang mengantarnya ke bandara. Aku tak boleh ikut. Rumahnya di sini dikontrakkan. Dan mobilnya dijual. Saat aku mengajukan kembali pertanyaan yang sama kepada ayah, ia mengangguk. Saat aku bertanya mengapa Tante Nik cepat-cepat kembali, ayah cuma menghela napas panjang. Lantas berkata, “Nip, apa kau percaya kepada ayah?” Aku mengangguk. “Kalau begitu, kau harus menunggu. Satu hari ayah akan mengatakan padamu kalau kau sudah dewasa. Tapi tidak sekarang.” Aku tak berani membantah.

Reaksi Ibu terhadap pertanyaanku malah semakin membuat kacau jalan pikiranku. Ibu menangis. Beberapa hari masakan di rumah hambar dan tak enak. Dan mulai saat itu aku mulai belajar, bahwa tangis adalah batas akhir pertanyaanku.

Email dari Tante Nik kadang datang, begitu pula dengan hadiah-hadiah, yang tentu saja tak bisa menggantikan dirinya. Entah kenapa, aku sangat merindukannya.

Baru tiga tahun berikutnya aku bertemu dengan Tante Nik. Hari itu aku ulang tahun yang ketujuhbelas. Menurut ayahku, Tante Nik akan datang dari Amerika. Ibu menyiapkan pesta kecil di rumah. Kini, hanya aku dan dan ayah yang menjemputnya di bandara.

“Nip, sudah waktunya kau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.” Ayah melihat ke luar. Kaca mobil berembun. Hujan mulai turun.
“Sewaktu ayah masih muda, ayah jatuh cinta pada seorang gadis. Satu saat, ia mendapat musibah. Terserang kanker rahim. Demi menyelamatkan nyawa, dokter mengangkat rahimnya. Meski berhasil sembuh, ia tak mungkin mengandung lagi. Kakek dan nenekmu tak merestui hubungan kami.” Ayah menghela napas panjang. Kulihat rokok di tangannya hampir habis.

“Tapi aku tak mau menyerah. Satu hari kulamar dia meski tanpa persetujuan kakek dan nenekmu. Sayangnya,…” Rokok di sela jari ayah mati sudah. Diambilnya lagi sebatang, menyulutnya, dan setengah berbisik, “Ia menolak. Hati Nik terlalu mulia. Ia memilih untuk
menanggung segalanya sendiri.” Ayah menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Sejak itu kuangkat ia jadi adikku. Adik satu-satunya.” Ayah mematikan api rokoknya. Hujan sudah berhenti. Mobil masuk ke lapangan parkir bandara. “Kamu mengerti yang kumaksud Nip?” Aku mengangguk. Begitu sederhana kunci dari teka-teki ini. Sikap ibu, sikap Tante Nik kepadaku, dan posisi ayah. Juga kalimat sesal Tante Nik yang sempat kudengar tiga tahun yang lalu. Semua jelas dan gamblang.

Pesawat Garuda dari L.A belum datang. Kata petugas bandara, terlambat 30 menit karena cuaca buruk. Sementara kami menunggu, Ayah melanjutkan ceritanya.

“Kamu sudah besar Nip. Kau harus tahu kalau Ayah menyayangi ibumu. Tapi selalu ada sesuatu yang tak bisa ditinggalkan. Bagaimanapun, Ayah harus jujur. Ayah masih mencintai Tante Nik. Namun satu hal yang Ayah ingin kau tahu, aku sangat menyayangimu.”
Kutatap wajahnya. Ia, lelaki kuat itu meneteskan air mata.

Selagi ayah menyelesaikan kalimat, kulihat di sisi barat sosok Tante Nik mendekati kami. Ayah masih meneruskan kata-katanya.
“Tante Nik menyayangimu Nip. Seperti juga menyayangi ayah. Dia…” Tiba-tiba ayah berhenti bicara. Ditatapnya wajah Tante Nik yang kini berdiri di depannya. Wajah Tante Nik tirus dan terlihat menua. Meski demikian kecantikannya masih mencerahi seluruh ruang tunggu. Matanya agak cekung dengan tulang pipi mengeras. Dari sana mencorong ketenangan yang tak bisa kumengerti.

“Nik.. Selamat datang di tanah air.” Ayah berkata terbata-bata. Tante Nik mengangguk. mata mereka bertautan lama. Tangan mereka bersalaman. Tiga, empat detik. Aku jadi ingin menghilang dari sana. Ayah menunduk dan mengambil koper. Telapak tangan
Tante Nik menyentuh pipiku. Dingin.

“Kamu sudah besar anakku.” Tante Nik berucap pelan. Kata ‘anakku’ dibisikkan lemah, hampir tak terdengar. Ditelan suara hujan yang membias di ruang tunggu.

“Bagaimana kabar Mbak?”
“Baik. Kamu Nik?”
Tante Nik menggelengkan kepala.
“Kebanyakan merokok. Dokter bilang, ada tanda-tanda kanker paru. Kau juga harus hati-hati Mas.” Jawaban lirih itu bagaikan ledakan di dalam dadaku. Ayah menghela napas panjang. Keheningan meliputi kami. “Kapan kau tahu?”
“Tiga tahun yang lalu.” Ini berarti saat pertama kali aku bertemu dengan Tante Nik. “Kenapa kau tak mengatakannya padaku ?”
“Buat apa?” Pertanyaan itu menggantung di langit-langit bandara.

Pestaku meriah sekali. Tapi kemanapun kulihat wajah ayah, di situ pula kurasakan keruh membayang di matanya. Tante Nik sendiri kelihatan bahagia. Ibu bahagia juga. Kado untukku dari Tante adalah sebuah mobil. Persis seperti yang kuminta padanya dulu. Sebenarnya aku malu juga pada permintaan kanak-kanak itu, tapi hatiku toh senang
juga. Ayah seperti biasa tak menunjukkan reaksi apa pun. Sedang Ibu, meski keberatan akhirnya menyetujui juga.

Seperti dulu juga, Tante Nik tak berlama-lama tinggal di rumah. Sepanjang ingatanku, ia cuma semalam menginap di rumah kami. Pagi-pagi sekali aku mengantarnya kembali ke rumahnya yang dulu.

“Bagaimana sekolahmu Nip?” Suaranya tak berubah.
“Baik Tante.” Mesin mobil baruku terdengar halus sekali. Tante Nik benar-benar memanjakanku.
“Kamu benar-benar sudah berubah. Tambah cakep sekarang. Sudah punya pacar?”
Kugelengkan kepalaku pelan. Tante Nik tersenyum. Baru kini kusadari perbedaan yang ada dengan senyumnya tiga tahun yang lalu. Senyumnya kini cantik dan lembut. Lembut sekali. Seakan ada beban yang telah dilepaskannya. Ia tak lagi merokok, tak lagi menyentuh alkohol.

“Aku berharap bisa melihatmu tumbuh dewasa. Tapi rasanya sulit sekali buat bertahan.” Ia berkata tanpa memandang wajahku. Seakan bicara buat dirinya sendiri.
“Ayahmu sudah cerita banyak padamu. Aku tak perlu mengulanginya.” Tante Nik berhenti sebentar dan mengambil napas panjang. “Hanip, apa kau menyayangi Tantemu ini?” Aku mengangguk. Tak berani menoleh. Bukankah pantang bagi lelaki buat meneteskan air mata?
Tangan Tante Nik mengelus rambutku. “Kalau begitu, maukah kau berjanji padaku?Aku mengangguk lagi.

“Berjanjilah padaku, bila satu hari engkau mencintai seseorang, jangan lepaskan dia. Meski dengan keputusan itu, dunia mengutukmu. Jangan pernah berpikir untuk menyerah.”

Aku menjalankan mobil pelan-pelan. Udara subuh dingin menggigil. Aku tak sanggup berpikir lagi. “Janji ya Nip?” Aku mengangguk kuat.

Tiba-tiba ia bertanya lagi,”Kalau satu hari Tante sangat sakit, Hanip mau kan menengok Tante di Amerika?” Tante Nik menatapku tajam. Aku terdiam. Diam yang lama. Lama sekali. “Mau ya?” Kepalaku mengangguk lagi. Tante Nik tersenyum. Masih senyum yang sama. Senyum yang lembut. Senyum yang penuh kebahagiaan. Bibirku ikut tersenyum pula. Getir.

***

Seperti yang tiap manusia alami, ada hari dimana dering telepon begitumenyakitkan. Dan hari itu telah datang padaku. Tante Nik masuk ICU rumah sakit. Kata yang menelpon, kondisinya kritis. End stage. Sore ini, aku dan ayah sedang menunggu pesawat menuju LA. Tapi hujan ini tak berhenti juga. Titik-titik airnya terus membasahi bumi.

Menggelapkan matahari.
semarang, awal 1999 – purwokerto 2011

2 Tanggapan

  1. perlu 12 th untuk menyelesaikannya? wow… anyway, its a nice classical story….i enjoy it..thanks for sharing.

  2. ː̗̀(☉,☉)ː̖́ aaWWW jangan pernah lepaskan cinta ya, sounds great, copas ya mas 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: