Ada hal-hal yang sulit dilupakan. Termasuk Malioboro.
Satu hari bertahun lalu, aku pernah datang ke sini. Dalam subuh yang dingin, berangkat dari Semarang bersama almarhum Agung Priyanto, sahabatku.
Motor yang kami kendarai seakan melayang karena Agung selalu berhasil meyakinkanku, dan tiba-tiba saja mendarat di halaman parkir hotel Mutiara. Di sana ada simbah penjual gudeg, tempatnya persis di mulut gang samping kanan hotel Mutiara lama.
Kami berdua duduk, memesan gudeg dan tertawa. Hidup terasa abadi meski nyatanya tidak. Lantas motor menggerung lagi, meluncur ke Parangtritis.
Sejak hari itu, banyak hal terjadi. Kami berdua pernah mendaki Sindoro, Lawu, Ungaran, menaklukkan angkuh Semeru, dan terakhir, bertiga bersama almarhum Gea, menikmati senja di di Merapi.
Sayangnya, aku bertahan hidup, sedang kedua sahabatku tidak. Mereka, Agung dan Gea, meninggal dalam kecelakaan motor tragis di waktu yang berbeda. Bertahun lalu. Aku sendiri beberapa kali mengalaminya. Dua di antaranya hampir merenggut nyawaku. Satu hal yang kadang membuatku bertanya, apakah ini ada hubungannya dengan pendakian kami bertiga di Merapi? Entahlah. Selalu ada desir itu, rahasia tak terjawab tiap kali melihat foto kami di gelap lereng Merapi.
Namun satu hal yang pasti, saat aku bekerja sebagai dokter umum di Magelang, kadang aku ke Jogja menemui ibu penjual gudeg sepuh itu, memintanya bercerita. Entah apa. Itulah caraku memanggil kenangan.
Begitu pula saat dulu aku masih di Surabaya. Malioboro dengan simbah penjual gudeg samping kanan hotel Mutiara senantiasa kucari.
Dan hari ini, aku kembali.
Di satu pagi yang dingin, meminta sepiring gudeg. Tapi simbah tua itu tak lagi berjualan, ia tinggal saja di rumah. Putrinya, yang di mataku mirip dengannya, menggantikan tangan renta itu.
Dan hari ini pula, aku merasa sendiri. Entah kenapa. Dan itu terjadi di tengah keramaian jalan Malioboro.
Satu hal yang kutahu, pastilah ada alasan mengapa Tuhan membiarkanku hidup lebih lama. Mungkin agar aku bisa memberikan sesuatu buat banyak orang. Melalui apapun yang kupunya. Meski itu cuma senyum dan kata-kata yang sederhana.
Juga karena Tuhan ingin aku belajar membahagiakan mereka yang kusayangi. Menyisihkan egoku sendiri, memahami dan menerima apa adanya. Masa lalu, kini dan esok. Lantas mendorong mereka agar mencapai titik tertinggi dalam hidup.
Dan hari-hari ini, di Purwokerto, Tuhan tengah menyuruhku menolong banyak orang. Meski kadang harus tenggelam dalam keringat dan rasa sepi.
Semua itu membuatku berpikir, bahwa apapun yang kudapat hari ini dan esok, entah itu kesedihan dan kegembiraan, itu jauuh lebih baik. Setidaknya aku masih bisa bernapas dan menyelesaikan tulisan ini.
Hidup dengan segala isinya adalah anugrah. Kuharap, sudut Malioboro ini akan selalu mengingatkanku.
ditulis di tepi Malioboro, satu senja bulan Juni 2011
Filed under: perjalanan |
Tinggalkan Balasan