Masih belum bisa lepas..
Pagi itu Nadira menemukan sosok Sang Ibu di lantai dingin, terbaring bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan : hari ini aku bisa mati. Lantas mengalirlah cerita pendek beruntun yang berisi cinta, penderitaan, kesia-siaan, pengorbanan, lantas titik balik dimana segala menjadi terang. Atau seakan benderang. Masa lalu kelabu. Masa depan antah berantah yang entah kenapa hadir. Kepahitan yang menggerak-gerakkan ujung takdir.
Mungkin Ibu tak pernah bahagia, kata Nadira. Begitu pula ia. Tapi bagi pecinta setia Malam Terakhir, kumpulan cerpen Leila 20 tahun lalu, kebahagiaan cinta yang hadir lewat acara sinetron di televisi kita saat ini jadi tak terlalu penting. Semu bahkan. Yang lebih penting adalah pertanyaan Seno Gumira untuk buku ini. Cinta itu membahagiakan, atau menyakitkan?
9 dari Nadira tak menjawab lugas. Karena jawaban, bagi sebagian besar tokoh buku ini, sulit ditemukan. Pertanyaanlah yang sungguh-sungguh bermakna. Kumpulan cerpen inipun terus berpusar dalam kumparan problem psikologis. Masa kecil, masa lalu menghunjam, kadang mencabik.
Nadira, Kematian Tak Selalu Indah..
Filed under: resensi buku | Tagged: 9 dari Nadira, Cerpen, Leila S Chudori |
Tinggalkan Balasan