Hidup seorang muslim bergerak dari Ramadan ke Ramadan. Laiknya seorang pengembara, Ramadan adalah mata air, oasis berpohon rindang. Penuh khusyuk, seorang muslim berharap kesembuhan dari penyakit hati. Termasuk gejala mental disorder yang diam-diam terpelihara. Tumpukan stres, depresi, cemas, iri, prasangka, permusuhan, kemarahan, juga degradasi kecerdasan emosional dan spiritual saat menjalani hidup di luar bulan suci.
Namun, meski bertemu mata air Ramadan, menjadi “lebih baik” bukan berarti akan mudah. Sebuah penelitian pada 2000 yang dimuat majalah Psychosomatic Medicine menemukan, pada bulan Ramadan, pria muslim Maroko yang berpuasa lebih mudah tersinggung. Tingkat kecemasan juga meningkat. Tingkat iritabilitas (irritability) dan kecemasan tertinggi terjadi pada mereka yang memiliki kebiasaan tak sehat: merokok.
Mengapa? Secara medis, peningkatan rasa tak nyaman itu diduga disebabkan oleh perubahan pola tidur dan makan yang terjadi secara mendadak. Apalagi bagi perokok. Timbullah gejala withdrawal yang mengejutkan, membuat perjuangan untuk berhenti menjadi lebih berat.
Dari tataran ilmu hati, peningkatan kecemasan dan irritability pada penelitian tersebut mungkin terjadi karena sebagian besar di antara kita meletakkan diri pada kenyamanan syariat. Puasa hanya berhenti pada pantang makan, minum, dan seks. Puasa dibingkai pada pemindahan waktu.
Ah, betapa sengsaranya tubuh yang biasanya dimanja berbagai nikmat dunia. Padahal, jika kita berusaha menembus lebih jauh dengan mata hati, sebenarnya ada cahaya yang ditawarkan Ramadan.
Cahaya itulah yang kebanyakan terlewat. Tak kurang-kurang penduduk muslim di negeri ini berpuasa. Tak pernah susut minat manusia untuk bertarawih. Tak kurang gencar suara azan, pengajian, dan kuliah subuh dari pengeras suara masjid. Bertubi-tubi pula ceramah agama di televisi.
Namun, tiap hari, sepanjang tahun, ada saja berita tentang anggota dewan (sebagian dari parpol bernapas Islam) dan pejabat yang diperkarakan karena korupsi. Selalu ada juga kabar tentang kemiskinan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan.
Padahal, Rasulullah adalah manusia paling welas asih yang kita kenal. Lantas, ke mana semua berkas cahaya Ramadan bertahun-tahun itu berlalu? Mungkinkah kita termasuk dalam orang yang disebut Rasulullah Banyak orang yang berpuasa, hasilnya hanya lapar dan dahaga?
Tawaran berkas cahaya Ramadan yang kita lewatkan tak hanya berhenti pada jiwa seorang muslim. Sebenarnya, Ramadan juga menawarkan perbaikan pada keselarasan tubuh manusia. Sebuah penelitian di Turki menemukan terjadinya penurunan angka serangan jantung di bulan Ramadan. Salah satu hipotesisnya adalah puasa seharusnya memberikan efek penenang jiwa. Bukan efek cemas seperti penelitian sebelumnya.
Suatu kali pada Ramadan, Rasulullah menegur seorang perempuan yang tengah memaki hamba sahayanya. “Makanlah roti ini,” ujar Nabi ramah sembari menyodorkan sepotong roti. “Mana mungkin aku memakannya ya Rasul, padahal aku sedang berpuasa?” ucap perempuan itu. Dengan bijak Rasul berkata, “Mana mungkin engkau berpuasa, padahal kau mencaci maki hamba sahayamu?”
Jiwa seorang muslim yang berpuasa akan menjauhi amarah dan permusuhan. Ketenangan batiniah itu akan memengaruhi tubuh, meningkatkan kinerja saraf parasimpatik, dan mengurangi pelepasan kortisol atau zat stres dalam tubuh. Ujungnya adalah penurunan denyut nadi, tekanan darah, dan beban jantung. Titik akhirnya adalah penurunan risiko serangan jantung.
Risiko serangan jantung dan stroke, penyebab kematian terbanyak di negeri ini, juga bisa dikurangi dengan iktikaf di bulan Ramadan, satu metode meditasi spiritual yang ditawarkan Islam. Iktikaf, menurut Gus Mus, adalah cara yang diwariskan Nabi dan para mukmin untuk bertafakur, bersendiri dengan Allah.
Dalam lingkup kesehatan mental, meditasi spiritual terbukti lebih superior daripada meditasi sekuler dan teknik relaksasi yang tak menghubungkan manusia dengan Tuhan. Meditasi jenis ini akan mengurangi tingkat kecemasan, stres, dan depresi.
Penelitian pada manusia dan hewan menunjukkan, faktor psikologis berperan penting dalam peningkatan risiko dan perburukan penyakit jantung. Itu terlihat dari analisis atas 23 penelitian pada 1996. Pasien penyakit jantung yang mendapatkan terapi psikologis mengalami 41 persen penurunan risiko kematian jika dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Meski iktikaf tidak termasuk terapi psikologis yang diteliti, metode kontemplasi itu tak kalah manjur. Terutama jika kita tak lupa mengedepankan rasa syukur kepada Allah. Satu metode yang akan membuat hati tenteram dan berefek menenangkan.
Almarhum Nurcholis Majid dalam buku lama Pintu-Pintu Menuju Tuhan menyebut puasa sebagai satu-satunya ibadah yang bersifat rahasia dan karena itu menjadi “milik Tuhan” semata. Seorang muslim yang tengah berpuasa, meski tidak sedang beriktikaf di masjid, sebenarnya tengah menyadari sepenuhnya kehadiran Allah dalam hidupnya, di mana saja dan kapan saja.
Ingatan itu akan melahirkan kejujuran dalam berpuasa. Kejujuran dan dialog dengan Allah yang berlangsung sejak fajar hingga senja itu, jika diolah dengan baik, seharusnya bisa menciptakan rasa berserah diri, surrender, kepada Tuhan. Keyakinan penuh bahwa Allah Mahatahu yang terbaik untuk kita. Ibn Atha’illah dalam Al Hikam berkata, “Tiada suatu napas berembus darimu, kecuali di situ takdir Tuhan berlaku padamu.”
Itulah cahaya Ramadan yang harus kita raih. Yakni, tingkat “sadar” yang sepenuhnya terhadap kehadiran Allah dalam hidup, juga penyerahan diri dan keikhlasan kepada segala takdir-Nya. Cahaya itu akan selalu membuat kita tersenyum, memandang sisi positif hidup, dan akhirnya Ramadan benar-benar menyembuhkan jiwa dan tubuh kita. Insya Allah.
Filed under: artikel termuat di JAWA POS |
Tinggalkan Balasan