Kasus Prita melawan dokter dan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional memancing reaksi banyak orang. Sambil menunggu proses sidang selanjutnya, apa yang bisa dipelajari dari kasus Prita? Apa yang bisa dilakukan agar hal-hal tak mengenakkan yang terjadi pada Prita selama di RS Omni tak terulang? Runtut jawaban itu penting. Sebab, sungguh tak nyaman menjadi pasien yang merasa dirugikan. Sudah sakit fisik, masih ditambah perasaan terabaikan, tereksploitasi, terkorbankan. Tumpukan kegelisahan melahirkan kalimat dalam e-mail Prita yang mencubit dan menusuk.
Bila Anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan titel internasional, karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan (suarapembaca.detik.com). Benarkah demikian?
***
Jawabannya bisa dirunut dari perkembangan kedokteran modern yang kemajuannya begitu menakjubkan. Pasien penyumbatan arteri koroner yang dua dasawarsa lalu harus berakhir di meja operasi kini bisa bernapas lega. Sebagian besar kelainan bisa diatasi dengan tindakan invasif minimal, yang bahkan bisa dilakukan sembari rawat jalan.
Namun, keajaiban itu tidaklah gratis. Metode pemeriksaan dan obat terbaru selalu lebih mahal karena biaya riset yang harus dibayar konsumen. Juga bahan dan teknologi terkini yang akhirnya dibebankan pada pengguna. Ini menimbulkan prasangka baru, seakan dunia medis saat ini lebih materialistis dan tak berpihak pada rakyat kecil.
Derasnya arus perubahan itu juga berpengaruh pada hubungan antara dokter dan pasien. Teknologi mempersingkat waktu interaksi antara dokter dan pasien karena terbantu oleh pemeriksaan penunjang yang memanjakan. Akhirnya, lebih banyak pasien yang bisa ditangani oleh seorang dokter, dengan risiko makin sedikit pula waktu yang bisa diberikan. Apalagi, penghargaan yang kadang tak sesuai dari rumah sakit sebagai industri membuat dokter terpaksa “berkelana” dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.
Semua itu berpengaruh pada jalinan komunikasi antara dokter dan pasien. Apalagi, dunia tengah berubah. Hubungan dokter dan pasien, pada kondisi bukan darurat, tak lagi bisa berjalan dengan model paternalistik. Model lama di mana dokter dipercaya sepenuhnya dan segala keputusan diserahkan kepadanya layaknya orang tua.
Sebuah studi pada dua ribu pasien menunjukkan bahwa 78 persen pasien mengeluhkan tiga hal pokok. Yakni, tidak diberi waktu untuk mengungkap tuntas keluhan, tidak mendapat penjelasan yang mudah dimengerti, dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan (J. Gen Intern Med: 2002).
Ketidakpuasan pada model paternalistik memunculkan model informatif. Pada kutub ini, tugas dokter adalah memberikan informasi secara akurat kepada pasien dan membiarkannya memilih. Aman memang, namun lebih kering, impersonal, dan tanpa keterlibatan emosi. Seorang dokter bekerja mirip seorang arsitek, di mana segala keputusan berada di tangan pemilik rumah.
Model terbaik di antara dua kutub ekstrem model paternalistik dan informatif adalah model deliberative. Dokter memberikan informasi seluasnya, namun tetap bersikap layaknya sahabat sang pemilik rumah, di mana dia berusaha berempati dan memberikan saran terbaik sesuai dengan kondisi pasien.
Sayang, model hubungan dokter pasien yang ideal itu tidak akan terjadi tanpa komunikasi yang baik. Pertanyaannya, sudahkah fakultas kedokteran di Indonesia menekankan pentingnya komunikasi pada para calon dokter? Sudahkah para calon dokter diberikan bekal yang cukup tentang teknik komunikasi yang baik dengan pasien?
Kenyataannya, mata kuliah tersebut lebih sering terabaikan -kalau toh ada, penyampaiannya tidak menarik. Sebuah studi menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa kedokteran memasuki kampus dengan idealisme tinggi, namun dalam dua tahun mulai tergerus. Pada tahun-tahun akhir, sikap paternalistik mulai terbangun, kemudian mereka lulus dengan pandangan lebih berorientasi pada penyakit daripada pasien (Med Educ: 2002).
***
Ada tiga fungsi utama dari komunikasi antara dokter dan pasien yang perlu diketahui. Yakni, menggali informasi, membangun dan menjaga hubungan kepercayaan, serta merencanakan langkah-langkah selanjutnya, termasuk edukasi. Pada kasus Prita, ada kegagalan fungsi kedua dan ketiga yang akhirnya menimbulkan kekecewaan. Melahirkan e-mail yang mencubit dan menusuk tersebut.
Kasus Prita juga mengandung pelajaran penting bagi para pasien di tanah air. Pertama, usahakan kita memiliki dokter keluarga yang mengenal dan mencatat dengan baik riwayat kesehatan kita. Langsung menuju rumah sakit untuk kasus bukan gawat darurat kurang bijak. Dokter UGD dan dokter spesialis rujukan tidak mengenal tubuh kita seperti dokter keluarga. Waktu mereka pun tak sebanyak dokter keluarga. Akibatnya, segala efek samping obat bisa saja datang tak terduga.
Kedua, usahakan mendapat informasi secara lengkap dari dokter yang merawat. Jika perlu, carilah second opinion. Ketiga, jangan membiarkan kita dirawat oleh dokter yang tidak kita percayai sejak awal. Sebab, hasilnya hanya akan merugikan dan melukai kedua belah pihak.
Bagaimana dengan para dokter? Kalimat Prita di awal tulisan seharusnya menjadi cermin yang mengetuk hati dan menggerakkan semangat perubahan. Namun, sampai saat ini saya tidak sependapat dengan kalimat, semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan. Sebab, semakin pintar dokter, seharusnya dia menjadi rendah hati, makin berempati kepada pasien-pasiennya, serta makin kaya dalam kemampuan berkomunikasi. Yakni, kekayaan yang akan menentramkan hati dokter dan pasiennya. (*)
dr M. Yusuf Suseno, tengah bertugas di RSUD Taman Husada Bontang, Kaltim
Filed under: artikel termuat di JAWA POS |
selamat ya pak.. kami selalu menunggu foto bapak di muat di koran
terima kasih banyak mas…tulisannya menyejukkan..