Aspirasi tetangga terekam dalam ingatan. Membuat mual. Tak penting mungkin. Tapi ngganjel. Apalagi hari-hari menjelang Pemilu 2009 ini. Ada saja suara tak jelas. Asbun.
“Saya nggak peduli siapa yang menang besok. Mau SBY, mau Mega, mau JK, terserah. Saya sudah capek cari duit. Lagi repot diutangi sama ponakan-ponakan yang mencret. Mana rumah kebanjiran padahal hujan baru sebentar.”
Salah satu ‘asbun’ lain adalah argumen kuno tentang tahta.
Bukankah selain harta, tahta adalah salah satu sumber kesenangan bagi manusia? Jadi mbok biar saja mereka senang-senang memburu tahta selama hidup di dunia? Masalah nanti setelah ‘jadi’ ditawari korupsi, kolusi, dan nepotisme, itu kan nasib. Kalau kuat iman, alhamdulillah. Kalau nggak? Ah, itu kan belum tentu. Siapa sih yang nggak mau ‘dicoba’ dengan yang enak-enak seperti itu? Siapa tahu kuat 🙂
Mungkin akibat argumentasi semacam itulah gambar manusia terpampang di jalan-jalan. Mulut gang, atas pohon, depan warung, tepi sungai, atap rumah, kaca angkot. Beberapa terlalu banyak hingga membuat suntuk. Senyum manis. Senyum terpaksa. Waduh2, apa kota ini milik sampeyan-sampeyan saja to Cak?
Padahal kata yang empunya cerita, Narcisus akhirnya mati kehausan. Cinta yang berlebihan pada diri sendiri membunuh. Air berlimpah di telaga tak tersentuh, takut merusak bayangan wajah sendiri. Sigmund Freud, seorang pintar yang tak disukai banyak orang mendaulatnya sebagai penyakit.
Tulisan : Selamat dan Sukses atas Penunjukan Tn A sebagai calon dari partai X, terpampang di spanduk. Siapa sesungguhnya yang memberi selamat? Tidak jelas. Siapa yang mengucap sukses? Tidak jelas. Apa Tn A tidak kuatir lama-lama terkena gejala Narcissistic Personality Disorder(NPD) alias gangguan kepribadian narsis?
Jelas tidak. Para caleg yang terhormat kan sudah diperiksa lengkap dokter. Sudah diurut bobot, bibit, bebetnya. Sudah di fit dan proper test oleh partainya. Jadi tidak pada tempatnya untuk meragukan. Lha kalau ditanyakan? Silakan saja. Mumpung bertanya belum dilarang.
Namun jika setelah mereka terpilih sebagian dari mereka melupakan kita, jangan kaget. Baca saja sajak Gus Mus, Di Ruang Mulia.
Di ruang mulia berpendingin itu mereka ternganga-nganga atau mengigau bersama-sama menyebut-nyebut nama kita seolah-olah kita adalah keluarga mereka. Keluarga apa? Atau anak-anak asuh mereka, anak-anak asuh apa? Kitalah mata pencaharian mereka satu-satunya.
Benarkah? Semoga tidak.
Filed under: manusia-manusia |
Tinggalkan Balasan